MK membuat putusan yang memberi keringanan syarat bagi parpol atau gabubgan parpol mengusung calon di pilkada. Syarat ditentukan berdasarkan suara saat pileg sebelumnya dihubungkan dengan jumlah daftar pemilih tetap.
Untuk Pilkada Jakarta, syarat mengajukan calon bagi partai atau gabungan partai adalah suara 7,5 persen di pileg lalu. Karena aturan baru dari MK tersebut, PDIP mampu mengusung calon sendiri di Pilkada Jakarta.
Lalu siapa calonnya? Sebelum ada putusan MK, PDIP mewacanakan Anies maju Pilkada. Namun karena syarat kuota kala itu tak memenuhi, maka PDIP tak bisa mengusung Anies. Kala itu, PDIP butuh teman koalisi.
Kini, PDIP punya syarat untuk maju tanpa harus koalisi. Maka bola pencalonan ada di tangan PDIP. Bisa saja PDIP tetap mengusung Anies, tapi bisa juga mengusung kader sendiri seperti Ahok.
Dalam situasi seperti ini, maka bukan PDIP yang mendatangi Anies, tapi Anies yang mendatangi PDIP. Sebab sekali lagi, bola ada di PDIP.
Di sinilah action politik pihak Anies akan terlihat. Jika mereka mampu meyakinkan PDIP, maka angkat jempol untuk tim Anies. Tapi jika tak bisa meyakinkan PDIP, ya tentu aksi politik tim Anies tak istimewa.
Angin untuk Ahok
Sebetulnya putusan MK ini lebih tepat sebagai angin untuk Ahok. Dengan putusan MK, PDIP bisa maju sendirian. Ahok adalah kader PDIP.
Maka, angin bagi Ahok tentu membesar. Dalam beberapa waktu belakangan, Ahok juga seperti bergairah untuk ikut Pilkada Jakarta.
Nama Ahok juga masih dikenang warga Jakarta. Sebab, dia pernah jadi Gubernur Jakarta yang kala itu masih berstatus daerah khusus ibu kota.
Jadi, putusan MK bisa saja mengembalikan Ahok untuk berkompetisi di Pilkada Jakarta. Nah kini tinggal PDIP mau bagaimana. Apakah mengusung Anies atau mengusung Ahok? Atau menggabungkan keduanya seperti wacana yang pernah berkembang.
Kalau menggabungkan keduanya, tak akan mungkin. Karena aturannya adalah mantan kepala daerah tak bisa turun kasta menjadi calon wakil kepala daerah.
Maka, semua keputusan ada di tangan PDIP.