Ada satu hal yang aku ingat, sang kiai melarang jemaah pria menggunakan celana panjang saat salat. Sebelum salat biasanya beliau jalan ke tempat imam. Jika melihat jemaah pria memakai celana panjang langsung disuruh ganti pakai sarung.
Namun ada juga kompromi yang dibolehkan, yakni memakai celana panjang tapi tetap memakai sarung. Temanku pernah, salat pakai celana panjang lalu tetap pakai sarung. Jadi tampak luar tetap sarung. Kesannya memang aneh.
Alasan sang kiai waktu itu adalah, salat jangan seperti penjajah Belanda yakni pakai celana panjang. Celana panjang identik dengan pakaian Belanda.
Jadi sang kiai memang besar di masa penjajahan Belanda. Semangat melawan penjajah sampai pada pakaian salat.
Bahkan ketika Indonesia merdeka hampir 50 tahun, sang kiai masih menggunakan pakem di masa penjajahan. Salat tak boleh pakai celana panjang.
Dulu memang terlihat aneh dengan sang kiai. Sebab, hanya beliau yang seperti itu. Kiai lain sekitar kampungku tidak pernah memberi larangan salat pakai celana panjang.
Tapi seiring berjalannya waktu, sang kiai wafat, dan aku makin dewasa, aku memahami mengapa sang kiai begitu. Ya tentu karena sejarah kehidupan beliau yang kental dengan masa penjajahan. Apalagi, jika dilihat dari umurnya, maka di masa tahun 40-an, beliau sudah berumur 50 tahunan.