Sampai sekarang orang-orang memanggilnya Dalban. Dia kadang waras, kadang tak waras. Kalau lagi kumat dia bisa cerita panjang lebar. Tapi dia tak pernah mengganggu, hanya cerita panjang lebar.
Satu ketika, dia mendatangiku di gardu ronda. Dia ingin cerita padaku bahwa dia mendapat kabar jika malaikat bingung.
"Aku dapat kabar dari temannya temanku, yang masih saudara dengan teman dari bapak ibuku. Dia si teman dari temanku itu dapat kabar malaikat bingung," katanya.
Aku hanya mengangguk saja. "Lagi kumat sepertinya," kataku dalam hati.
"Kau tahu, kabarnya malaikat bingung. Malaikat mencatat permintaan orang-orang dan lalu bingung. Bingung karena hampir semua orang, doanya sama. Ingin kaya raya," kata Dalban.
"Sekarang kau pikir Man. Apa mungkin semua orang itu kaya raya? Sementara uang dan harta di dunia ini terbatas. Ya tak mungkin semua jadi kaya raya," kata Dalban.
"Kalau doa sebagian saja dikabulkan, maka akan muncul apa? Kau tahu?" Tanyanya.
Aku hanya geleng kepala.
"Kalau sebagian saja dari mereka doanya dikabulkan dan mereka jadi kaya raya, otomatis uang akan ngumpul di sebagian mereka. Kalau uang ngumpul di sebagian mereka, maka sebagian yang lain akan sedikit kecipratan uang. Sebagian yang lain akan miskin. Ya kan?" Kata Dalban.
Aku hanya mengangguk.
"Maka dari itu, kabarnya malaikat bingung. Kok manusia sekarang, doa saja sudah serakah. Mau minta buanyak kekayaan," katanya.
"Kenapa tak minta supaya sehat. Kalau sehat kan tak mungkin yang lainnya sakit. Tapi kalau semua minta kaya raya ya tak mungkin. Kalau sebagian besar minta kaya raya dan dikabulkan, pasti akan ada yang miskin. Karena uang dan harta itu terbatas," katanya.
Aku kemudian bertanya. "Terus akhirnya bagaimana setelah malaikat bingung?" Tanyaku.
"Wah nggak tahu. Aku hanya dapat cerita sampai situ. Cerita panjangnya aku tak tahu. Ngga mungkin kan aku ngarang cerita," kata Dalban.
"Oh, berarti cerita tadi bukan karanganmu?" Tanyaku.
"Ya sebenarnya cerita tadi karanganku sih. Tapi hanya 5 persen yang karanganku," katanya.
"Yang 5 persen karanganmu, nah yang 95 persen?" Tanyaku.
"Yang 95 persen dusta," katanya enteng sambil berjalan pergi sembari membenarkan celana kolornya yang sudah turun sampai lutut.