Persoalan menjadi muncul dan bahkan meruncing jika hak itu kemudian digeneralisir atau diungkapkan ke publik beserta alasannya. Lalu, alasan itu memberikan persepsi bahwa pihak "yang lain" adalah kuno, tidak demokratis, tidak intelek, dan lainnya.
Misalnya begini. X memutuskan untuk childfree. Lalu dia mengungkapkan alasan childfree ke publik lewat dunia maya. Jika dia mengungkapkan alasan childfree ke publik, maka secara tidak langsung dia mewacanakan childfree sebagai diskusi publik.
Si X bilang ke publik bahwa childfree memiliki keunggulan bla bla bla. Jika dia mengungkapkan keunggulan childfree, besar kemungkinan dia akan menekankan kelemahan orang yang menolak childfree.
Sebab, antara memutuskan childfree dengan menolak childfree adalah dua kutub yang berseberangan. Maka, mengunggulkan childfree pasti akan menyinggung mereka yang menolak childfree.
Jika secara terbuka ke publik mengunggulkan childfree, maka kemungkinan besar secara terbuka juga menyinggung mereka yang menolak childfree.
Wajar jika orang yang menolak childfree kemudian bersuara. Sebab, mereka yang melakukan childfree telah membuka wacana di ruang publik. Kalau sudah begitu, akan lebih bagus jika wacana ini kemudian dihadirkan dalam sebuah ruang dialektika.
Tentu benar bahwa childfree adalah hak pribadi. Tapi ketika itu sudah diungkapkan ke ruang publik dan menyenggol mereka yang menolak childfree, maka harus mau untuk berdialektika secara rasional.
Kerangka
Kerangka tulisan saya adalah, ada hak pribadi. Lalu jika hak pribadi diungkap beserta alasannya ke ruang publik, akan potensi muncul pro kontra. Ketika ada kontra karena orang lain juga bisa memiliki hak yang berbeda, jantanlah untuk berdialektika.
Ketika alasan-alasan subjektif Anda dibantah oleh orang yang beda pandangan, ya itulah risiko melempar wacana ke publik. Jika argumentasi Anda lemah, maka di situlah letak ketidakmampuan Anda mempertanggungjawabkan wacana di hadapan publik.