Saya mengetahui Ade Armando belasan tahun lalu. Saya membaca komentar-komentarnya soal komunikasi. Ade Armando pernah juga sebagai anggota KPI.
Belakangan Ade masuk ke pusaran kubu-kubuan politik. Sekalipun, dia tak berada dalam partai politik. Beberapa pendapatnya pun saya tak sepakat. Tapi soal pandangannya bahwa dia tak sepakat Presiden RI tiga periode, saya sepakat.
Nah, beda pendapat itu hal yang biasa. Beda pendapatan juga hal yang biasa. Sekeras apapun perbedaan pendapat dan pendapatan, ya jangan sampai berlaku beringas.
Maka, melakukan kekerasan pada Ade Armando adalah perilaku beringas. Apalagi, perilaku itu dilakukan di bulan suci Ramadan. Perih, sedih, dan mengerikan.
Kontradiksi
Menjadi kontradiksi pula ketika Ade Armando jadi sasaran di demo itu. Ade yang tak sepakat masa jabatan presiden tiga periode, justru dihajar oleh demonstran yang diduga kuat dalam rangka menentang wacana masa jabatan tiga periode.
Saya meyakini bahwa mereka yang menghajar Ade adalah orang tak sepakat wacana Presiden tiga periode. Kan aneh, mereka menghajar orang yang sehaluan?
Menjadi kontradiksi pula karena demo adalah wahana untuk mengemukakan pendapat. Mengemukakan pendapat dan bukan menggunakan kekerasan.
Bagaimana ceritanya, orang meminta agar hak berpendapatnya didengar dengan cara menghajar orang lain?
Usut
Satu hal yang saya pribadi inginkan adalah usut kekerasan pada Ade Armando. Polisi harus bertindak cepat. Saya khawatir, kelak di kemudian hari, karena beda pendapat, kekerasan jadi jalan keluar.
Saya pikir, melawan kekerasan harus digaungkan. Jangan sampai kekerasan jalanan makin merebak, karena tak akan menyehatkan kehidupan kita.