Bantuan sosial yang salah sasaran sering saya baca di media massa. Selain itu, di kehidupan sehari-hari saya juga mengetahui langsung. Persoalan terbesarnya adalah tidak adanya impersonalitas dan mental miskin.
Bantuan sosial sejatinya diberikan pada mereka yang tak mampu. Bantuan sosial tersebut diharapkan meringankan beban mereka yang kurang mampu. Bantuan sosial bisa berupa uang atau barang. Saya tak terlalu hafal apa saja bantuan sosial yang ada selama ini.
Yang terbaru, setahu saya adalah bantuan sosial terkait pandemi. Kemudian, berita bantuan sosial salah sasaran sudah mencuat sejak dulu kala. Jika ada kasus salah sasaran di masa kini, adalah pengulangan terhadap kesalahan di masa lalu. Artinya, kita semua tak belajar dari kesalahan di masa lalu.
Saya tak bisa mendeteksi secara nasional apa yang membuat bantuan sosial salah sasaran. Saya hanya mengetahui penyebab salah sasaran ya di daerah sekitar saya dan cerita teman-teman yang layak saya percayai.
Masalah pertama adalah data. Di kasus terdahulu masih ada pihak yang harusnya berhak mendapatkan bantuan, justru tak mendapatkan bantuan. Bahkan, saya sendiri mendapatkan cerita langsung dari si ibu miskin yang tak dapat bantuan.
Ketika dikonfirmasi ke pemerintah desa, jawabnya adalah memang datanya seperti itu. Wah repot kalau begitu. Masalah data itu ternyata berulang. Sebab, pada bantuan selanjutnya si ibu juga tak mendapatkan bantuan.
Bisa jadi karena memang pembaruan data tak dilakukan atau memang ada yang salah saat pendataan. Solusinya mudah, lakukan pendataan secara jujur. Jika ada data yang salah, segera diperbarui.
Masalah kedua adalah tidak adanya impersonalitas. Impersonal dimaknai sebagai hubungan yang profesional alias tidak personal. Pola kerekatan keluarga di negara kita memang kadang jadi bumerang kalau tidak dimaknai secara baik.
Kerekatan keluarga atau kekeluargaan dimaknai juga bahwa keluarga lah yang didahulukan ketika ada bantuan. Padahal keluarga itu cukup mapan. Lalu, relasi kekeluargaan yang kebablasan memunculkan rasa tidak enak. "Dulu saat aku ngurus ini kan dibantu bapak itu. Masa sekarang aku tidak ngasih bantuan ke bapak itu," kira-kira begitu kata batin mereka yang punya rasa tak enak. Padahal, si bapak itu adalah orang yang berkecukupan.
Kekeluargaan yang kebablasan akhirnya memunculkan minimnya atau tidak adanya impersonalitas. Penerima bantuan sosial didata dan dibagi atas dasar keluarga, atas dasar rasa tak enak.
Masalah ini yang agak sulit untuk diuraikan. Kecuali dilakukan oleh mereka yang memiliki power besar di daerah. Orang-orang yang memiliki pengaruh besar diminta mendorong pembagian bantuan sosial berbasis mereka yang membutuhkan.
Cuma, kalau tak ada lagi orang yang berpengaruh, maka terpaksa aparat yang garang harus diturunkan. Harapannya warga yang masih menekankan kekeluargaan dan rasa tak enak itu bisa dieliminir.
Ketiga yang juga akut adalah mental miskin. Mental miskin berbeda dengan miskin. Mental miskin bisa dipunyai oleh mereka yang berkecukupan atau bahkan mereka yang kaya. Mental miskin adalah mental selalu ingin mendapatkan bantuan. Bantuan yang gratis adalah keuntungan.
Mereka yang tidak miskin tapi bermental miskin inilah yang kadang melakukan langkah-langkah abnormal agar mendapatkan bantuan. Mereka juga sering ngotot agar mendapatkan bantuan.
Selama mental miskin ini masih banyak, maka memang sulit membuat bantuan sosial bisa dilakukan dengan lancar. Mereka yang bermental miskin ini memang harus dikerasi.
Aparat harus berani untuk menolak segala rayuan si mental miskin. Sebab, salah satu kekuatan mereka yang bermental miskin adalah rayuan mautnya. Wuih ngeri.  Di masa pandemi seperti ini  hendaknya kita jujur dengan kondisi kita.
Jangan jadikan bantuan sosial sebagai ajang bagi-bagi untuk orang mampu. Kecuali kalau memang ingin membawa negara kita distigma sebagai kumpulan orang yang tak tahu malu. (*)