Saat saya jalan-jalan ke artikel-artikel Kompasiana, banyak yang memberi nilai "inspiratif" atau "menarik". Ada juga yang memberi label "aktual" kalau memang artikelnya aktual.
Saya sendiri sering memberi label "menarik" pada artikel para Kompasianers. Kadang juga memberi nilai "inspiratif". Saya tak pernah memberi penilaian "tidak menarik". Secara umum, pun sangat jarang ada yang memberi penilaian "tidak menarik" pada artikel di Kompasiana.
Selama saya keliling dari artikel ke artikel lainnya, saya melihat penilaian "tidak menarik" tak sampai 10 kali. Beberapa saya temukan di artikel Kompasianers lain dan ada juga saya temukan di artikel saya sendiri.
Kalau di artikel saya, penilaian "tidak menarik" pernah diberikan oleh tiga kompasianers. Tapi saya memang sudah lupa pada artikel mana dan siapa yang memberi label itu. Tapi yang saya ingat ada kayaknya tiga penilaian "tidak menarik" pada artikel yang saya buat.
Menarik sebenarnya meraba kenapa ada yang memberi penilaian "tidak menarik". Saya hanya bisa meraba saja dan rabaan saya memang tak bisa dipastikan kebenarannya.
Dari beberapa nilai "tidak menarik" yang diberikan Kompasianers pada artikel, saya menduga itu salah menyentuh. Ada empat alasan mengapa memberi label "tidak menarik" itu salah sentuh. Pertama karena nilai "tidak menarik" kalau di layar telepon genggam itu berada di bawah nilai "inspiratif".
Posisi itu sangat memungkinkan salah sentuh. Sebenarnya ingin menyentuh "inspiratif" tapi karena jempolnya terlalu gede, jadi menyentuh "tidak menarik". Kedua, dari yang saya duga salah sentuh itu, adalah mereka Kompasianers laki-laki yang potensi salah sentuhnya bisa lebih besar karena memiliki jempol yang agak besar.
Jempol yang agak besar atau malah jempol besar memang berpotensi salah sentuh dalam menyentuh layar telepon. Apalagi, jika layar teleponnya kecil. Ketiga, para Kompasianers yang saya duga salah sentuh adalah mereka yang tak memiliki rekam jejak memberi nilai "tidak menarik". Sebelumnya, kalau saya perhatikan mereka cenderung memberi nilai "inspiratif".
Keempat, kenapa nilai "tidak menarik" itu tak diganti jika memang salah sentuh? Ya karena memang jarang orang melihat ulang hasil penilaiannya. Jika sudah merasa yakin sudah menyentuh penilaian, langsung pergi ke artikel lain.
Di sisi lain, ada juga saya meraba mereka yang memang benar memberi nilai "tidak menarik". Tapi, pemberian nilai itu menurut saya terkesan hanya bercanda, bukan sesuatu yang serius. Tapi, itu dugaan saya saja.
Tapi, bisa jadi dua dugaan saya di atas memang salah. Artinya orang memberi nilai "tidak menarik" karena memang ingin memberi nilai itu. Bisa jadi juga pemberian nilai "tidak menarik" memang serius dilakukan.
Tapi, ini menurut saya saja. Kalau serius memberi penilaian "tidak menarik" lebih afdhol memberikan penjelasannya di kolom komentar. Sehingga ada perbaikan jika memang tulisannya tak menarik. Atau setidaknya ada dialog antara pemberi nilai dan yang dinilai.
Tulisan saya di Kompasiana dikoreksi oleh Kompasianers lain pun pernah terjadi dan bukan sekali. Setahu saya ada tiga atau empat kali tulisan saya diluruskan dan menurut saya tak masalah. Sebab, penyampaian meluruskan yang saya terima dari Kompasianers memang pelurusan yang tak menjatuhkan, pelurusan yang rasanya "beradab" sehingga tidak membuat tersinggung.
Itulah prediksi saya soal penilaian "tidak menarik" dalam artikel di Kompasiana. Saya sendiri memang memandang secara umum, baik di Kompasiana atau kehidupan sehari-hari, penilaian secara terbuka di hadapan umum memang jarang terjadi. Mungkin memang bukan itu kebiasaan kita. Cuma anehnya, penilaian terbuka cukup jarang terjadi tapi membully dan mengata-ngatai orang secara terbuka sering saya baca, khususnya di dunia maya.
Keterbukaan kadang dimaknai sebagai bebas merendahkan martabat orang lain dengan label yang "nista". Kebebasan kadang dimaknai sebagai bebas mengata-ngatai, bukan bebas berdiskusi. Bukan ruh kebebasan yang diambil, tapi liarnya kebebasan yang dicontoh. (*)