Aku orang baru di desa ini. Masih meraba apa yang ada di desa ini. Ke sana ke mari, aku cari tahu, beradaptasi, dan bersosialisasi.
Sampai kemudian aku bertemu salah satu tetua di desa. Ki Jalu namanya. Baru bersalaman dan memperkenalkan diri, dia langsung menempelkan bibir ke telingaku.
"Kamu punya kelebihan," katanya lirih dan aku merasa tak nyaman karena bibirnya yang masih ada tembakau itu menempel di telingaku.
Di teras rumahnya, dengan kursi terbuat dari bambu, kami duduk. Ki Jalu bicara tak bisa dipotong. Apa saja dia bicarakan. Hingga aku hanya mengangguk saja.
"Kau bisa melihat kepala manusia dengan jelas. Kau akan melihat kemampuanmu itu nanti malam. Aku akan bilang ke kades agar kau datang menggantikanku," katanya.
"Siap-siap nanti malam, pertemuan di balai desa. Kamu harus datang, menggantikanku. Sekarang pulanglah dan istirahat," katanya.
Aku tentu tak bisa banyak membantah. Aku orang baru. Aku hanya mengangguk saja. Lagipula, datang ke pertemuan apa susahnya? Ya kan?
Sore hari, Pak Kirman datang ke kontrakanku. Dia bilang bahwa aku diminta datang di pertemuan nanti malam, mewakili Ki Jalu.
"Siapa yang diminta langsung mewakili Ki Jalu, pasti bukan orang sembarangan," kata Pak Kirman.
Aku hanya diam saja. Tapi ya sudahlah. Aku tak mau ambil pusing.
***
Malam hari itu datang juga. Aku tentu saja tak pernah paham apa rapat ini. Membahas apa dan aku harus bagaimana? Tapi ya sudahlah, aku hanya duduk tenang dan dipersilakan di depan oleh pak kades. Maksudnya duduk di bagian depan.
Aku hanya jadi pendengar saja. Lambat laun aku mulai paham apa rapat itu. Ternyata orang-orang di situ sedang membagi uang hasil bantuan pemerintah, bantuan tokoh politik, bantuan pengusaha kaya raya. Aku menduga ini cara ilegal untuk bagi-bagi kue segelintir orang.
Tapi mereka tak asal membagi. Semua harus memiliki alasan jelas mengapa meminta bagian dengan nilai tertentu.
"Kau tak tahu, bagaimana warga lingkunganku kepayahan. Aku harus dapat 400 juta," kata Sikin berapi-api. Dia adalah kepala dusun yang merasa mewakili warganya.
"Hanya warga 200 KK, meminta uang sampai 400 juta. Itu tak masuk akal. Turunkan jumlahnya, cukup 100 juta," kata Sabar menimpali. Dia kepala dusun lain yang memang sering beda pandangan dengan Sikin.
"Kita butuh suasana religi. Desa ini butuh acara religi. Ya setahun sekali sudah cukup. Tapi dibuat wah, berkelas, dan mengesankan. Aku butuh 500 juta untuk itu," kata Agus, yang mengurusi perihal keagamaan di desa.
Di antara penggede itu, aku lihat juga Kasdi, petani kecil yang bisa-bisanya masuk forum istimewa ini. "Aku butuh 50 juta saja. Aku mau ada hajatan," katanya lantang.
"Setuju..." Serentak suara menyetujui permintaan Kasdi. Aku sempat kaget, seorang Kasdi bisa di-ACC untuk kepentingan pribadi. Tapi aku baru ingat cerita tempo hari tentang petani kecil yang punya banyak kartu mati para penggede desa.
"Mungkin petani kecil yang dimaksud adalah Kasdi," batinku.
Rebutan duit terjadi sangat panas. Tapi tak ada bentrok fisik. Makin lama, permintaan duit makin tak masuk akal.
Makin lama, aku pusing juga mendengarkannya. Sembari geleng-geleng kepala dan menelan ludah, aku kemudian menutup mata sesaat.
Ketika aku membuka mata, semua kepala mereka yang berdebat jatah uang, berubah dengan kepala tikus. Semuanya berkepala tikus.
Setiap mereka bicara air keluar dari mulutnya. Menjijikkan sekali. Kepala mereka adalah kepala tikus paling kotor yang pernah aku lihat.
Bayangkan saja tikus terkotor dengan suara parau dan air di mulut yang menjijikkan. Mereka tikus-tikus kotor. Terengah-engah memperjuangkan mendapatkan duit yang sebetulnya bukan haknya.
Aku merasa inilah yang dimaksud Ki Jalu, bahwa aku memiliki kelebihan. Aku mau muntah lihat perdebatan mereka, tingkah laku mereka.
Aku memalingkan muka ke belakang untuk mengeluarkan sedikit muntahan. Saat kupalingkan muka, aku melihat cermin. Aku sangat terhenyak karena kepalaku juga berubah jadi tikus. Bahkan tikus paling buruk dan kotor di antara tikus-tikus yang ada di ruangan itu.