Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Hajatan

1 Desember 2024   15:13 Diperbarui: 1 Desember 2024   15:20 79 16
Aku sudah berdiskusi panjang lebar dengan istriku. Bahwa kami tak akan mengadakan hajatan saat Amar khitan. Amar, anakku yang pertama memang sebentar lagi dikhitan.

Ya, kami memutuskan tak hajatan karena memang uang kami tipis. Lagian, kami juga tak mau berutang untuk hajatan. Kami tahu diri bahwa utang itu hanya akan menyulitkan.

Aku sudah bilang ke Amar secara baik-baik. Ya mungkin aku bukan ayah yang istimewa karena untuk mengadakan hajatan pun tak mampu.

Kadang aku merasa teriris melihat Amar khitan tanpa hajatan, tanpa perayaan. Tapi, ya bagaimana lagi.

Aku bersyukur Amar mau menerimanya. Dia bilang, tak masalah tak ada hajatan. Amar anak yang paham bapaknya tak mampu cari duit yang banyak.

Satu per satu orang bertanya tentang khitanan Amar. Aku dan istriku tentu saja bicara apa adanya. Bahwa Amar akan khitan dan tak ada hajatan.

Sejak kabar tak ada hajatan itu mencuat, satu per satu kata-kata miring menerpa telingaku. "Khitan kok ngga ada hajatan. Pelit kali," ada yang bilang begitu.

"Apa ngga kasihan sama anak. Melihat teman yang lain ngadakan hajatan, ini khitan malah sepi-sepi saja," ada yang bilang begitu.

Aku tentu saja punya perasaan. Aku merasa sangat bersalah. Sebab tak mampu jadi ayah yang istimewa. Istriku? Ah entahlah apa yang sedang berkecamuk di hatinya.

Malam itu, sepekan sebelum Amar khitan, aku berbisik ke telinga istriku. Air mataku mengalir. "Maaf..." Kataku ingin menegaskan bahwa aku bukan ayah yang istimewa.

Istriku hanya mengangguk, lalu memelukku erat.

Sampai di hari Amar khitan. Tentu saja tak ada dekorasi rumah. Tak ada undangan. Tak ada apa-apa. Aku antar dia ke ahli khitan dan semua berjalan dengan aman.

Aku peluk dia erat-erat dan sekali lagi meminta maaf. "Maafkan bapak..." Kataku.

Lalu, Amar mengangguk seperti istriku. Dia memelukku erat dan berbisik. "Terima kasih pak..." Katanya.

Kami pulang dan memang tak ada apa-apa. Karena sudah sejak jauh hari kami bilang tak ada hajatan.

Tapi satu per satau orang datang. Tetangga datang mengucapkan selamat ke Amar. Mereka mendatangi Amar dan memberikan uang.

Aku pun harus menggelar tikar di ruang tamu rumah yang tak seberapa. "San... Aku air putih saja, tak usah teh manis," kata Sarno.

"Ada minuman?" Kataku pada istri.

"Ada air mineral tak seberapa jumlahnya," jawab istriku.

"Ada makanan ringan?" Kataku mulai panik.

"Ada tapi tak seberapa," jawab istriku.

Aku benar-benar kelimpungan. Sebab, satu per satu warga mulai datang. Padahal sebelumnya aku sudah bilang tak ada hajatan, tapi di hari H orang-orang tetap datang memberikan selamat.

"Ada uang," tanyaku makin panik.

"Ada tapi tak seberapa," kata istriku.

"Bisa minta bantuan Minah untuk beli camilan?" Tanyaku.

"Bisa," kata istriku.

Minah adalah tetangga belakang rumah.

"Masak air, Bu," kataku.

"Iya," kata istriku.

Aku merasa kalah sebagai seorang bapak. Kondisi tak ada uang, dan dihadapkan dengan situasi seperti ini. Tak mungkin aku usir tetanggaku yang datang memberi selamat ke Amar.

Aku hanya bisa senyum dan menjawab sekenanya saja setiap obrolan di ruang tamu. Aku bolak balik masuk keluar ruang tamu, memastikan bahwa semua baik-baik saja.

Kau tahu? Yang datang semakin banyak. Aku tak bisa apa-apa. Istriku tak bisa memberikan jawaban lagi. Minah juga menunggu uang untuk kembali membeli camilan.

Aku kalah...

Tapi kemudian, Amar dengan jalan pelan, mendatangiku. Memberikan semua amplop dari tetangga.

"Buat bapak. Buat beli makanan dan minuman," kata Amar lalu memelukku.

Aku tak bisa lagi menolak pemberian anakku sendiri di situasi serumit ini. Tak bisa.

"Maafkan bapak..." Kataku sembari memeluk Amar erat-erat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun