Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Kebaikan itu Tidak Kenal Bangsa; Menikmati Keramahan ala Petani Mesir

15 Oktober 2011   20:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:54 617 2
[caption id="attachment_141811" align="aligncenter" width="598" caption="Pertanian kurma dan jagung. Foto by Muassis Andang"][/caption] Pas liburan Jumat kemaren, kami jalan jalan ke pedesaan Mesir. Diajak oleh teman kantor suami ke tempat neneknya. Tadinya saya rada males. Khawatir masalah keamanan. Maklum, hari minggu sebelumnya terjadi kerusuhan hebat di Kairo (Bloody Sunday) yang menewaskan 25 orang. Benar benar kerusuhan paling parah setelah revolusi. [caption id="attachment_141812" align="alignleft" width="300" caption="Burung Burung Putih di Bajakan Tanah. Foto by Muassis"][/caption] Tetapi setelah ke pedesaan ini, wah rasanya bener bener gak nyesel. Perasaan kayak pulang kampung di Jawa, he he. Senang banget lihat yang hijau hijau. Walau tentu debu dan pasir gurun juga ikut berterbangan. Bikin mata kelilipan. Perjalanan ke desa ini memakan waktu sekitar 2 jam dari Kairo. Nama tempatnya Qarya. Disini kami disambut oleh nenek dan ibu temen kantor suami tersebut dengan hangat dan sangat ramah. Dan kami juga disuguhi dengan makanan yang lezat banget. Padahal selama ini saya suka gak napsu kalau lihat makanan mesir, he he. Tetapi pas kali itu, ya rasanya sangat nikmat. Menunya, daging sapi berkuah merah (dari tomat) dan ayam panggang, ditambah acar yang bikin seger. Makannya pakai nasi gurih (kayak nasi uduk di kita). Neneknya berkali kali bilang, 'Maaf,  ini ala kadarnya. Maklum kami cuma petani.' Suamiku langsung bilang, dengan bahasa arab yang terbata bata. 'Ini enak sekali kok, helwah, gamilah (cantik sih artinya)'. Kalau aku sih, karena gak bisa bahasa Arab ya cuma senyam senyum aja. Ya, senyum kan bahasa universal untuk persahabatan, he he. Setelah makan itu, kami pun jalan jalan di pematang pertanian. Heran juga ya, lihat pertanian disini subur makmur. Maklum, Mesir kan dominannya daerah gurun gitu. [caption id="attachment_141815" align="alignleft" width="300" caption="sistem irigasi, setelah dipompa dr anak sungai Nil. Foto by Muassis"][/caption] Terus, selama berbulan bulan disini, aku juga belum ngerasain yang namanya hujan. Memang pertanian disini bertumpu pada sungai Nil dan anak anaknya yang bercabang cabang. Termasuk di pedesaan ini, aku melihat sistem irigasi yang dipompa dari anak sungai nil ini. Kalau tuan rumah kami, pertanian yang dikelola adalah kentang, tomat, gandum, dan wortel. Juga kurma. Kadang kalau melihat pertanian seperti ini, apakah mereka akan mampu bertahan menghadapi globalisasi seperti petani Indonesia yang semakin kolaps, ya? Apalagi kalau melihat lahan lahan yang semakin sempit, karena pasti akan dibagi bagi dengan keturunannya. Dan suatu waktu, nilai panennya tidak akan ekonomis lagi, karena tidak sebanding dengan lahan yang dikelola. Hingga suatu ketika akan ada pemilik modal yang menguasai banyak lahan, dan menguasai pasar dan harga juga. Dan mereka, petani petani asli ini akan semakin tersisih. Tetapi namanya petani. Sudah biasa sederhana. Dan nrimo. Dan yang jelas sangat ramah. Senang rasanya bisa kenalan dengan mereka. Dan ketika kami pulang setelah menyusuri pertanian, serasa ada yang tinggal dari kebaikan mereka. Walau sulit komunikasi. Tetapi bahasa mata dan senyum yang tulus sudah cukup mewakili. Terima kasih Teta, Ahmed, Musthofa, dan Tant (tante di kita) yang ada disana. Dan terutama sekali terima kasih kepada temen kantor suami, Osama, karena telah mengajak kami kepedesaan Mesir seperti ini. Ya sudah. Salam Kompasiana!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun