Bahkan kran impor kedelai ini termasuk dengan menghilangkan pajak sebesar 5%, yang selama ini dikenakan kepada impor kedelai. Ini berarti menghilangkan pemasukan negara, insentif untuk para importir!
Memang, dengan melemahnya rupiah, harga kedelai menjadi naik. Dan ini membuat pedagang tahu tempe menjerit. Sehingga, kembali keluar kebijakan instan, yaitu dengan membuka kran impor dengan segala kemudahan dan insentifnya.
Salah satu penyebab melemahnya rupiah, diantaranya adalah karena 'prestasi Menko Perekonomian Hatta Rajasa; baru kali ini terjadi di tahun ini, neraca perdagangan luar negeri Indonesia negatif. Defisit neraca perdagangan, impor lebih tinggi daripada ekspor.
Semuanya serba impor. Impor terus, tanpa ada insentif untuk memperkuat produksi nasional. Sungguh negara ini terjerat oleh mafia impor, termasuk kebijakannya dan penggerusan anggaran negara untuk impor. Demi menstabilkan rupiah ini, BI telah mengucurkan devisa negara sebesar Rp 9 trilyun, sehingga cadangan devisa berkurang jauh. Tetapi tampaknya tidak berpengaruh terhadap melemahnya rupiah.
Kelangkaan Kedelai; Catatan Gagalnya Suswono dan Hatta Rajasa!
Miris memang melihat kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Tahun ini ditandai dengan berbagai gejolak kelangkaan bahan pangan di pasar dan melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok. Mulai dari bawang merah, bawang putih, jengkol, cabe dan sekarang terkait dengan kedelai.
Sementara mengenai kenaikan harga kedelai impor, ini adalah kasus yang sama terjadi tahun 2008, bahkan tahun 2012 lalu! Tetapi apakah kementerian pertanian membuat solusi melalui peningkatan produksi dalam negeri? Ternyata tidak dilakukan!
Dari suatu studi yang dilakukan oleh IPB pada tahun 2011, permasalahan produksi kedelai lokal dari hulu hingga hilir diantaranya adalah: petani yang menggunakan benih unggul bersertifikat hanya 10%, kemudian sering terjadi kelangkaan pupuk disentra penghasil kedelai. Sementara petani kedelai yang menggunakan pupuk organik ada 20%; berarti ini tidak terkena insentif subsidi pupuk oleh pemerintah.
Dari sisi produksi, tidak bisa dikatakan bahwa tingkat produktvitas rendah, karena perbedaan iklim (tropis, kedelai cocoknya di subtropis?), karena Malaysia dengan iklim yang sama dengan Indonesia sudah swasembeda kedelai, malah sekarang ekspor ke Indonesia.
Kemudian, disisi rantai distribusi, diketahui bahwa pasar kedelai dikuasai oleh mafia (oligopoli, monopoli), diduga importir. Begitu juga dengan pengendalian harga. Jadi, jikapun harga tinggi di pasar, petani tidak menikmatinya. Jadi bagaimana petani mau sejahtera?
Selain itu, terdapat kendali negara lain yang membuat Indonesia selalu terjerat impor? Misalnya melalui skema kredit impor, pembebasan pajak impor, dan lobby-lobby negara seperti Amerika Serikat yang sangat kuat asosiasi pedagang kedelainya untuk masuk ke kebijakan Indoensia. Betapa lemahnya Indoensia, terutama di sektor kebijakan ekonomi, perdagangan dan pertaniannya!
Duh, kapan negara ini berdaulat dan mandiri untuk ketahanan pangannya sendiri? Bangsa tempe yang bahkan kedelainya pun terjerat impor! Sungguh ironi di negara agraris.
Ya Sudah, Salam Kompasiana!