Lebaran bagiku dan kawan-kawan adalah masa untuk ramai-ramai, minum minuman berkarbonasi, dan makan-makan. Di satu malam Lebaran, aku lupa tahun berapa, aku dan kawan-kawan makan bakso.
Belakangan aku heran juga, malam takbiran ada juga yang jualan bakso. Tapi sudahlah, mungkin memang membutuhkan rezeki. Oke, aku lanjutkan. Saat itu, kami makan di luar warung, di seberang jalan. Kami bawa mangkuk dan lainnya, kami bawa keluar warung, kami seberangi jalan, dan kami nongkrong. Seingatku  karena Lebaran maka kami dapat bonus. Baksonya atau dagingnya berlebih.
Aku masih ingat, sembari makan bakso dan mi ayam, kami membully si penjual bakso itu. Kami keluarkan kata-kata konyol keras sekali. Kami harus membully dengan keras karena tempat kami nongkrong dan warung bakso terpisah jalan raya kecil. Setelah membully  kami tertawa terpingkal-pingkal. Bayangkan, sudah dapat bonus, yang jualan bakso dibully. Tentu itu adalah anak-anak yang tak tahu diuntung.
Aku masih ingat, si penjual baksonya hanya mesam mesem. Belakangan aku merenung, mungkin karena waktu itu kami masih sangat-sangat kecil, penjual bakso memaklumi.
Pernah dengar kan "pembeli adalah raja" atau "tamu adalah raja". Kadang ada yang kebablasan menjadi raja. Menjadi pembeli malah seperti raja otoriter, yang menyuruh penjualnya mirip budak. Ada yang menjadi tamu, tak bisa menghormati si pemilik rumah. Menjadikan pemilik rumah seperti pembantu.
Pembeli, tamu, menurutku sama saja dengan penumpang. Sama-sama berada di area orang lain. Aku sering jadi penumpang, karena memang sering ngekost atau ngontrak dari satu rumah ke rumah lainnya.
Saat awal muda lampau, gairah protesku luar biasa. Apapun aku protes. Sebagai penumpang pun, aku bisa protes pada pemilik rumah. Benar-benar menggebu, merasa benar sendiri.
Aku jadi ingat lagu Bang Haji Rhoma Irama, bahwa darah muda darah para remaja, yang selalu merasa gagah, tak pernah mau mengalah. Ya wajar saja.
Seiring berjalannya waktu, aku merasa perlu menghormati sang pemilik rumah. Aku merasa harus lebih bisa dewasa dan menerima hal yang tak biasa. Aku bersyukur dia mau memberi aku tumpangan berupa rumah, walau aku harus bayar per bulannya. Aku merasa jadi penumpang memang harus lebih sering mengaca. Â
Ini cerita lain. Satu ketika aku juga jengkel, terpingkal-pingkal, dan bingung. Kala itu, aku ada di sebuah organisasi, mengadakan acara dengan hadiah tertentu. Kau tahu, salah kami hanya sedikit sekali, hadiah belum cair untuk kalau tidak salah, satu atau dua orang. Yang lainnya sudah beres. Nah, karena kesalahan itu, omongan-omongan pahit itu meluncur ke kami.
Aku heran, sudah diberi ruang, dikasih hadiah walau belum cair, ngomong seperti cacing kepanasan. Kami meyakinkan bahwa uang itu ada, tapi memang tersendat. Dan akhirnya, mereka pun dapat uangnya belakangan. Aku geleng-geleng kepala, meminta hak dengan cara menyayat perasaan seperti itu. Apa tidak bisa lebih sabar ya. Tapi sudahlah itu sudah lama sekali.
Menemui para penumpang yang berisik itu memang tak mengenakkan. Tapi tidak apa-apa, mungkin itulah masa muda atau masa di mana mereka tak pernah mengeksplorasi muda di masa mudanya.
Aku kadang geli, dan membayangkan kembali saudara yang nakalnya luar biasa. Saat kecil, kadang jika marah dia ambil batu dan memecahkan kaca rumahnya. Anak kecil memang kadang belum paham, bahwa dia seorang penumpang di rumah orangtuanya. (*)