Politik "kuningisasi" ini memang merebak dan menjadi warna Jateng. Beberapa gedung dicat kuning. Bahkan, pohon besar di tepi jalan yang tadinya dicat atau diwarnai warna putih, diganti kuning.
Seorang guru saya pernah berujar bahwa warna putih di pohon itu penting, khususnya di malam hari yang gelap. Warna putih akan lebih diketahui di suasana gelap. "Kenapa dicat kuning, kan jadi tak jelas," kata guru saya.
Politik "kuningisasi" ini terjadi di masa Gubernur Soewardi yang menjabat pada 1993-1998. "Kuningisasi" ini juga merebak di dunia sepak bola, khususnya di Semarang. Saat Liga Indonesia pertama 1994-1995 ada dua klub asal Semarang, yakni PSIS Semarang dan BPD Jateng.
Kedua klub itu menggunakan jersey warna kuning sebagai jersey home. Jika away, kedua tim itu biasanya memakai jersey putih. Nah, di Liga Indonesia kedua, BPD Jateng masih menggunakan jersey kuning. Sayangnya di Liga Indonesia kedua, BPD Jateng digunakan pemerintah untuk kepentingan PON Jateng.
Para pemain PON Jateng yang masih muda-muda itu dimasukkan ke skuat BPD Jateng. Imbasnya, BPD terpuruk di Liga Indonesia kedua dan terdegradasi. Kemudian klub yang pernah dibela Ricky Yacobi itu bubar.
Sementara PSIS memilih memberontak. PSIS mengubah jerseynya di Liga Indonesia kedua 1995-1996. PSIS menggunakan jersey home warna biru. Kabar yang merebak di masyarakat, apalagi saya juga penggemar PSIS, adalah bahwa itu bentuk pembangkangan PSIS pada politik "kuningisasi".
Awalnya memang agak panas kabar yang merebak di masyarakat Semarang dan sekitarnya. Namun, seperti diketahui, PSIS tetap keukeuh menggunakan jersey warna biru. Di Liga Indonesia kedua itu, untuk pertama kalinya PSIS memiliki pemain asing.