Ternyata, setelah celingak celinguk, kok tampangnya kagak ada yang Indonesia, tetapi rata-rata berwajahkan mandarin, baru deh saya ngeh, ternyata itu gate menuju Shanghai! Set dah, dah buang-buang waktu ngantri. Ini jelas kesalahan petugas QA yang menuliskan gate 41, padahal bukan ke Jakarta!
Akhirnya saya ngider lagi cari gate untuk yang ke Jakarta. Baru kelihatan, wajah-wajah manusia Indonesia, kebanyakan baru pulang umroh dan para pekerja Indonesia yang juga transit di Doha, di gate 38.
Disini, antri lagi paling belakang, dan panjang banget kek uler melingker lingker, karena berbelok mengikuti jalur area tunggu. Memang nih, secara QA sudah menjadi penerbangan yang mendunia, tetapi bandaranya belum siap. Padat sekali, manusia dari berbagai bangsa uplek-uplekan di sini. Katanya sedang dibangun bandara internasional yang luas banget, tetapi baru tahun depan siap dipakai. Jadi yang bepergian keluar negri memakai QA siap-siap rada lieur di bandara ini, karena turun dari bis (dari pesawat) di kedatangan, beda dengan transit. Dan banyak yang salah turun bisnya loh!
Singkat kata, saya sudah siap nih duduk manis di pesawat. Pesawat QA ini memakai pesawat besar Airbus yang susunan duduknya 2-4-2. Dan hampir penuh, 95% oleh orang Indonesia sendiri. Saya sudah sempet geer disebelah saya bakal kosong. Eh ketika sudah mau berangkat, ada mbak yang lari-lari duduk di sebelah saya. Ternyata dia cerita dia telat banget, karena putri majikannya gak mau ditinggal. Dia memang diantar oleh keluarga majikannya ke bandara. Nah, pas mo pisah dadah-dahan, putri majikannya usia 4 tahun itu nangis terus meluk dia. Pokoknya nempel kek koala.
Jadi si mbak dan majikannya bingung mengatasi ini. Akhirnya diakalin dibeliin mainan di toko sebelah, dan pas anak kecil ini lagi gak ngeh, si mbak langsung kabur.
Sambil bercerita gini, si mbak mengeluarkan foto putri majikannya. Seorang anak kecil yang manis sekali, bermata lebar, memakai baju putih berenda-renda dengan penutup kepala putih ala pakaian pengantin barat. Mata si mbak berkaca-kaca, dia bilang sudah 2 tahun momong anak ini. Tetapi apakah dia akan balik lagi bekerja disini lagi? Enggak, katanya, karena dia ingin membenahi rumah tangganya, keluarganya di kampung.
Tetapi dia cerita sih, bahwa majikannya lumayan baik. Dia dibeliin abaya seharga Rp 1,7 juta (500 rial), walaupun gak tau mau makenya kapan, hehe. Paling kalau melayat, katanya gitu, hehe. Juga berbagai oleh-oleh untuk keluarganya, termasuk jam tangan yang dia liatin ke saya.
Mungkin ini adalah kisah satu diantara warna-warni pekerja Indonesia di luar negri. Banyak dukanya, banyak yang mengharukan. Beda cerita dengan mbak yang disebelahnya lagi, yang baru saja kabur dari rumah majikannya, karena selama 4 tahun tidak boleh pulang.
Dia juga momong anak-anak, cuma majikannya melahirkan terus! Masa punya anak TK usia 5 tahun, terus 4 tahun, 3, 1 tahun, 3 bulan (5 orang anak). Dan secara gak sengaja dia melihat majikannya pake test pack, eh hamil lagi! Padahal baru punya bayi 3 bulan! Dia dah gak kuat ngurusinnya. Akhirnya dengan memakai taksi dia ke perwakilan RI. Terus disini dibantu pengurusan kepulangannya ke Indonesia. Kalau mbak yang ini benar-benar kapok, gak akan balik lagi kerja ke luar negri. Terlalu capek, katanya.
Semoga, semoga pemerintahan yang akan datang benar-benar membuka lapangan kerja sebesar-besarnya di Indonesia. Sehingga tidak perlu lagi Indonesia mengirim tenaga kerja informal, kecuali dengan hak-hak sesuai standar tenaga kerja terkait hari libur, tambahan lembur, dan perlindungan yang lebih pasti secara hukum.
Ya sudah gitu aja, Salam Kompasiana!