Tetapi sebenarnya di UU Kesehatan tahun 2009 yang baru lalu, di pasal 113 tembakau diakui sebagai zat adiktif, penyebab kecanduan. Itupun ayat 113 mengenai pengakuan ini sempet hilang, padahal sudah ketuk palu kesepakatan di paripurna DPR. Gile gak...Walo sudah ketemu lagi.
Dan dengan diakui ini pula, seharusnya keluar peraturan turunan yang menyebutkan instrumen pengendalian tembakau, yaitu adanya kawasan tanpa rokok di ruang publik (indoor), pemasangan gambar bahaya rokok di kemasan rokok (seperti di malaysia dan singapura, rokok made in indonesia sudah memasang gambar ini, tapi di indonesia malah belum, karena peraturan belon ada), kenaikan cukai rokok (negara untung, harga rokok juga mahal), dan terakhir, pelarangan iklan rokok. Nah peraturan turunan ini yang gak keluar-keluar, saking banyaknya tarik ulur kepentingan disini.
Jadi, kalao soal iklan rokok, di dunia ini tinggal indonesia dengan zimbabwe yang masih membolehkan. Standar kita setara dengan mereka kali. Ya mau gimana lagi. Disini 2 diantara 5 orang terkaya Indonesia adalah pengusaha rokok. Kayaknya hampir semua orang tergantung nafkahnya sama rokok. Jadi fakor kesehatan no sekian di Indonesia.
Aku jadi inget sebuah desa yang pernah kukunjungi di jawa. Penduduknya banyakan janda. Suaminya banyak yang sudah meninggal. Dan disini merokoknya, gile, kuat bener. Tetapi ya gitu, di Indonesia, dampak kesehatan merokok masih kayak mitos. Orang gak peduli. Memang gini kali ya, standar pola pikir orang orang negara berkembang. Faktor investasi kesehatan jangka panjang kalah sama faktor instan ekonomi.
Ya sudah gini aja komentarnya.