Menanggapi rencana impor beras 2 juta ton itu, Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai keputusan pemerintah itu sevenarnya pahit. Pasalnya, izin impor itu justru dikeluarkan saat panen raya, di mana rakyat sangat memburuhkan pasar.
Kebijakan Menyimpang
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memandang bahwa suatu negara dianggap swasembada beras apabila produksi dalam negerinya mencapai 90%. Merujuk pada standar ini, Arief mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya masih dalam status swasembada pangan.
Sementara itu Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras dalam negeri sebanyak 31 juta ton. Karenanya, negeri ini sebenarnya masih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri mengingat konsumsi beras dalam negeri adalah 30 juta ton. Artinya, keamanan pangan dalam kondisi terjaga secara mandiri. Jika demikian, mengapa harus impor, apalagi dengan dalih demi kebutuhan masyarakat dan sebagai CBP?
Bila Bapanas saja menyatakan Indonesia telah berhasil melakukan swasembada lalu masih ada rencana impor beras, bukankah ini merupakan kebijakan aneh dan menyimpang ? Agaknya cocok dengan statemen ekonom Indonesia Faisal Basri, bahwa ada perburuan rente di balik kebijakan impor beras. Artinya ada pihak tertentu yang memanfaatkan kebijakan impor beras untuk kepentingan pribadi.
Direktur Lingkar Studi Ekonomi Ideologis (eLSEI) Arif Firmansyah juga menduga ada kartel impor pangan. Kartel ini membuat pemerintah galau terhadap ketahanan pangan di dalam negeri sehingga akhirnya terpaksa untuk impor.
Hanya saja, publik harus memahami bahwa dalam konsep sistem ekonomi kapitalis, impor bisa menjadi alat politik bagi negara lain untuk mengendalikan suatu negara, bahkan bisa mengendalikan kedaulatan pangannya. Tidakkah ini berbahaya? Lagi pula, sungguh aneh, negara agraris yang notabene memiliki ketersediaan lahan pertanian sangat luas dengan produksi tinggi, malah impor beras lagi. Terasa dekali adanya pengaruh oligarki pada importasi pangan.
Kepada Siapa Negara Memihak?
Alih-alih mendorong kesejahteraan petani, impor pangan yang dilakukan pemerintah justru berdampak buruk terhadap kemiskinan. Kualitas pertumbuhan ekonomi pun menerima efek buruknya. Kebijakan impor beras demi cadangan beras, justru membuat petani tak akan mendapat keuntungan apa pun.