Entah bagaimana mulanya, Toni tak mampu lagi mengendalikan pikirannya. Dia menjadi sangat liar. Bukan hanya liar berpikiran, dia juga liar bertindak.
Dia tahu bahwa semua itu kebablasan. Tapi dia tak bisa mengeremnya. Dia merintih kesakitan karena tangannya berkali-kali memukul dirinya sendiri.
Dia bingung harus bagaimana karena pikirannya sangat liar. Dia hanya ingin orang melihatnya apa adanya. Makanya dia pernah jalan tanpa sehelai benang pun.
Setelah tindakan-tindakan tak wajar itu, dia selalu menangis. Dia sesenggukan. Dia ingat ibunya, ingat bapaknya. Dia kecewa pada diri sendiri mengapa seperti itu.
Dia kecewa karena tak bisa mengendalikan dirinya. Dia makin runyam karena merasa semua orang menghindarinya. Satu malam, akhirnya dia teriak meronta.
"Tolong aku Tuhaaaan. Tolong, aku tak sanggup mengendalikan diriku," katanya suatu malam.
Lalu, tiap malam ronta seperti itu berulang-ulang. Tak ada yang peduli dengan kegundahan Toni.
Semua orang hanya memberi kesimpulan sederhana. Kesimpulannya, "Toni gila". Sesederhana itu kesimpulannya.
"Bagaimana kalian menganggap aku gila. Sementara ketika aku ingin bercerita, kalian lari. Kalian tak menghiraukanku. Kalian selalu pergi ketika aku berusaha cerita deritaku. Tuhaaaann. Apakah aku yang gila?" Kata Toni teriak jelang senja.
Toni teriak dengan kaki sudah dipasung. "Kalian hanya memikirkan diri kalian sendiri. Kalian simpulkan sesuai hajat kalian bahwa aku gila. Kalianlah perusak sebenarnya. Perusak kemanusiaan!" Teriak Toni.
Tiap hari Toni selalu begitu. Bahkan ketika dia disuapi keponakannya, dia tak berhenti menghujat semua orang. "Bukan aku yang gila, tapi kalian-kalianlah yang mirip binatang," kata Toni dengan nasi berserakan di jenggot dan kumisnya.
"Apa aku mirip binatang, Om?" Tanya ponakan Toni yang hitam manis itu. Namanya Fafa.
"Nggak. Hanya kamu yang baik, Fa," kata Toni.