"Aku akan diswab, doakan saja," katanya.
Tentu aku berdoa. Tapi, keyakinanku sangat tinggi bahwa Covid-19 itu menyerang istriku. Sebab, setahuku satu ruang kerja hanya diisi istriku dan temannya yang terpapar Covid-19 itu. Setiap hari, mereka sering menghabiskan waktu bersama di satu ruangan.
Yah, aku merasa sangat yakin bahwa serangan kali ini benar-benar nyata. Jalani saja!
Apakah aku khawatir, sedih, pusing? Aku merasa tak memiliki waktu lagi untuk khawatir, sedih, dan pusing. Aku melihat dua anak kecilku yang tiap hari berhubungan dengan istri. Aku harus menyelamatkan mereka.
Semakin aku memberi ruang untuk bersedih, semakin sulitlah kemudian. Maka, aku harus menutup ruang sedih dan pusing itu. Aku langsung memikirkan bagaimana mengisolasi istriku ketika pulang nanti.
Dan aku dibantu ibu. Satu kamar disiapkan khusus untuk istriku. Setelah persiapan rampung, ibu sadar bahwa dalam beberapa hari atau pekan ke depan, istriku hanya akan sering berdiam di kamar.
"Apakah kamu bisa melakukannya?" Tanya ibuku perihal lebih banyak kerja domestik yang harus aku lakukan setelah istriku isolasi mandiri nanti.
"Bisa," kataku meyakinkan. Aku kemudian menguatkan dalam hati, bahwa aku harus bisa menekel tugas domestik lebih banyak. Sembari terus kerja mencari nafkah dari rumah, rutinitas yang aku lakukan semenjak pandemi.
***
"Hasil swabnya tidak jelas. Aku kemudian di-PCR, hasilnya beberapa hari lagi," kata istriku lewat telepon beberapa jam setelah mengabari temannya terpapar Covid-19.
Ketidakjelasan hasil makin meyakinkan bahwa istriku sepertinya kena Covid-19. Entahlah, kenapa begitu pikiranku.
Lalu, istriku gamang soal pekerjaan. Dia kepikiran bagaimana jika divisinya yang ditekel dia dan temannya itu berjalan, jika keduanya tak berangkat?
Lewat percakapan tulis, istriku memunculkan opsi untuk tetap berangkat kerja. "Aku baik-baik saja kok," tulisnya. Mungkin dia juga sungkan pada atasannya.
Ya aku paham. Aku pernah bekerja kantoran dan merasakan bagaimana repotnya jika sebuah divisi timpang karena personelnya sedang ada halangan. Divisi lain atau teman satu divisi pun kena tanggungan tambahan kerja. Rasa sungkan kadang muncul.
Tapi aku juga harus memberi keputusan. Istriku tetap bekerja atau istirahat. Karena ini adalah Covid-19, penyakit yang bisa merepotkan banyak orang, aku bulat melarang istriku berangkat kerja.
"Bla...bla...bla... di rumah saja. Bilang sama bosmu kamu mau di rumah saja," tulisku di aplikasi perpesanan.
***
Istriku pulang jelang petang itu. Dua anakku ketika melihat ibunya datang, langsung berteriak, "ibuuuu". Itulah fase kerepotan pertamaku.
Anakku yang besar yang sudah sekolah dasar, bisa dihalau dengan mudah agar tak mendekat ibunya. Yang kecil itu yang repotnya bukan main. Aku harus menahan berat badan si kecil yang sampai 27 Kg. Menahan badannya agar tak mendekat ibunya.
Tangis kencang pun pecah di sore hari. Semakin aku tahan badan di kecil, semakin kencanglah tangisan itu. Istriku pun berkaca-kaca. Momen yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, tak bisa memeluk anaknya.
Aku hanya bisa memberi sesering mungkin ucapan bahwa "ibu sakit dan jangan mendekat". Ucapan yang juga diungkapkan ibuku. Ucapan berulang-ulang ke telinga anakku. Aku pun bersyukur karena anakku akhirnya mengingat itu bahwa dia tak boleh mendekati ibunya.
Maka sejak itu, tiap harinya aku harus memastikan bahwa tak ada yang menyentuh istriku. Sejak saat itu, kala pagi buta aku harus menyelesaikan pekerjaan domestik.
Saat malam tiba, aku harus menidurkan si kecil. Pekerjaan yang tak mudah ternyata. Saat dinihari, perlu bangun memastikan apakah dia ngompol atau tidak.
Kadang dari dinihari sampai siang, mata belum terpejam. Sebentar terpejam lalu terbelalak lagi, karena harus memastikan bahwa semua masih baik-baik saja.
Hari ketiga badanku mulai tak keruan. Emosi kecil mulai meletup. Biasanya karena efek kelelahan. Tapi aku coba untuk meredamnya dengan caraku sendiri. Bisa!
Kemudian, setelah empat hari ritual baru itu berjalan, istriku mendapat kabar bahwa dia positif Covid-19. Lalu kami dikabari oleh bidan desa bahwa kami (sekeluarga kecuali istri) harus diswab esok pagi.
Kini ibuku yang pusing. Ibu mulai meraba kemungkinan jika dirinya juga positif. "Kalau positif aku ngga bisa ke mana mana," katanya.
Aku mencoba untuk tidak pusing. Tapi mulai bingung jika kami sekeluarga positif. Apalagi ada dua anak-anak. Ah sudahlah, mending tidur walau badan mulai makin tak enak.
Esok hari, aku memutuskan yang terakhir berangkat swab. Setelah anggota keluarga lain pulang dari swab, baru aku berangkat. Aku jaga rumah sembari memantau istri.
Ibuku kemudian mengucap syukur usai pulang dari swab dan membuka pintu rumah. "Negatif," katanya.
Artinya tinggal aku yang belum diswab. Aku tak mau ambil pusing sebenarnya. Tapi sembari naik motor ke puskesmas, terlintas di pikiran jika aku positif Covid-19.
"Mau karantina di mana? Nanti kalau keluarga butuh orang dewasa bagaimana," gumanku.
Maklum saja, aku adalah lelaki yang secara fisik bisa diandalkan untuk mobile. Kalau ibu butuh apa di pusat kecamatan, maka aku yang berangkat naik motor. Tetek bengek yang butuh mobilitas, aku bisa diandalkan. "Nah kalau aku positif bagaimana?" Tanyaku dalam hati.
Di tengah tanya itu, aku teringat Lek Riri. Lelaki kepala enam yang sudah meninggal tiga tahun lalu. Maaf, aku ngelantur sebentar cerita Lek Riri. Lupakan Covid-19 sebentar. Ya selintas aku ingat Lek Riri.
Kala masih hidup, Lek Riri hanya bisa kutemui ketika aku pergi ke rumah kakak perempuanku yang jaraknya 180 Km dari kediamanku kini. Kadang kalau aku menemui Lek Riri, aku mengingatkan namaku. Maklum dia sudah tua, kadang lupa nama dan wajah. Apalagi aku ke rumah kakakku paling setahun sekali.
Saat itu, anak Lek Riri dikejar penagih utang, dan pergi entah ke mana. Dia sudah cerai dengan istrinya. Aku tahu dia menceraikan istrinya diawali dengan pertarungan martabat seorang lelaki.
Lek Riri memainkan tubuh lelaki itu mirip kentongan yang bisa dipukul kapan saja. "Aku bisa menghabisinya waktu itu. Tapi tidak aku lakukan," kata Lek Riri padaku kala itu.
Lek Riri bisa saja membedah tubuh lelaki yang telah merayu istrinya itu. Merendahkan marwahnya sebagai lelaki. Tapi Lek Riri tak melakukannya.
Ya, di usia kepala enam. Lek Riri lebih bugar daripada teman-temannya yang lama hidup di jalan. "Koncoku wis ndekem kabeh (semua temanku hanya bisa berdiam di rumah karena sakit)," kata Lek Riri waktu itu padaku.
Di tengah sehat tubuhnya, dia harus bertarung dengan nyamuk dan dingin malam tiap harinya. Tugasnya menjaga toko di malam hari. Dia tidur di emperan toko di tepi jalan besar dan berhadapan dengan sawah yang membentang.
"Berat hidupnya, sudah tua harus mencari nafkah seperti itu," kataku tentang Lek Riri pada kakakku.
"Ya kalau dia tidak begitu mau makan apa. Tuhan telah memberikan kekuatan padanya luar biasa. Toh dia jarang terlihat sakit. Semua orang sudah ada jatahnya," kata kakakku waktu itu.
Ya... Sudah ada jatahnya. Seperti kata kakakku tentang Lek Riri. Jika Covid-19 adalah jatahku, maka akan ada jalan lain dari Tuhan untuk keseharian keluargaku.
Jalani saja!
Dan entah mengapa, aku tak terlalu khawatir ketika menunggu hasil swab. Aku sibuk baca info tentang Euro 2020. Sampai kemudian, hasilnya diberi tahu bahwa aku negatif.
Agak lega. Berarti hanya istriku yang positif. Beberapa jam kemudian, ada informasi dari kakak perempuanku yang membicarakan Lek Riri itu. Suaminya positif Covid-19.
"Kita saling mendoakan saja bude," tulisku pada kakakku.
***
Cerita di atas adalah ceritaku pribadi. Sebelum terjangan Covid-19 itu, aku sebenarnya sudah sangat menduga bahwa serangan virus itu akan luar biasa.
Beberapa kali aku lihat hajatan, kerumunan. Jika kau pernah hidup di desa, mungkin kau akan merasakan bagaimana rasa sungkan itu bergelayut tak keruan.
Hajatan sering dimaknai sebagai kewajiban untuk datang. Kewajiban sosial yang jika tak kau datangi, efeknya bisa panjang. Padahal, situasinya saat ini tak menguntungkan karena pandemi.
Aku pun harus sering cari celah. Jika sama ibuku, aku cari ruang yang sepi kala mendatangi hajatan. Kalau sudah berbondong bondong tamu datang, aku langsung mengajak ibuku pulang.
Ya begitulah. Jika kerumunan dan sejenisnya tak sirna, virus ini akan merajalela.