Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Polemik UU Pilkada dan Tiga Kemungkinan saat Pendaftaran Calon

23 Agustus 2024   06:47 Diperbarui: 23 Agustus 2024   06:54 84 9



Kini tengah terjadi polemik terkait UU Pilkada. Pertarungannya antara MK melawan DPR. Rakyat banyak protes ke jalan, meminta agar DPR mematuhi putusan MK. Ada tiga kemungkinan yang terjadi saat pendaftaran kandidat di tengah dinamika saat ini.

Sebelum ditulis tentang tiga kemungkinan itu, akan ditulis terlebih dahulu tentang cerita singkat hingga polemik ini terjadi.

DPR adalah pembuat UU. Tentu saja pemerintah ikut di dalamnya. Jika ada pasal dalam UU hasil buatan mereka dinilai bermasalah atau bertentangan dengan UUD 1945, maka warga negara bisa mengajukannya ke MK. MK akan memutuskan apakah pasal yang dibuat DPR dibantu pemerintah itu benar atau salah. Mekanisme di MK itu bernama uji materi atau bahasa lainnya judicial review.

Lalu, ada sekelompok masyarakat dalam hal ini parpol yaitu Partai Buruh dan Partai Gelora mengajukan uji materi UU Pilkada. Dua parpol itu meminta agar MK membolehkan parpol tak punya kursi di DPRD mengusung calon di Pilkada.

Lalu, putusan MK adalah mengubah syarat pencalonan dari sisi parpol. Sebelumnya syarat parpol atau gabungan parpol mengusung calon kepala daerah adalah memiliki minimal 20 persen kursi di DPRD.

Syarat itu memang berat bagi parpol untuk sendirian mengusung calon. Sebab, sangat jarang ada parpol bisa dapat kursi 20 persen di DPRD. Realitas politiknya parpol harus koalisi untuk sampai 20 persen kursi.

Sebagai contoh PDIP yang masuk dua besar di Jakarta, tak bisa mengusung calon sendiri karena kursi PDIP di DPRD Jakarta tak sampai 20 persen.

Lalu apa putusan MK? Putusan MK adalah mengubah syarat pencalonan kepala daerah dari sisi parpol. MK memutuskan syarat bagi parpol mencalonkan kepala daerah adalah memiliki suara dengan persentase tertentu saat pileg terakhir. Suara tersebut secara berjenjang dikaitkan dengan jumlah pemilih.

Misalnya untuk daerah/provinsi yang memiliki pemilih 12 juta ke atas, maka syarat mengajukan calon adalah parpol atau gabungan parpol mendapatkan suara 6,5 persen pada pileg terakhir.

Misalnya jika sebuah provinsi memiliki daftar pemilih 20 juta, syarat parpol atau gabungan parpol untuk mengusung calon kepala daerah adalah 6,5 persen alias memiliki suara 1,3 juta di pileg terakhir.

Syarat yang MK buat itu, lebih memudahkan dari syarat sebelumnya yakni 20 persen kursi. Karena syarat MK itulah PDIP bisa mengusung calon Gubenur Jakarta di Pilkada 2024 tanpa harus koalisi.

Hanya saja realitas politik di DPR RI terkesan ingin mengabaikan putusan MK. DPR membahas revisi UU Pilkada dengan persyaratan seperti sebelum putusan MK yakni 20 persen kursi.

Tak hanya soal syarat itu, DPR juga tidak merujuk putusan MK terkait syarat usia calon kepala daerah. DPR merujuk putusan MA.

Apa perbedaan putusan MK dan MA terkait syarat usia calon kepala daerah?

MK memutuskan usia kandidat paling muda adalah 30 tahun saat pendaftaran. MA memutuskan usia kandidat adalah 30 tahun saat pelantikan.

Apa implikasi dari putusan MA? Implikasi yang disorot publik adalah anak Presiden Jokowi yakni Kaesang bisa melenggang ke pilkada jika mengacu putusan MA.

Kaesang kini berusia 29 tahun. Akan berusia 30 tahun pada Desember 2024. Pendaftaran kandidat pada akhir Agustus 2024. Pelantikan pada Februari 2025.

Jika pakai putusan MK, maka Kaesang tak bisa nyalon. Jika pakai putusan MA, Kaesang bisa nyalon. Kaesang digadang maju di Pilkada Jateng.

Apa implikasi jika DPR pakai putusan MA dan abaikan putusan MK? Tentu hasil pilkada batal. Sebab, putusan MK setara dengan UU. Artinya jika tak mengacu putusan MK, maka tak mengacu UU.

Dengan segala dinamika di atas, masyarakat pun melakukan protes ke DPR. Protes besar-besaran meminta agar DPR ikut putusan MK terkait pilkada. Protes terjadi mulai Kamis (22/8/2024).

Lalu DPR gagal mengesahkan UU Pilkada hasil revisi mereka. Sebab anggota yang datang tak memenuhi kuorum. Sufmi Dasco, wakil ketua DPR mengatakan bahwa karena revisi UU Pilkada tak bisa disahkan, pendaftaran pilkada pakai putusan MK.

Apakah begitu seperti kata Sufmi Dasco? Ya tak tahu namanya juga politik.

Dengan segala dinamika dan cerita itu, setidaknya ada tiga kemungkinan saat pendaftaran calon di Pilkada yang akan berlangsung 27 sampai 29 Desember 2024.

Kemungkinan Pertama

DPR bisa saja mengesahkan UU Pilkada sebelum pendaftaran. Kita semua tak tahu. Siapa tahu dalam beberapa hari ke depan kuorum dan UU Pilkada hasil revisi disahkan oleh DPR sebelum pendaftaran calon.

Jika isi UU Pilkada hasil revisi bersimpangan dengan putusan MK, maka akan terjadi kegaduhan luar biasa saat pendaftaran. Ada yang mendaftar berdasarkan putusan MK dan ada yang mendaftar berdasarkan UU Pilkada. Yang repot tentu saja KPU. Bakal kacau.

Kemungkinan kedua

UU Pilkada hasil revisi tak bisa disahkan. Tapi bukan tidak mungkin pemerintah membuat peraturan pemerintah pengganti UU atau perpu. Perpu yang mungkin isinya tidak sejalan dengan putusan MK.

Ini juga akan berimplikasi seperti kemungkinan pertama.

Kemungkinan Ketiga

Tak ada revisi UU Pilkada dan tak ada perpu. Syarat pencalonan seperti putusan MK. Jika ini terjadi maka tak akan ada kegaduhan.

Semoga

Semoga saja kemungkinan ketiga yang terjadi. Karena tidak akan memunculkan kegaduhan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun