Jumat (7/10/2022) aku melintas di jalur pantura Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Aku melintas dari timur ke barat, dari perbatasan Kendal-Batang ke daerah Batang Kota. Kemudian aku melintasi Pekalongan dan Pemalang.
Aku melintas dengan kendaraan roda dua. Itu adalah kali pertama aku melintas di jalur pantura Batang memakai sepeda motor.
Karena kali pertama melintas dengan sepeda motor, aku perlu rajin melihat penanda jalan, supaya tak salah jalan. Di jalur pantura Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang, dari kejauhan melihat jalur bercabang.
Dari kejauhan aku kebingungan, ke cabang kiri atau ke cabang kanan. Aku tak melihat ada penanda yang memberi penjelasan dari dua cabang itu.
Aku pun memakai logika sederhana. Aku melihat  pengendara roda dua lainnya yang ada di depanku. Karena pengendara di depanku ambil cabang kanan, aku pun mengikutinya.
Sampai persis di pangkal percabangan, aku baru melihat ada penanda bahwa cabang kanan untuk sepeda motor dan mobil kecil. Sementara cabang kiri untuk truk dan sejenisnya.
Jadi, penanda penjelas penggunaan percabangan, tertutup oleh penanda lain. Tulisan penanda penjelas penggunaan percabangan sudah usang dan terkesan tak mudah dibaca.
Kesannya, penanda jalan itu tak serius dibuat. Coba bayangkan jika aku mengambil jalur kiri dan bertemu pak polisi. Apa jadinya?
Tentu aku berpandangan bahwa penanda jalan jangan terkesan bertumpukan. Penanda jalan dalam bentuk tulisan hendaknya besar atau jelas terbaca. Tentunya tak semua penanda jalan di pantura Batang seperti itu. Ada juga penanda jalan di jalur pantura Batang yang jelas.
Soal penanda jalan adalah hal yang terkesan sederhana. Sederhana dalam arti, eksekusi kebijakannya tak akan berdampak pada demo masyarakat atau pertentangan kelompok tertentu.
Membuat penanda jalan kan tak bakal didemo, tak bakal diprotes. Membuat penanda jalan adalah eksekusi kebijakan yang mudah.
Eksekusi kebijakan yang mudah, harusnya maksimal. Lain dengan kebijakan pembuatan jalan baru yang memungkinkan adanya kerumitan karena harus melakukan pembebasan lahan. Pembebasan lahan kadang tak mudah. Kadang ada protes dari warga.
Nah ini, hanya penanda jalan. Bukan sekali ini aku melihat penanda jalan yang tak serius. Aku pernah mengalaminya belasan tahun lalu di Jakarta.
Ada penanda jalan yang usang, tak terlihat. Penanda itu seingatku di daerah Jakarta Barat. Ada jalan layang yang biasa aku lewati.
Satu ketika aku kena tilang. Polisi bilang sepeda motor tak boleh melintas. Tentu aku kaget karena beberapa kali aku dan sepeda motor lainnya melintas.
Si polisi yang menilangku bilang bahwa sudah sejak lama jalan layang itu tak boleh dilintasi sepeda motor.
Ternyata belakangan aku tahu di jalur itu ada tulisan sepeda motor dilarang melintas. Tapi tulisannya kecil dan usang. Aku pun tak pernah ngeh jika di situ ada penanda.
Hal yang mirip juga terjadi pada penanda arah dan tempat berwarna hijau di tepi jalan. Aku lupa melihatnya di daerah mana, tapi masih di pantura Jateng.
Penanda sudah besar, sudah tertulis bagus. Tapi, penanda itu tertutup ranting dan dedaunan pohon. Dari kejauhan tak terdeteksi tulisan arah dan tempat. Menjadi percuma jika penanda yang bagus tapi terhalang ranting dan daun pohon.
Cerita itu sekadar curahan hati pesepeda motor. Harapannya tentu saja, tak ada lagi penanda jalan yang usang, kecil, terhalang ranting dan daun, dan tak terlihat atau tak terbaca. Poin utamaku tentu saja bukan hanya lokasi kejadiannya, tapi soal pentingnya penanda jalan yang bisa dibaca.