Tanah itu masih basah. Anak ingusan buru-buru pergi dari rumah gincu kecil yang telah tertanam. Pintu rumah dibiarkan setengah terbuka. Kakinya berjalan cepat, tapi tetap menunjukkan ketakutan.
‎‎            Anak ingusan terus tengak-tengok, takut ada orang yang melihat. Keringat mengucur di dahinya. Saat diseka, tercium bau tanah dan aroma anyir darah bercampur. Anak ingusan langsung merinding, sendirian.             Â
Akhirnya, anak ingusan sudah jauh dari rumah teman sekolahnya. Anak ingusan menunggu bus di perempa‎tan.  Diam tapi badannya bergetar. Otaknya yang melayang-layang, kalut. ‎Suara sirine merambat dari kejauhan. Anak ingusan makin berdegup ketakutan.Â
          Â
Bus yang lewat langsung diberhentikan. Dia setengah loncat masuk ke bus. Duduk dan tengak-tengok melihat keadaan. Dicarinya sumber suara sirine, tak juga terlihat. Beberapa menit berlalu, mobil pemadam kebakaran lewat. Hati anak ingusan yang mengkerut mulai mengembang.          Â
 ‎Mendadak tangan besar hitam legam menarik pundak anak ingusan. ‎Anak ingusan langsung terpanjat. Tangan itu kuat, anak ingusan tak bisa mengelak. Dia langsung berteriak,"jangan-jangan,".          Â
 Suara tawa penumpang pecah. Anak ingusan baru sadar, kondektur meminta uang. Dari saku diambilnya beberapa recehan. Anak ingusan kembali duduk. Hatinya tak lagi bisa tenang.             Â
Tak lama, anak ingusan tiba di rumahnya. Dia tertidur tanpa lepas seragam. Orangtuanya belum pulang. Hanya ada pembantu tua yang kerepotan merawat adik anak ingusan. (bersambung)
KEMBALI KE ARTIKEL