Permendikbudristek yang baru ini
sekaligus ditujukan untuk membantu menangani dan melindungi siswa, pendidik, maupun staf pendidikan dari kekerasan. Kekerasan yang dimaksud dalam bentuk daring dan psikologis selama kegiatan pendidikan, di dalam maupun luar lembaga pendidikan. (Situs Itjen Kemdikbud, 9-8-2023).
Dalam implementasi di lapangan, satuan pendidikan diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Demikian pula Pemprov dan pemkab/pemkot, juga harus memiliki satgas. TPPK dan satgas ini bakal dibentuk dalam rentang waktu 6---12 bulan setelah peraturan diundangkan.
Diterbitkanya Permendikbudristek 46/2023 merupakan respon dari temuan berdasarkan survey tentang meningginya angka kekerasan di lingkungan sekolah. Hasil survei Asesmen Nasional 2022 menunjukkan, 34,51% siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31% (1 dari 3) berpotensi perundungan.
Sebelumnya, survey yang diselenggarakan Kementerian PPPA 2021, mencatat 20% anak laki-laki dan 25,4% anak perempuan berusia 13---17 tahun mengakui pernah mengalami minimal satu bentuk kekerasan dalam setahun terakhir.  KPAI 2022 juga mendukung data ini, yaitu kategori tertinggi  berkaitan dengan kejahatan seksual,  kekerasan fisik dan psikologis, serta kasus pornografi dan kejahatan siber yang semuanya berjumlah 21.333 kasus.
Jangan Gagal Fokus
Beleid Permendikbudristek yang baru ini, perlu  kita telaah lebih jauh, benarkah kebijakan tersebut  efektif dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan di lingkungan sekolah? Hal itu mengingat bahwa sebelumya telah banyak diterbitkan regulasi serupa. Namun secara realitas angka tindak kekerasan di lingkungan sekolah tak juga berkurang, bahkan  makin bertambah.
Berikut  beleid atau kebijakan yng lahir sebelumnya, yaitu Permendikbud 82/2015 tentang PPKS di Lingkungan Satuan Pendidikan, Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, serta UU TPKS 12/2022 yang banyak menuai kontroversi. Yang paling gress adalah Permenag 73/2023 tentang PPKS pada Satuan Pendidikan di bawah Kemenag.
Sayangnya regulasi yang lahir dari produk hukum ini tak kelar mencegah aksi kekerasan di lingkungan pendidikan, apalagi menyolusi. Kebijakan ini berasa  mandul karena solusi yang diprogramkan menyelesaikan  tidak menyentuh akar masalah. Terbukti masalah kekerasan kembali terulang.
Karenanya musti ada upaya yang  serius guna mencari akar masalah guna mengurainya secara  tepat. Kebijakan mengubah-ubah regulasi tanpa menelaah lebih dalam akar persoalan tersebut hanya akan mengulang kegagalan.
Sekuler Liberal
Maraknya tindak kekerasan di lingkungan sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Menelusuri  akar masalah penyebabnya  akan menemukan pangkal persoalan yaitu penerapan sistem kehidupan yang sekuler. Dari pangkal sekularisme ini lantas meluncur secara liar ide kebebasan atau liberalisme. Dari akar masalah ini bisa diuraikan beberapa sektor yang terlibat
Pertama, sistem pendidikan sekuler. Dengan dasar tidak menjadikan agama (Islam) sebagai acuan, maka pendidikan hanya berfokus pada akademik seraya  mengabaikan nilai agama. Mata pelajaran agama hanya mendapat ruang dua jam dalam sepekan, sangatlah kurang. Karena  agama merupakan pedoman kehidupan manusia, termasuk perihal pendidikan.
Urusan pendidikan selayaknya dikembalikan pada filosofi dan hakekat penciptaan manusia, yakni sebagai hamba yang mengemban tugas di dunia untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Keimanannya akan melahirkan ketakwaan yang totalitas sehingga akan melakukan apa pun yang Allah Swt. perintahkan, sekaligus meninggalkan segala larangan-Nya.
Kedua, faktor keluarga. Tidak sedikit pelaku kejahatan berasal dari orang dekat yaitu keluarga. Pada keluarga yang broken home atau orang tua yang abai terhadap pengasuhan anak-anaknya, fi sinilah umumnya kejahatan seksual pada anak terjadi. Juga pada keluarga yang kedua orang tua sibuk  dan sepenuhnya menyerahkan pengasuhan dan pendidikan kepada pihak lain, semisal sekolah. Anak yang haus akan kasih sayang  akan tumbuh menjadi pribadi yang keras dan miskin empati sehingga mudah melakukan tindak yang tak terpuji.
Keluarga yang tidak dibangun atas ketakwaan akan menjadi malapetaka bagi anggotanya. Kasus pemerkosaan ayah terhadap anak kandungnya  atau ibu yang tega menjual anak-anaknya di prostitusi daring. Sungguh kontradiksi dengan peran mereka sebagai orang-orang yang terdepan dalam melindungi anak-anak dari kejahatan.
Ketiga, faktor media sosial. Media sosial utamanya online rawan menjadi pemicu tindak kejahatan di sekolah. Anak-anak dengan mudahnya mengakses pornografi dan adegan kekerasan yang bisa menstimulusi terjadinya aksi kekerasan. Kasus pembunuhan mahasiswa UI, misalnya, disebut-sebut pelakunya terinspirasi dari film serial Narcos yang penuh adegan kekerasan.
Jauhnya mereka dari agama terjadi seiring keterganrungan mereka dengan internet. Alhasil, apa pun yang ada di media sosial mudah mereka tiru tanpa filter oleh pemahaman benar atau salah. Loss dari kendali keimanan ikut menyuburkan aksi-aksi kriminal di kalangan anak muda termasuk pelajar.
Sistem kehidupan yang tegak atas ideologi kapitalis sekulerlah yqng mebuahkan sejimlah persoalan , termasuk hal kekerasan seksual pada anak. Karenanya regulasi yang dibuat tanpa merujuk persoalan utamanya, yaitu penerapan sistem kehidupan sekuler liberal, tidak akan membawa perubahan apa-apa. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, yang terjadi justru sebaliknya.
Sedikit mengulik tentang sexual consent (persetujuan seksual) dalam UU TPKS, misalnya, bukankah seolah sedang melegalkan perzinaan yang akan merembet ke tindak kejahatan lainnya? Lihat kasus seorang laki-laki yang tega membunuh pacarnya yang sedang hamil di Jakarta Barat. Sungguh prihatin, kasus serupa ini kini sering terjadi yang berawal dari perzinaan suka sama suka.
Solusi Islam
Islam sebagai agama yang sempurna diturunkan bagi seluruh umar manusia. Penerapan sistemnya akan mampu
menyelesaikan persoalan apapun, termasuk maraknya tindak kekerasan.  Dalam pandangan Islam, negara merupakan  penanggung jawab penuh dalam menjamin keamanan bagi semua,  warga, bukan sekadar menetapkan regulasi.
Negara harus  memastikan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga semua anak didik memiliki fondasi kuat dalam kehidupan pribadi maupun  sosial.  Dengan memahami agama sebagai landasan kehidupannya, mereka memiliki  tujuan hidup di dunia, yang jelas. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk mencari kesenangan sesaat.  Apalagi kesenangan yang harus melanggar rarangan agama sebagaimana yang banyak terjadi saat ini.
Negara juga harus memastikan keberadaan  media penyokong kemaslahatan bukan malah merusak. Hal itu dilakukan  dengan membatasi pada konten  yang  membincangkan kebaikan dan kemuliaaan saja. Sebaliknya, konten yang menyebabkan kemudaratan, seperti pornografi dan kekerasan sepenuhnya distop.
Keluarga juga menjadi fokus perhatian negara  dimana  kesejahteraan mereka dijamin. Lapangan kerja terbuka lebar bagi para kepala keluarga. Alhasil, kaum ibu  tak terbebani tugas mencari nafkah. Mereka akan fokus dalam mengurus rumah, serta menjadi pendidik dan madrosah utama bagi buah hati. Keluarga yang melandasi kehidupan keluarganya dengan ketakwaan niscaya bakal melahirkan generasi unggul yang  siap membangun peradaban manusia.
Alhasil Permendikbudristek 46/2023 PPKSP tidak akan mampu meredam tindak kejahatan di lingkungan sekolah. Selain tidak menyentuh akar persoalan, sistem sekuler liberal ini justru akan terus melahirkan generasi rusak dan merusak.
Adalah  menjadi sangat penting dan mendesak untuk segera mengembalikan kehidupan Islam yang penuh dengan rahmat-Nya. Dengan penerapannya yang bukan hanya di lingkungan sekolah, namun secara menyeluruh pada semua segi di masyarakat yang bertakwa akan merasakan kehidupan yang  aman , tenang dan sejahtera Â