Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Membayangkan Sistem Islam dalam Distribusi MinyakKita

15 Juni 2023   18:35 Diperbarui: 15 Juni 2023   19:24 139 0

Problem mahalnya minyak goreng, masih menghantui masyarakat. Sementara kehadiran MinyaKita yang digadang-gadang bisa menjadi solusi, nyatanya belum mampu mengurai masalah bahkan malah menambah persoalan.

Terdapat sejumlah distributor MinyaKita yang memberlakukan pembelian bersyarat. Bila ingin membeli produk ini, mereka harus membeli produk lainnya.  Model pembelian dengan sistem bundling seperti ini menyebabkan pedagang untuk kesulitan berjualan produk bersubsidi tersebut. Jadilah MinyaKita langka di pasarab sementara mogor nonsubsidi harganya masih mahal.

Di sisi lain, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengatakan,  penjualan migor dengan sistem bundling merupakan pelanggaran. Karena tindakan ini sama dengan pemaksaan terhadap konsumen yang sanksinya bisa berujung hukuman kurungan.

Sementara kalau dari sudut pandang distributor, sistem bundling ini dianggap sebagai cara untuk menghindari kerugian bagi pihak distributor. Pasalnya, utang pemerintah kepada distributor MinyaKita masih banyak. Tentu pengusaha tak mau merugi. Jadilah mereka menerapkan sistem bundling untuk menutupi tunggakan utang tersebut.

Data Berselisih

Pemerintah memang belum membayar utang pengurangan migor kepada Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dengan dalih ada selisih angka soal tagihan tersebut. Mendag Zulkifli Hasan mengatakan bahwa total tagihan dari pelaku usaha adalah sebesar Rp812 miliar, sementara hasil verifikasi oleh surveyor PT Sucofindo hanya  Rp474 miliar. Artinya, terdapat selisih yang cukup besar, yaitu Rp338 miliar. (Kontan, 06/06/2023).

Selisih sebesar Rp338 miliar ini menurut Mendag disebabkan beberapa faktor, di antaranya penyaluran yang tidak dilengkapi bukti sampai pengecer, adanya biaya distribusi, hingga penyaluran yang melebihi tenggat waktu. Namun demikian tetaplah aneh, karena jika berbeda data, mengapa selisihnya demikian besar?

Wajarlah bila KPK pun diminta segera turun tangan dengan mengusut kasus ini. Sebab di tahun sebelumnya Menlu Indrasari Wisnu Wardhana terbukti korupsi pengadaan migor. Begitu pun dari sisi distributor, sangat perpotensi untuk melakukan tindak kecurangan dengan penimbunan.

Siapa yang paling dirugikan dalam masalah yang menimpa. MinyakKita tentunya konsumen.  Rakyat dengan posisi konsumen merupakan pihak yang terdholimi karena harus membayar harga mahal untuk sebuah kebutuhan pokok. Barang mahal hanya terjangkau oleh orang mampu saja, sedangkan rakyat miskin harus menelan pil pahit  ketidakmampuan.

Pengusaha, tidak akan peduli dengan kesenjangan dimana satu pihak kekenyangan atau sebagian lainnya mati kelaparan. Mereka hanya berfokus pada keuntungan. Demikian pula penguasa oligarki dengan orientasi yang sama yaitu keuntungan.

Raih Citra dan Tambal Sulam

Pada hakekatnya kebijakan migor bersubsidi MinyaKita  bukanlah penyelesai bagi masalah kelangkaan minyak.  Sebaliknya, lebih merupakan kebijakan tambal sulam guna meraih citra baik. Dikatakan tambal sulam karena kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan yaitu langka dan mahalnya minyak di masyarakat. Sementara bila distribusi diserahkan pada swasta, aliran barang akan berkutat pada pada individu kaya saja, bahkan mereka bisa mengendalikan harga.

Perusahaan bukanlah pihak yang pertanggungjawa pada distribusi. Bila mereka memainkan peran distribusi, tentulah dengan  perhitungan yang berorientasi kepada keuntungan semata. Jika berpeluang rugi, mereka akan berupaya untuk membalikkan kondisi, seperti sistem bundling yang dilakukan distributor sebagai respons menunggaknya negara dalam membayar rafaksi migor.

Bila disebut pencitraan juga tepat sebab kebijakan ini seperti hanya memoles wajah buruk hal pengurusan  terhadap rakyat. Pasalnya, bila ditujukan menyalurkannya subsidi kepada warga miskin, kenapa yang disubsidi malah distributornya?

Tentunya bukan hanya rakyat yang terzalimi, melainkan pedagang kecil yang tidak memiliki koneksi juga terkena imbasnya. Bukan mustahil pula bika kekurangan Rp338 miliar itu akhrnya dibebankan kepada mereka.

Akibat Sistem Kapitalisme

Dalam pandangan sistem kapitalisme subsidi langsung kepada individu dianggap tidak produktif dan dapat memanjakan individu tersebut. Karenanya pemerintah menggindari kebijakan subsidi langsung. Sementara itu, subsidi kepada perusahaan dianggap akan menggerakkan perekonomian. Padahal pandangan ini hanyalah asumsi mengingat tidak semua individu mampu bekerja dan mengakses itu semua.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, distribusi barang  diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara, negara mengambil peran sebagai regulator, pengatur tempat bertemunya rakyat dengan pedagang. Jika sudah begini, aliran distribusi barang sangat mungkin terhenti kepada golongan tertentu.

Pangkal tidak terselesaikannya persoalan umat sebenarnya merupakan akibat dari ketiadaan peran negara dalam mengatur distribusi harta. Semestinya, negara dengan kekuatannya akan mampu mendistribusikan harta kepada seluruh umat. Sayangnya, kekuatan itu hilang dalam sistem kapitalisme batil buatan manusia diterapkan, sehingga kebijakan yang ada hanya bersandar kepada lemahnya akal manusia.

Melalui liberalisasi kepemilikan sumber daya alam, kas negara pun turut hilang. Sementara Individu penguasanya kerap beraksi memancing di air yang keruh. Kasus korupsi bansos, korupsi migor menjadi bukti akan hal ini.

Distribusi  Kekayaan  Dalam Sistem Islam

Paradigma kapitalisme telah memandulkan peran negara dalam mengurusi umat. Oleh karena itu, mengubah paradigma kapitalisme menjadi paradigma Islam menjadi hal yang urgen dan mendesak untuk diperjuangkan.

Sistem Islam mampu menjawab persoalan kelangkaan dan mahalnya migor juga kebutuhan pokok rakyat lainnya,  setidaknya karena dua  hal berikut. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun