Muncul usaha sebagian pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Intinya, mereka meminta agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup, bukan lagi proporsional terbuka.
Jika uji materi tersebut dikabulkan oleh MK, maka pemilu akan seperti di masa sebelum 2004. Sebelum Pemilu 2004 memakai sistem proporsional tertutup. Jadi di surat suara hanya ada parpol, tak ada nama caleg.
Jika kembali ke proporsional tertutup, ada potensi parpol makin ugal-ugalan. Sebab, parpollah yang menentukan caleg yang akan maju ke DPRD atau DPR.
Kekuasaan parpol makin besar. Jika misalnya parpol mendapatkan 4 kursi, maka parpollah yang akan menentukan caleg mana saja yang akan jadi anggota legislatif. Dalam proporsional tertutup, pemilih dipaksa hanya memilih parpol.
Padahal jika menggunakan proporsional terbuka, pemilih bisa memilih caleg. Caleg yang memiliki rekam jejak bagus, potensial mendapatkan suara terbanyak. Kemudian caleg tersebut akan jadi anggota dewan, khususnya ketika parpolnya berhak dapat kursi.
Di proporsional terbuka, pemilih memiliki kekuasaan untuk menentukan calegnya di dewan. Di proporsional terbuka, pemilih tidak pasrah pada parpol.
Apakah proporsional terbuka mengeliminir parpol sebagai peserta pemilu? Tentu tidak. Sebab, jika kita memilih caleg X, maka kita otomatis memilih parpolnya caleg X.
Kembali ke proposional tertutup adalah cara mundur dalam pemilu.
Kader
Saya pikir jika parpol melakukan kaderisasi dengan baik dan benar, mereka akan memiliki kader berkualitas. Kader berkualitas adalah sosok yang memiliki kemampuan dan loyal ke parpol.
Jika parpol memiliki banyak kader berkualitas dengan rekam jejak yang baik dan terang, proporsional terbuka justru jadi ajang parpol meraup banyak suara.
Semakin banyak kader berkualitas jadi caleg, makin banyak suara ngumpul ke para caleg berkualitas yang ujungnya suara itu juga untuk parpol.