Beberapa teman saya yang dekat dengan PKS, fasih menggunakan istilah ukhti, antum, dan sejenisnya. Istilah yang tak familiar di telinga saya.
Fenomena itu membuat saya berpikiran bahwa suara PKS ya tak jauh-jauh dari komunitas yang serasa. Bagi saya, sulit bagi PKS untuk mengeruk suara kaum "nasionalis".
Hal yang mulai berubah dan saya agak kaget ketika Luthfi Hasan Ishaaq beriklan di TV. Saat itu dia Ketua Umum/Presiden PKS. Saya lupa itu tahun berapa. Tapi yang pasti, sebelum Luthfi diproses KPK.
Saat itu, di iklan TV, Luthfi mulai menggunakan diksi "nasional" jelang Idulfitri. "Mudik, yuk," begitu kata Luthfi pada iklan PKS di TV. Bagi saya, diksi "mudik" jarang digunakan PKS. Langkah penggunaan kata "mudik", mengindikasikan PKS sepertinya mulai mencoba menyasar "orang luar".
Tapi saya pikir kampanye menjaring orang luar itu tak berhasil di tahun 2014. Sebab, beberapa waktu sebelumnya Luthfi diproses KPK. Dibanding Pemilu 2009, persentase suara PKS turun di Pemilu 2014.
Di 2019, suara PKS naik kisaran 1,5 persen. Saya menduga naiknya suara PKS karena kampanye "2019 Ganti Presiden". Selain itu polarisasi di Pilkada DKI Jakarta pada 2016 menguntungkan PKS. Partai ini oleh sebagian pihak direpresentasikan sebagai "pelawan penista agama".
Tapi, tentu saja keuntungan itu tak maksimal. Suara PKS ya berkisar "orang dalam lingkaran yang sama". Setelah Pemilu 2019, kesan PKS sebagai partai dakwah dan eksklusif tetap saja melekat.
Kini, sepertinya PKS mulai menasionalkan dan bahkan melokalkan diri. Mulai dari logo yang oranye sampai gerakan kader PKS di bawah yang mulai membangun rasa "lokalitas".
Saya masih ingat, beberapa waktu lalu, Khalid Basalamah diprotes habis-habisan terkait wayang. Di momen tak jauh dari itu, saya melihat di kampung saya, PKS kabupaten malah nanggap wayang.
Bahkan saya lihat PKS pusat juga nanggap wayang dengan dalang Sujiwo Tejo. Itu aku ketahui dari postingan di dunia maya.
Maka ketika Khalid Basalamah diserang terkait wayang, PKS bergerak dengan berwayang ria. Ingin memberi kesan bahwa PKS tak masuk dalam pusaran penentang wayang.
Beberapa hari lalu, ada teman yang politisi PKS juga  memakai ikat kepala adat, sekalipun acaranya keagamaan. Sebuah kesan yang ingin dibangun, bahwa PKS adalah partai yang juga memiliki kepedulian tentang Indonesia dan adat budaya.
PKS sepertinya memang harus banting tulang mengeruk suara. Tapi serasa ada dilema di PKS. Ingin menawarkan warna baru, tapi warna lama tak ingin ditinggalkan.
Mereka mencoba menarik massa dari dua kutub yang berbeda. Kutub kelompok fanatik mereka dan kelompok baru yang lebih berasa "nasionalis" dan "tradisionalis".
Apakah berhasil? Kita tunggu saja di 2024. Jika PKS bisa dapat dua digit saja, maka strategi mereka berhasil. Tapi jika suaranya kisaran 6 sampai 8 persen, ya memang PKS sulit dilepaskan dari label yang selama ini terbentuk di masyarakat, yakni partai yang sangat eksklusif.