Aku hanya ingin bercerita padamu. Cerita yang mungkin saja sering kau alami sendiri. Tentang lalu lintas jalan di pagi hari yang mengerikan.
Kemarin pagi, aku kembali melihat bagaimana lalu lintas jalan yang mengerikan. Aku melihat dari balik teras klinik dokter saat menemani anakku yang sakit dan berobat.
Aku melihat, kendaraan roda dua dan empat berseliweran. Sebagian kendaraan itu melaju cukup kencang. Mungkin pengendaranya terburu-buru.
Pagi, adalah potret mengerikan karena semua tumplek di jalan. Orang masuk kantor, orang pulang dari pasar, dan anak-anak yang berangkat sekolah bersama "sopirnya".
Tak usah kau lihat suasananya, kau dengar suara jalan saja, riuh rendah tak terkira. Apakah keriuhan dan suasana ruwet itu adalah bekal bagus mengawali aktivitas? Menurutku tidak!
Anak mengawali sekolah dengan bising jalan yang luar biasa, dengan keruwetan lalu lintas yang harus diurai banyak orang. Belum sekolah saja sudah potensi tegang.
Pekerja mengawali pagi dengan riuh jalan yang berpotensi mencelakakan. Belum bekerja saja sudah tegang tak terkira.
Kemudian di pagi itu, "duarrr" suara agak kencang terdengar. Seorang wanita teriak penanda ada musibah. Aku memutuskan tak melihatnya.
Sebab aku tahu itu kecelakaan. Aku juga tahu di sana sudah berkerumun orang untuk membantu. Tak mungkin aku menambah kerumunan hanya untuk melihat.
Aku hanya merangkum fenomena dan menyimpulkan. Kesimpulanku, jika pagi di jalan selalu padat, riuh, berburu waktu, sepertinya kecelakaan hanya tinggal "menunggu undian". Sekali lagi itu fenomena tak sehat.
Opsi Ruwet
Lalu apa solusinya? Opsi pertama adalah memperlebar jalan agar potensi kepadatan lalu lintas bisa tak terkonsentrasi. Tapi memperlebar jalan juga berpotensi menghilangkan jalur jalan kaki. Kan repot.
Memperlebar jalan juga menjadi mustahil jika jalan itu sudah tak ada area untuk ditambah. Mau memperlebar bagaimana mengingat jalannya sudah mepet rumah warga.
Opsi memperlebar jalan hanya mungkin bagi jalan yang kanan kirinya masih lega dan tentu tetap wajib jalan bagi pedestrian.
Opsi terkait jalan lainnya adalah menambah jalan baru. Tapi tentu akan muncul penggusuran dan itu potensial polemik.
Opsi kedua adalah moratorium produksi kendaraan. Ini juga hampir tak mungkin. Jika moratorium, bagaimana nasib ribuan buruh di perusahaan otomotif di Indonesia?
Opsi ketiga adalah pekerja kantor pemerintah masuk agak siang. Tapi ini juga ruwet karena pelayanan publik sangat potensial terganggu, khususnya kantor pemerintah yang singgungan dengan publiknya cukup intens.
Opsi keempat adalah membuat anak-anak lebih siang berangkat sekolah. Ini opsi yang paling mungkin. Tapi juga akan jadi problem teknis keluarga tertentu. Problemnya siapa yang mau nganter anak sekolah jika orangtuanya sudah berangkat kerja duluan?
Tapi saya tak sepakat anak sekolah berangkat lebih pagi guna mengurangi kepadatan lalu lintas.
Opsi kelima adalah memastikan adanya bus sekolah di semua daerah. Memastikan juga bus sekolah selalu beroperasi. Memastikan juga bus sekolah hanya beroperasi di area yang tak terjangkau angkutan umum partikelir.
Opsi keenam, membangun budaya empati yang besar. Membangun budaya saling menghargai yang besar. Empati, menghargai membuat orang makin sadar bahwa fasilitas umum bukan milik pribadi. Sehingga tak ugal-ugalan di jalan.
Tapi membangun budaya empati dan menghargai jelas bukan persoalan mudah. Sebab kita sudah terjebak dengan nilai-nilai individu yang terlampau melebihi batas.
Perangkat kehidupan, hasil industri, dan cara pikir sudah mulai karatan dengan nilai liberalisme dan individualisme. Dan sebagian orang termasuk aku, sering tak menyadari itu...