Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Manajemen Busway; Potret Amburadulnya Sistem Transportasi Publik Jakarta

15 Agustus 2012   06:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:44 726 6
Pulang ke Jakarta dari Kairo, beberapa kali aku menjajal naik transjakarta di beberapa rute. Ada yang dari Kuningan, Sudirman, ada yang dari Warung Buncit. Dan ketika menyusuri jembatan hingga halte, memang terasa miris. Terlihat beberapa bolongan di jembatan ini. Bayangkan, kalau bolongan membesar, kaki bisa terperosok loh. Kemudian, kebersihannya pun mulai terabaikan.

Dan ketika menaiki bisnya, terlihat, tidak lagi eksklusif. Beberapa jok kursi menghitam. Kadang, sobek dikit. Pintu juga susah menutup rapat. Bayangin kalo hujan gimana tuh. Dan pelayanan? Beberapa keluhan yang aku tampung antara lain; soal jadwal yang gak jelas, terus antrian yang amburadul, dan kepadatan dalam bis yang membuat penumpang semakin tidak nyaman.

Dan yang paling parah adalah ketika mendengar beberapa supir transjakarta suka mengadakan mogok. Termasuk 2 hari yang lalu, supir busway koridor I (Blok M - Kota) dan X (Cililitan - Tanjung Priok) melakukan mogok menuntut THR dan kenaikan gaji. Kenapa jalur yang lain tidak? La, berarti tidak ada standar gaji Busway antara koridor yang satu dengan yang lain? Kenapa bisa gini?

Amburadulnya Manajemen Busway

Ternyata, walaupun keberadaan busway sudah 8,5 tahun (sejak 15 Januari 2004), tetapi belum mempunyai manajemen satu pintu satu atap. Pengelolaan setiap koridor tergantung kepada siapa yang menang tender! Jadi pengelolaan koridor ini bisa berbeda beda.

Malangnya, Dinas Perhubungan PemprovDKI Jakarta tidak mensyaratkan satu sistem untuk koridor tersebut. Sehingga bisa terjadi perbedaan gaji, perbedaan kualitas bis dan perbedaan pelayanan terhadap penumpang! Tentu saja ini sistem yang kacau balau!

Dan hingga kini, Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk busway pun belum jadi jadi. Baik dalam bentuk Pergub (Peraturan Gubernur) ataupun kalau mau lebih kuat dan menyeluruh, dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah). Ada apa ini sebenarnya?

Konon kabarnya, karena ada tarik tarikan kepentingan soal SPM ini untuk per koridor atau untuk keseluruhan koridor. Padahal, yang namanya SPM tentu seharusnya standar untuk semuanya, sama sama untuk rakyat Jakarta. Tidak mungkin ada perbedaan pelayanan antara penduduk Jakarta Tanjung Priok, misalnya dengan yang di Kuningan.

Ini baru sistem untuk busway. Bagaimana hendak mengembangkan sistem transportasi massal yang lain? Malah semakin ragu atas kemampuan profesional Pemprov DKI dalam mengatasi masalah transportasi publik di Jakarta.

Peran Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ)

Sebenarnya, untuk membantu mengatasi amburadulnya sistem transportasi publik ini, Pemprov DKI dibantu oleh DTKJ. Tetapi sayang, DTKJ belum melakukan upaya optimal dalam mengatasi ruwetnya sistem transportasi publik di Jakarta.

Yang ada, keberadaan dewan ini bisa bisa malah memberatkan APBD DKI Jakarta. Maklum, untuk akhir tahun lalu saja anggota DTKJ melakukan studi banding di beberapa negara Eropa untuk masalah transportasi publik. Berapa milyar biaya studi banding dari APBD tersebut? Pola yang sama bagi birokrasi dalam menghabiskan anggaran?

Dan hasil studi banding tersebut? Wallahu 'alam bisshowab.

Ya Sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun