Sepak bola bukan hanya permainan strategi teknis. Ada juga perang kata-kata di dalamnya. Laga Argentina vs Belanda baru lalu adalah contoh tentang bagaimana perang kata dan tindakan provokasi terjadi.
Seperti diketahui, laga itu berakhir adu penalti dan Argentina pemenangnya. Jika melihat potongan selebrasi pemain Argentina usai menang adu penalti, maka nada miring bakal muncul.
Pemain Argentina, terutama Nicolas Otamendi mengejek pemain Belanda usai menang adu penalti. Pemain Argentina tak respek pada lawan! Saya juga memaknai sama seperti itu.
Sampai kemudian ada video yang beredar dan diperkuat dengan pernyataan Otamendi. Video bahwa sebelum para pemain Argentina mengambil penalti, dirubungi pemain Belanda. Ada provokasi di situ.
Terekam kamera dari atas jika Dumfries adalah salah satu yang mendatangi pemain Argentina yang akan menendang penalti. Itulah yang membuat Otamendi murka dan mengejek pemain Belanda.
Ada juga provokasi Leandro Paredes dengan menendang bola ke arah bangku cadangan Belanda. Situasi sangat memanas dan Dijk menabrak Paredes sampai terjungkal.
Usai laga Messi juga mendatangi Gaal dan sepertinya keduanya adu mulut. Messi pun mengaku bahwa Gaal tak respek pada Argentina. Itulah yang juga membuat Messi selebrasi ala Roman Riquelme di hadapan Gaal.
Riquelme adalah mantan pemain Barcelona yang tak dipakai Gaal. Saat itu Gaal adalah pelatih Barcelona.
Jauh sebelum itu, sebelum laga panas terjadi, van Gaal dan Di Maria saling sindir. Di Maria sebut Gaal pelatih terburuk. Hal itu berkaitan dengan karier hancur Di Maria di bawah pelatihan Gaal di Manchester United.
Gaal pun membalikkan pernyataan. Gaal bilang bahwa biasanya jika ada orang menilainya buruk, orang itulah yang buruk.
Lalu siapa yang memprovokasi? Ya kedua pihak memprovokasi. Siapa yang mula? Tengoknya akan jauh ke belakang karena Argentina vs Belanda terjadi berkali-kali. Tiap momen Piala Dunia akan jadi memori untuk saling serang.
Bagi saya ini bukan soal siapa yang memprovokasi. Ini soal jualan di luar teknik sepak bola. Barang jualan yang menarik untuk terus diperbincangkan.
Bagi saya para punggawa Argentina dan Belanda telah menjalankan tugas dengan baik, walaupun mungkin mereka tak sadar. Tugas sebagai agen atau sales Piala Dunia.
Jangan terlalu diambil pusing soal provokasi antarkeduanya. Sebab setelah Piala Dunia usai, sebagian mereka akan saling bekerjasama. Misalnya Dumfries akan kerja sama dengan Lautaro Martinez di Inter Milan.
Jualan sudah usai jika Piala Dunia usai. Jualan beralih lapak ke ajang liga domestik dan Liga Champions di Eropa.
Baru kemudian jika Piala Dunia berlangsung lagi, provokasi dan dagangan seperti itu dibuka lagi. Tensi tinggi lagi dan menarik lagi.
Kalau Piala Dunia adem-adem saja, dagangannya tak bakal terdengar ke mana-mana. Dagangan Piala Dunia tak akan menggema. Tak akan ada produk yang diserbu konsumen sebagai imbas tensi tinggi Piala Dunia.
Jadi... siapa sebenarnya yang memprovokasi dan diprovokasi?