Sebagai orang yang dihormati, banyak yang mulai berkeluh kesah padaku. Tentang ekspansi usaha Nono. Dia buka warung di mana saja.
Mulanya di desa sebelah dia buka warung yang besar. Yang pembelinya bisa mengambil sendiri barang yang dia beli. Sontak beberapa warung kelontong desa sebelah mulai menggerutu.
Kasno, datang ke rumahku. Dia curhat warungnya dan beberapa warung di desa sebelah akan gulung tikar. Karena Nono punya modal yang sangat besar.
"Orang-orang, anak-anak terutama, akan lari ke warungnya Nono," kata Kasno dengan geleng kepala dan air di matanya.
Kasno menarik napas panjang dan meminta bantuanku agar Nono menutup warungnya.
"Agak repot juga kalau meminta dia menutup warung," kataku.
"Dia tutup warung tak akan miskin. Mending dia tarung di kota, di tempat semua orang memiliki modal berlimpah," kata Kasno.
Aku tentu tak enak hati terang-terangan meminta Nono tutup warung. Tak mungkin juga aku melakukan itu. Siapa pula aku?
Tapi cerita pilu itu bertambah. Nono mulai buka warung di desaku. Bukan hanya satu warung, tapi dua warung sekaligus. Di titik barat dan timur. Semua warung yang lengkap dan pembeli bisa ambil sendiri barang yang akan dibeli.
Karman, Zul, dan Karto berulang kali menyampaikan gundahnya padaku. "Aku bisa gulung tikar kalau begini!" Kata Zul.
Aku merasa punya alasan lebih baik untuk protes pada Nono. Aku pikir Nono bisa untuk menutup warung di desaku. Ya karena ini desaku.
"Kamu orang beragama kan! Rezeki sudah ada yang mengatur!" Kata Nono dengan hentakan yang tak kusangka.
"Sudah ada semua rezeki. Jadi tak perlu khawatir jika aku buka banyak warung. Lagipula aku membuat banyak orang jadi dapat pekerjaan. Iya kan?" Tanyanya.
"Iya, tapi kamu berpotensi membunuh usaha orang kecil," kataku.
Dia menggebrak meja. Sesuatu yang tak pernah aku bayangkan. Apalagi kami adalah teman sepermainan saat kecil. "Rezeki sudah ada yang mengatur. Tuhan yang mengatur!" Katanya meninggi.
Aku mencoba cerita yang lain dan berusaha agar dia tak meledak-ledak. "Di kota sepertinya lebih prospektif. Kau bisa jual banyak barang di sana," katanya.
"Kau siapa?" Katanya dengan nada yang tinggi.
Ya sudahlah. Aku merasa tak enak hati. Tak enak juga dilihat orang lalu lalang, dihardik sedemikian rupa. Aku pulang saja.
***
"Kau kan orang yang sangat punya kuasa! Aku menuruti semua omonganmu. Meninggalkan yang gelap dan coba berusaha yang halal. Tapi aku diperlakukan seperti ini! Usahaku makin lama makin tenggelam. Modalku tipis. Saudara macam apa kau!" Kata Adikku, Hasan.
Memang aku yang menarik dia dari dunia gelap. Dia sumringah dengan usahanya yang bisa memenuhi perut keponakanku. Tapi kini semua memang berubah.
Wajah Hasan sangat merah. Dia jengkel dengan warung Nono yang serampangan mematikan usaha orang kecil. Tak hanya itu, istri Hasan datang ke rumahku.
Dia membawa anak kecilnya, keponakanku yang sudah beberapa hari sakit dan tak bisa ke dokter. Aku juga baru tahu. Aku benar-benar tak tega melihat keponakanku lunglai seperti itu.
Entah siapa yang menggerakkan tanganku. Mungkin rasa ibaku yang meletup-letup. Tanganku mengambil telepon genggam.
"Nono, 30 warung di beberapa desa. Aku yakin kamu tahu. Jika kau masih menghormatiku, tak usah kirim barang ke warungnya," kataku.
"Sampai kapan?" Tanya di balik telepon.
"Omonganku jelas. Jika kau masih menghormatiku, jangan kirim barang ke warungnya. Sebarkan ke semua orang-orangmu," kataku lalu menutup telepon.
***
Mungkin dan sepertinya pasti, Nono sudah tahu bahwa aku yang membuat usahanya oleng. Dia menghampiriku. Dia mencak-mencak.
"Kau licik, kau tak punya perasaan. Kau main tidak fair. Kau yang menghancurkan bisnisku! Laknat kau!" Katanya dengan suara tinggi.
"Kau beragama? Kau tahu kan jika rezeki sudah ada yang mengatur!" Kataku dengan gigi menekan. Aku ingat keponakanku lunglai.