Kebetulan Direktur pengembangan produk non konsumsi, Kementrian Kelautan & Perikanan (KKP) Bapak Maman Hermawan baru kembali dari Jerman mengikuti pameran internasional tanaman air. Beliau sharing bagaimana di eropa lagi ngetrend tanaman bucephalandra. Tanaman ini dibranding di Jerman, harganya secuplik kecil mahal sekali, 200 euro atau lebih dari 2,5 juta rupiah. Padahal tanaman ini asli dari Indonesia, merupakan endemik di Kalimantan, Papua, Sumatera.
Sayang di Indonesia tanaman ini belum dibudidayakan secara serius. Baru ada di Balikpapan dan di Bogor. Padahal nilai ekonominya sangat besar, baik bagi pangsa ekspor maupun pasar domestik yang semakin naik trend hobi melihara akuarium atau kolam-kolam ikan.
Selain tanaman ini, ragam ikan hias Indonesia juga sangat bervariasi dan sangat indah. Itupun banyak yang belum dikembangkan, tetapi keburu musnah karena dijual murah oleh penduduk setempat kepada pemburu ikan hias asing.
Ada lagi yang nilai ekonominya juga sangat tinggi, seperti kolagen dari sisik ikan (nilai tambahnya bisa 500-700 kali lipat), sayang tidak bisa diolah di Indonesia. Diekspor ke Jepang, masuk ke Indonesia kembali dalam bentuk kolagen bubuk untuk kosmetik dan suplemen, yang harganya sudah milyaran rupiah per-kilonya.
Nah, ketika mengikuti rapat ginian kan saya langsung mikir, wah potensi kekayaan laut dan perairan Indonesia yang luar biasa ini tentu sejalan dengan visi Jokowi soal pengembangan maritim Indonesia. Bayangan saya, semua harus dikembangkan atau diinisiasi kerjasama serius dengan perguruan tinggi (misal untuk kultur haringan bagi tanaman air bucephalandra), pelaku usaha dan pemerintah.
Tetapi sayang, ternyata ketika bapak direktur ini diminta masukan oleh tim transisi Jokowi mengenai maritim, visi tim ini ternyata hanya sebatas bagaimana menyediakan BBM bagi nelayan. Ketika berbicara soal potensi ini, komen mereka, wah bicaranya jangan kejauhan pak!
Soal nasib nelayan memang juga urgent dibicarakan. Apalagi yang mendesak soal kenaikan BBM yang pasti memberatkan nelayan. Tetapi justru alternatif solusinya juga sudah ada sejak masa dulu jika pemerintah menaikkan BBM.
Yang mendesak jika akan mengembangkan maritim Indonesia menurut saya adalah:
1. Data base potensi pesisir, kelautan & perikanan per wilayah. Bahkan kerang yang terlempar ke pantai bisa menjadi piring indah kualitas eskpor. Ini malah bisa jadi nilai tambah nelayan.
Termasuk potensi ikan, ikan hias endemik, tanaman air endemik, dstnya.
2. Pengembangan kerjasama pemerintah-perguruan tinggi-masyarakat-dunia usaha untuk budidaya hasil laut dan perairan Indonesia
3. Pengembangan regulasi kelautan & perikanan melalui insentif budidaya, dan yang penting hasil laut Indonesia jangan diekspor gelondongan, tapi harus ada nilai tambahnya.
4. Pengawasan dan penegakan hukum bagi pencuri kekayaan laut dan perikanan Indonesia. Banyak sekali warga asing pemburu flora fauna asli Indonesia, yang menjual dengan harga sangat mahal di luar negri.
Jadi, saya harap visi maritim Jokowi tidak sekedar soal bbm untuk nelayan dan infrastruktur laut berupa pelabuhan besar dan kapal yang oke untuk logistik dan arus mobilisasi (yang juga sangat bagus) ,soal pencurian ikan, tetapi juga pengembangan potensi kelautan & perikanan Indonesia yang bisa menjadi andalan pendapatan masyarakat Indonesia di masa depan.
Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!