Namun, seiring dengan perubahan zaman, tantangan yang dihadapi perempuan juga berubah. Saat ini, kesempatan untuk menempuh pendidikan sudah jauh lebih terbuka. Banyak perempuan berhasil mencapai gelar akademik, bekerja di sektor profesional, bahkan memegang jabatan penting di berbagai bidang. Namun, muncul satu persoalan baru: bagaimana perempuan memanfaatkan kesempatan tersebut?
Ironisnya, meski akses pendidikan sudah jauh lebih mudah, tidak semua perempuan memanfaatkannya untuk menggali pengetahuan secara mendalam. Gaya hidup modern sering kali memprioritaskan penampilan, status sosial, dan hedonisme dibandingkan pengembangan intelektual. Sebagian besar perempuan mungkin berprestasi di atas kertas, tetapi minim minat membaca, belajar, atau berdiskusi. Koleksi buku sering kali kalah pamor dibandingkan koleksi tas bermerek atau gadget terbaru.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan formal tidak selalu diiringi dengan minat belajar yang sejati. Pendidikan, jika hanya menjadi alat untuk memperoleh status, tanpa disertai dengan kesadaran akan pentingnya berpikir kritis, akhirnya kehilangan makna. Hal ini menjadi tantangan baru: bagaimana membangkitkan kembali semangat intelektual perempuan di tengah godaan budaya materialisme dan elitisme.
Perempuan memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak perubahan sosial, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pejuang pendidikan di masa lalu. Namun, agar potensi ini dapat terealisasi, diperlukan kesadaran kolektif untuk kembali pada inti pendidikan: mencerdaskan pikiran, memperluas wawasan, dan melahirkan gagasan-gagasan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Pendidikan bukan hanya soal gelar, tetapi tentang cara berpikir dan keberanian untuk terus belajar. Perempuan yang terdidik bukan hanya ia yang berpendidikan tinggi, tetapi ia yang mencintai ilmu, menjunjung pemikiran kritis, dan membawa manfaat bagi sekitarnya. Sebuah refleksi yang seharusnya menjadi panggilan bagi perempuan masa kini untuk mengembalikan esensi pendidikan dalam hidup mereka.