Aku, Kang Marjo, dan anak Kang Marjo yang bernama Saiful melangkahkan kaki keluar dari surau. Angin mulai semilir di petang itu. Kami agak bergidik.
Selepas sepuluh langkah dari surau, aku memilih berhenti. Aku merasa tak nyaman dengan suara berisik tapi pelan di kebun Pak Darmo yang dipagari tembok itu.
Aku pandangi di remang-remang itu. Berjarak 10 meter dariku, ada sosok setinggi kira-kira 1,5 meter. Tapi aku tak yakin jika itu warga kampung. Sosok yang memeluk pohon dan seperti menggerakkan kepala.
Kang Marjo mulai menjauh berjalan. Aku panggil dia pelan-pelan.
"Kang...Kang Marjo...sini," kataku.
Kang Marjo menengok bergegas mendekatiku. Saiful yang masih kelas 1 SD itu ikut saja.
"Ada apa Li,?" Tanyanya juga pelan.
"Coba lihat itu kang," kataku sembari mengacungkan jari dan mengendap dari balik tembok setinggi 1,5 meter.
Kang Marjo coba melihat dengan seksama. Tapi dia seperti masih tanda tanya. Dia pandangi lagi. Pandangi lagi.
"Li, itu bukan manusia," katanya padaku.
"Ful, ambil lampu senter, cepat," kata Kang Marjo pada anaknya.
"Lalu siapa kang?" Tanyaku penasaran.
"Sebentar Li, tunggu Saiful dulu," kata Kang Marjo.
Saat Saiful bergegas datang dengan lampu senter penerang itu, Kang Marjo bergegas menyorot. Dia amati seksama.
Disorotkan lampu senter itu, dia amati dari bawah sampai di tengah tubuh. Kang Marjo terperanjat.
"Duh Gusti.... Li... Li, ini geger Sandikala...." Kata Kang Marjo sembari menarik napas panjang.
Dia menarik tanganku sembari berjalan. Kami mencopot sarung dan menyimpangkan di bahu. Dari situ dia memberi instruksi padaku. Saiful diminta di tempat. Anak kelas 1 SD ini memang memiliki mental luar biasa.
"Li, kamu bawa HP kan? Kirim pesan ke warga kampung. Semua laki-laki dewasa siapkan alat pemukul dan bersiaga. Jika ada makhluk telanjang dengan kepala tikus setinggi 1,5 meter, pukul saja di bagian lutut. Makhluk itu akan langsung tersungkur. Setelahnya, biarkan saja karena jasadnya akan lenyap dimakan semut merah. Makhluk berkepala tikus ini tak akan makan manusia, dia hanya makan apa saja selain manusia. Selain makan juga dia buang kotoran yang sangat bau. Bilang ke warga, nyalakan semua lampu di kampung. Sekarang kita ambil alat pemukul," kata Kang Marjo yang juga ketua RW ini sembari berjalan cepat.
Usai kami dapat kayu pemukul, Kang Marjo bilang bahwa sebentar lagi akan muncul banyak makhluk aneh itu. Kami kembali ke dekat kebun.
"Ful jika bapak teriak, maka kamu harus pukul kentongan berkali kali. Lalu pergi ke surau. Pakai pengeras suara dan bilang 'geger Sandikala' berulang-ulang," kata Kang Marjo.
"Ayo Li, kita pukul lututnya. Jika kau tak kuat bau kotorannya tahan napasmu," kata Kang Marjo.
Kami menaiki tembok, lari memburu makhluk aneh itu. Semakin mendekat, baunya luar biasa menyengat. Seperti bau bangkai tikus busuk, tapi lebih menyengat. Kang Marjo langsung menghantam bagian lutut...bukkkk... Makhluk aneh itu tersungkur.
"Li, coba lihat selokan," perintah Kang Marjo.
Ketika kutengok. Aku melihat satu makhluk aneh itu lagi. Dia merayap di selokan sembari makan kotoran.
Mungkin Kang Marjo tahu reaksi keterkejutanku. "Gebuk bagian belakang lututnya, Li," kata Kang Marjo.
Aku gebuk bagian lutut belakang dari makhluk aneh yang sedang merayap itu. Di saat itu pula dia terkapar. Kang Marjo langsung teriak ke Saiful. Sang anak lalu memukul kentongan berkali-kali.
Kami berdua keluar dari kebun. Begitu menengok ke kanan, tanganku langsung merinding. Sudah ada lima makhluk aneh itu sedang memakan tembok rumah.
Gila... bau kotorannya luar biasa. Kang Marjo tanpa ba bi bu menghabisi salah satunya. Karwan juga tiba-tiba muncul dengan sabitnya. Bukan dipukul, tapi Karwan membabat lutut salah satu makhluk itu.
Aku ikut kesetanan. Satu pukulan tumbang, satu pukulan tumbang.
Lampu yang terang di mana-mana makin memperlihatkan horor tak terkira. Aku tatap dan mendekat. Huufff bau menyengat luar biasa. Aku lihat wajah makhluk itu. Aku geleng-geleng karena kepala dan wajah makhluk itu, benar-benar mirip tikus. Kakinya dan badannya mirip manusia tapi dengan tulang lebih kecil. Aku lihat struktur lututnya memiliki tulang paling kecil. Sepertinya lulut memang bagian paling rapuh. Tapi anehnya, sekalipun rapuh, lututnya termasuk jadi penyangga ketika lari atau berjalan.
Aku tengok ujung gang. Ups, gapura dimakan. Dari kejauhan, Warno yang jarang bersosialisasi itu lari secepat kilat. Dia membawa pentungan kasti. Begitu larinya makin mendekati gapura, dia langsung mengincar lutut makhluk itu...bukkk...tersungkur.
Makhluk rakus itu muncul di banyak titik beserta bau kotorannya yang luar biasa. Sementara, jeritan wanita mulai terdengar, tangisan anak-anak dan bayi bersahutan. Orang kampung berhamburan.
"Tolooong...tolooong," kata Sinem yang ganjen itu di depan rumah. Sinem berteriak sembari mencengkeramkan tangannya di rok bagian dua paha.
Saat Sinem berteriak, dia tersenggol sedikit oleh Kasmo yang lari bawa pentungan. Badan Sinem berputar, lalu dia teriak. "Tiiiidaaaaak!" Katanya.
"Diaaaaaammmm," kata Kasmo.
Riuh rendah tak keruan. Lelaki dewasa keluar dari rumah dengan penutup hidung karena bau menyengat luar biasa. Para lelaki membabi buta melakukan pemukulan ke lutut makhluk aneh itu. Aku merinding luar biasa. Tapi aku juga kesetanan.
Mereka, makhluk aneh itu datang tak ditebak. Begitu aku lihat, langsung aku buru.
"Jangan salah sasaran ...jangan salah sasaran," teriak Kang Marjo sembari berlari.
Satu makhluk kembali aku gampar lututnya. Napasku tersengal-sengal. Aku menutup hidungku dengan sarung. Aku juga tersungkur.
Aku dengan tenaga sisa membelalakkan mata. Aku lihat bagaimana semut merah langsung menyerang makhluk aneh yang sudah terkapar. Entah dari mana ribuan semut merah itu. Memberondong begitu cepat hingga tak ada tulang dari makhluk aneh itu tersisa.
Aku kelelahan.
"Apakah sudah ada satu jam? Jika sudah sudah satu jam, mereka akan lenyap entah ke mana," kata Kang Marjo yang tiba-tiba ada di sampingku.
Mendengar ucapan Kang Marjo, aku hanya mengernyitkan dahi. Entah bagaimana, makhluk itu hanya menyerang satu jam.
"Lalu, bagaimana dengan bau yang menyengat ini?" Tanyaku.
"Otomatis hilang sendiri," kata Kang Marjo.
Aku menutup mata sebentar. Kemudian aku melihat hanya kerumunan warga tanpa ada lagi makhluk aneh itu. Entah mereka lari ke mana. Tiba-tiba menghilang. Bau kotoran itu juga lenyap.
Aku duduk di jalan dekat gapura. Kang Marjo di dekatku. Napas kami sama-sama tersengal kelelahan.
"Kang, tahu dari mana soal geger Sandikala ini?" Tanyaku.
"Dari Sarno..."
"Sarno gila itu?" Tanyaku.
"Ya Sarno yang dituding gila itu," kata Kang Marjo.
Pett...lampu mati. Seluruh kampung gelap. Kang Marjo memintaku untuk menelepon pusat kantor listrik agar listrik jangan dihidupkan.
"Mereka telah memakan jaringan listrik. Ya, mereka makhluk aneh itu. Matikan saja listriknya," kata Kang Marjo.
Aku juga diminta woro woro ake warga agar menyiapkan lampu minyak atau petromax. Warga pun diminta tidur saja. Lalu beberapa lelaki diminta ketemu Kang Marjo, menyiapkan siasat untuk petang berikutnya.
"Versi Sarno, makhluk aneh itu hanya akan menyerang selama tiga petang, tiga petang saja secara beruntun," kata Kang Marjo.
***
Malam itu 20-an lelaki berkumpul ditemani remang-remang api obor. Kami melingkar duduk di kursi di pelataran balai desa.
Kami, membahas makhluk aneh itu. Semua was-was. Hanya Kang Marjo yang yakin bahwa penyerangan makhluk aneh itu akan dilakukan cuma tiga petang berurutan. Kang Marjo yakin dengan cerita Sarno yang dituding gila itu.
"Jangan bodoh, Jo. Kita ngga mungkin menjadikan Sarno rujukan. Dia tidak waras. Ngapain juga kita datang ke rumah orang tak waras hanya untuk menyelesaikan geger ini," kata Pak Kades dengan nada tinggi.
"Lalu bagaimana?" Tanya Kang Sarno tak kalah tinggi.
"Semua detail geger tadi sama persis dengan cerita Sarno. Sarno yang mengabariku bahwa serangan berlangsung 1 jam dalam tiga petang beruntun. Ada makhluk telanjang dengan kepala tikus, memiliki nyawa di lututnya. Semua persis seperti yang diceritakan Sarno. Aku pikir tak ada salahnya kita tanya dia. Sarno juga bilang bahwa sarang makhluk aneh itu di lereng bukit Kanji. Di sana ada goa kecil," kata Kang Marjo.
"Kenapa kita tidak serang sarangnya saja," kata Pamuji yang sudah sangat bersemangat.
"Tahayul...kamu gila apa Ji? Cerita orang gila seperti Sarno dijadikan rujukan!" Semprot Pak Kades pada Pamuji.
"Sudah besok pagi telepon pihak kelistrikan agar kampung bisa terang lagi. Ekonomi desa bisa kacau kalau tak ada listrik," kata Kades.
"Ngga bisa Des. Mereka akan nyerang lagi. Jika listrik nyala, akan fatal. Kebakaran bisa terjadi," sanggah Kang Marjo.
"Kamu gila Jo!" bentak Kades.
Kang Marjo tak terima dibentak dan dibilang gila. Secepat kilat Kang Marjo memburu dan mendorong Kades hingga terjatuh. Kang Marjo mendekatkan wajahnya. Dengan suara keras dan menekan, dia berujar ke kades.
"Lumbung suaramu saat pemilihan kades itu adalah orang-orangku. Catat itu!" Kata Kang Marjo.
Pak Kades yang tergeletak di tanah hanya bisa diam. Semua yang datang coba mengamankan keadaan, memisahkan Kang Marjo dan Kades. Genting memang malam itu.
Kau jangan tanya siapa Kang Marjo. Di desaku, Kang Marjo adalah panutan. Kharisma, ketegasan, suaranya yang berat itu menjadikan Kang Marjo disegani. Semua yang datang di pertemuan malam itu, memilih mengikuti Kang Marjo untuk mendatangi Sarno.
Pak Kades dan sekretarisnya alias carik, hanya bisa melongo melihat semua manut Kang Marjo.
Kami, kemudian mendatangi rumah Sarno. Gelap memang. Kami dobrak pintunya. Dengan obor, kami terangi rumah reot itu. Sarno berbaring di tempat tidur.
Kami coba bangunkan, tapi Sarno hanya diam. Kami coba bangunkan lagi, tetap diam.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Ini Sarno sudah meninggal Kang," kata Roso ke Kang Marjo sembari memegang denyut nadi Sarno.
***
Kami memasang beberapa petromax tinggi di jalan. Kami hanya berharap, penyangga petromax tak disikat sama tikus raksasa itu. Di jelang petang kedua, kami sudah lebih siap.
"Kenapa kita tak ke lereng bukit saja kang. Kita bakar sarangnya. Kita alirkan bensin?" Tanya Salim.
"Ya, tapi aku merasa sangat yakin dengan omongan Sarno. Jangan pernah mengganggu dunia mereka. Kejadiannya bisa sangat fatal," kata Kang Marjo.
"Tapi jika kita bertahan, desa ini remuk kang," kata Juli.
"Aku tahu. Nanti kita bangun bersama. Kita memang harus menerima saja. Percayalah padaku. Jika kita menyerang mereka, kejadian selanjutnya bisa fatal. Walaupun aku tak pernah tahu seperti apa kefatalannya," kata Kang Marjo.
Kemudian, Kang Marjo memberi perintah, semua jalan masuk kampung dijaga ketat. Baik itu jalan sedang atau kecil. Sisanya menjaga rumah warga.
Dalam kasus hari kedua, anak-anak lelaki kelas 5 SD juga ingin andil. Anak-anak itu menyiapkan alat pemukul. Anak-anak itu sepertinya tak lagi takut. Yang ada dalam benak adalah semangat memukul lutut makhluk aneh itu.
Angin mulai merambat, petang sebentar lagi datang. Lampu petromax sudah dinyalakan di jalanan. Aku kebagian di jalan masuk kampung. Obor sudah kupegang.
Mata kami awas melihat. Barangkali makhluk itu datang tiba-tiba. Kami membuat suasana senyap. Tak ada suara. Itulah kesepakatan orang sekampung untuk petang ini dan besok.
Aku mulai membaui kotoran itu. Derap langkah cepat mulai terdengar. Tapi pandangan jarak jauh memang tak maksimal. Hups, 50 meter di depanku tiba-tiba kencang berlari.
"Hajar Liiiii," teriak Sodik.
"Siaaappp," kataku.
Aku sambut kedatangan makhluk biadab itu. Aku turunkan badanku. Begitu makin dekat, aku siap. Obor aku lepas dan satu ayunan aku kencangkan. "Grhaaaaa," teriakku sembari mengayunkan kayu ke lutut makhluk jijik itu.
Bruk... dia terkapar dengan kaki patah.
Selanjutnya, seperti air bah menyerang. Belasan makhluk itu datang berlari. Kami sambut dengan ayunan kayu dan apa saja. Anak-anak yang kelas 5 SD itu menyambut lebih antusias. Ayunan mereka menjatuhkan satu per satu makhluk jijik itu.
Riuh pertarungan petang ini. Aku merasa kami lebih tertata. Bahkan, kami juga membuat pertahanan berlapis. Jika lepas di lapis pertama, mereka akan dihajar di lapis kedua dan ketiga.
Anak-anak benar-benar menikmati pertarungan ini. Sebagian mereka memilih ada di lapisan sebelum pertama. Satu pukulan makhluk itu terkapar. Setelah makhluk itu terkapar, antar anak-anak itu main tos-tosan. Sehingga terlena dan terlewat serangan selanjutnya.
"Man...Ada yang lolos," kata Jupri di lapis ketiga.
Wah sontak kami panik. Belum siap kami bertindak, Tarjo juga berteriak ada dua yang lolos.
"Tetap di barisan, biar (makhluk aneh yang lolos) yang ngurus yang jaga rumah," teriak Kang Marjo.
"Lima menit lagi. Rapatkan barisan," teriak Kang Marjo.
Wusshhh, begitu suara muncul ketika satu jam telah usai. Kami kelelahan. Kami sembari membawa obor melangkah ke rumah. Kami bersyukur, tak ada petromax yang jatuh.
Tapi mendadak kami pusing. Rumah Narso roboh karena dimakan makhluk itu. Rumah Wandi juga berlubang di tembok samping. Dua rumah itu lepas dari penjagaan.
***
Hari ketiga, kami ubah strategi. Kami sama sekali tak memikirkan jalan masuk kampung. Semua dari kami berjaga di rumah.
Kami mulai berpikir gapura kampung, tumbuhan di kampung, kayu di kampung biarkan lenyap dimakan makhluk aneh itu. Yang penting rumah aman.
Artinya, kami memang fokus menjaga rumah. Jika ada makhluk aneh yang mendekat rumah, kami babat. Jika masih kejauhan tak kami gubris. Kami takut jika kami buru, penjagaan di rumah lengah.
Maka, sejak pagi kami sudah menebangi semua pohon besar yang dekat dengan rumah warga. Sebab, jika pohon besar itu dimakan oleh makhluk aneh pada bagian bawah, bisa ambruk dan menghajar rumah warga.
Semua pohon besar dekat rumah kami tumbangkan. Kami bersyukur dalam dua petang tak ada pohon besar dekat rumah yang diserang.
Petang menjelang, obor dan petromax menyala. Kami mematung di rumah. Tak ada gerak sembari menahan bau tak enak. Mereka mendekat rumah, kami hajar. Jika memakan apapun jauh dari rumah maka kami biarkan.
Ada beberapa yang mendekat ke rumah. Langsung kami hajar. Orang-orang lebih tenang mengendalikan keadaan. Tapi tidak dengan Samiun.
Dia baru saja panen padi. Padi yang baru saja kering dia tampung di lumbung. Itulah satu-satunya harapan Samiun dan keluarga untuk makan. Nah, celakanya, makhluk aneh itu menyerang lumbung. Puluhan berebut memakan lumbung yang jaraknya 20 meter dari rumah Samiun.
Tak terima, Samiun langsung memburu mereka. Dihabisilah mereka di lumbung. Tapi, petaka muncul karena sebagian mereka yang lain menggerogoti dinding kayu rumah Samiun.
Samiun lemas. Dia lunglai. Hari ketiga, hanya rumah Samiun yang kena getahnya. Kami agak tak lelah ketika satu jam usai. Di tengah Samiun yang stress, Kang Marjo coba menenangkan suasana.
Kang Marjo meyakinkan bahwa serangan gerombolan tikus raksasa itu selesai. Lalu Samiun diminta sabar dan tenang. Semua beban kerugiannya akan diringankan warga.
Kang Marjo sangat yakin bahwa ini adalah terakhirnya makhluk aneh menyerang kami. Maka, dia pun memintaku menelpon kepala wilayah kelistrikan. Kang Marjo minta listrik desa sudah normal besok siang.
Saat menelepon penolakan pun aku terima.
"Pak Yono tak mau kang. Tak mau memperbaiki listrik desa. Dia takut geger Sandikala masih terjadi," kataku.
"Mana HP mu," kata Kang Marjo.
"Pak Yono yang terhormat, kami butuh listrik. Geger Sandikala sudah selesai. Kalau listrik kami tak diberesi, aku ada video kamar hotel, aktornya sampeyan," kata Kang Marjo.
***
Petang hari keempat, Kang Marjo merasa yakin tak ada serangan. Kang Marjo memilih nongkrong di pos ronda selesai Maghrib. Listrik sudah normal. Namun, sebagian warga masih khawatir dan memilih siaga di dekat rumah.
"Sudahlah Dik, Sodik. Tak akan ada lagi serangan. Santai saja. Tengoklah HP mu itu. Sekarang sudah hampir jam 7 malam. Tak ada tanda-tanda kan?"
Sodik hanya mengangguk. Aku pun lega karena apa yang diyakini Kang Marjo benar-benar jadi kenyataan. Namun di tengah lega itu, Sarmidi lari tunggang langgang ke arah gardu.
"Kang... Anton, Sony, dan Beny, anak-anak tanggung itu sudah menuju lereng bukit Kanji....Mereka mengendarai mobil bak terbuka, membawa 10 jeriken bensin.... Mereka mau membakar goa," kata Sarmidi.
Kang Marjo langsung lemas. Dia geleng-geleng kepala.
"Telepon anak-anak itu supaya balik kucing. Aku dan Ali mau memburu mereka," kata Kang Marjo.
Aku gas sekencang-kencangnya memburu anak tanggung itu. Kang Marjo memboncengku. Aku tak punya pikiran lain selain ngebut sekencangnya. Aku hanya lihat jalan. Tak lihat lainnya.
Lalu, Kang Marjo menepukku. Dia minta aku berhenti.
"Lihat itu? Sudah ada kobaran api," kata Kang Marjo.
Kami melihat ada beberapa sosok berlarian dengan balutan api.
"Anak-anak tanggung itu buat masalah. Goa itu bukan seperti rumah yang ketika dibakar semua akan mati. Goa lereng Kanji memiliki beberapa lorong yang panjangnya bisa sampai laut selatan," kata Kang Marjo lemas.
Aku tak terlalu melihat wajahnya karena remang-remang. Tapi dari posisi berdirinya, terlihat Kang Marjo sangat terpukul.
"Lalu, sekarang bagaimana kang?" Kataku.
"Kita pulang. Besok pagi-pagi, kita ke sini. Kita siapkan pencahayaan yang baik, kita siapkan alat-alatnya. Kita buat persembunyian. Besok kita butuh 20 orang. Kita di sini, untuk memastikan bahwa besok petang semoga baik-baik saja," kata Kang Marjo.
***
"Sodik, siapkan cahayanya. Sorot ke mulut goa. Yang lain siapkan HP. Begitu ada tanda tak beres, telepon kampung, kosongkan kampung," kata Kang Marjo.
Sebagian orang desa atau yang biasa kami sebut orang kampung memang sudah diungsikan di tanah lapang desa seberang kali. Mereka hanya ditutup terpal. Mereka yang sudah diungsikan adalah wanita, orangtua, dan anak-anak. Sebagian warga lain yakni laki-laki, jaga-jaga di kampung, standby menunggu telepon atau pesan singkat dari kami.
Tepat pukul 18.00 WIB, sorotan lampu diarahkan ke mulut goa. Dan... aku merinding ketika tikus tikus raksasa itu keluar tak terbendung. Bukan puluhan atau ratusan, tapi ribuan. Ribuan makhluk aneh itu keluar, berlari, dan sepertinya akan menyerbu desa kami.
Kami sudah tiarap sembari memberi kabar bahwa serangan itu kemungkinan terjadi.
"Halo, cepat tinggalkan kampung, pukul kentongan. Cepat tinggalkan kampung," kataku lewat telepon.
Aku bergidik lihat ribuan makhluk aneh keluar tak henti-hentinya dari goa. Benar saja, mereka menuju ke kampung kami dengan bau kotoran yang menyengat. Aku dapat info itu dari pesan singkat.
Aku berharap semua orang kampung sudah mengungsi. Kami yang di lereng, harap-harap cemas. Kami akan pulang jika ribuan makhluk aneh itu pulang kandang.
Kang Marjo kemudian was-was. Sebab, sudah hampir dua jam, makhluk aneh itu tak pulang. Saat was-was itu muncul, saat itulah makhluk aneh itu datang bergelombang. Ribuan dengan suara cericit tikus. Baunya luar biasa menyengat.
Lalu, kami pun pulang. Radius 100 meter dari desa, bau menyengat luar biasa. Aku dapat kabar dari Narto bahwa semua bangunan desa sudah rata dengan tanah.
Kami kelimpungan. Sepekan, dua pekan, tiga pekan kemudian, bau menyengat kotoran para tikus itu tak hilang. Segala macam semprotan dan lainnya tak mempan. Berbulan-bulan kami mengungsi, makan apa saja.
Sampai setahun, bau itu tak hilang. Sampai sewindu, bau menyengat itu tak hilang. Kini, kampung kami sudah jadi kampung mati.