Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Sungaiku Mengering Karena Kompasiana

23 September 2015   11:34 Diperbarui: 13 September 2016   05:38 103 0
Jernih dan dingin, itulah sungaiku. Warga sekitar biasa menyebutnya sungai Muli. Nama yang diambil dari sebuah desa terpencil bernama Tunjungmuli. Desa yang terletak di Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Sungai ini bisa dikatakan sebagai sumber kehidupan warga desaku. Warga bisa bertanam padi di sawah karena aliran sungai Muli. Sehari-hari, warga juga menyuci pakaian dan mandi di sungai ini.

Sungai Muli juga menjadi 'wahana bermain' bagi anak-anak di desa Tunjungmuli. Bendungan irigasi yang dibuat secara gotong-royong oleh warga, dimanfaatkan menjadi tempat bermain favoritku dan teman-temanku.

Derasnya arus sungai Muli selalu terdengar dari rumahku yang berjarak sekitar 2 kilometer. Seolah-olah mengajaku dan teman-teman bermain sepulang sekolah. Setiap kali ke sungai, aku dan teman-teman biasanya memilih bermain di bendungan irigasi, karena dasar sungai lebih dalam.

Melompat dari tebing ke dasar sungai 10 hingga 15 meter, biasa kami lakukan setiap bermain di sungai Muli. Adu gaya meloncat pun menjadi hiburan tersendiri buatku dan teman-temanku. Mulai dari gaya terjun bebas, sampai gaya 'koprol' ala atlit loncat indah.

Keindahan panorama dan udara pegunungan yang sejuk selalu memanjakan kami. Membuatku dan teman-temanku selalu betah bermain di sungai. Bahkan tak jarang, aku dan teman-teman lupa waktu. Kami biasanya berhenti bermain saat badan sudah mulai menggigil kedinginan.

Ketika aku dan teman-teman sudah kedinginan, berjemur di atas batu besar menjadi pilihan. Tak jauh beda dengan kebiasaan bule-bule asing yang suka berjemur di pantai. Bedanya, aku dan teman-temanku semakin keling, karena kulit kami memang sudah cokelat tua.

Biasanya, sebelum berjemur di atas batu, aku dan teman-teman mencari udang untuk mengobati lapar. Udang hasil tangkapan, biasanya kami jemur di atas batu hingga memerah. Hhhmm...rasanya gurih!

Pada musim penghujan, bendungan irigasi ini kerap jebol lantaran diterjang banjir. Bendungan yang hanya dibangun menggunakan tumpukan batu dan karung ini, terlalu mudah goyah setiap kali diterjang arus sungai yang kuat.

Warga pun ramai-ramai memperbaiki bendungan ini. Karena jika tidak, musnah harapan mereka memanen padi. Karena bendungan ini menjadi irigasi sawah-sawah warga.

Di sungai Muli, warga juga biasanya menangkap ikan menggunakan kail. Begitu juga aku dan teman-temanku saat akhir pekan tiba. Tapi ada juga warga yang menggunakan jaring atau jebakan ikan yang terbuat dari bambu.

Hasil tangkapan ikan biasanya dibawa pulang ke rumah, sebagai pelengkap lauk makan warga. Bahkan, ada juga warga yang menjual ikan hasil tangkapan mereka ke pasar.

Sungai Muli juga menjadi sumber energi listrik bagi warga desaku. Mereka banyak memanfaatkan arus sungai untuk memutar kincir angin. Biasanya, mereka memasang kincir angin di tepi sungai. Warga yang sebelumnya memakai lampu patromak, beralih menggunakan penerang listrik.

Tak hanya itu, setiap banjir surut sungai Muli menyisakan kayu-kayu besar dari pohon yang sudah tumbang. Kayu-kayu yang terseret arus dari hutan itu biasanya terdampar di pinggiran sungai. Warga pun mengambilnya untuk bahan kayu bakar. Bahkan, tak jarang warga memanfaatkan untuk furniture.

Warga desaku juga memanfaatkan sumber daya alam lainya yang ada di sungai. Seperti aku dan teman-teman sekolahku, yang biasanya mengambil batu sungai dan pasir untuk pembangunan gedung sekolah. Para siswa biasanya melakukan kerja bakti ini setiap Jumat. Maklum, pembangunan gedung sekolahku berasal dari dana sukarela warga dan pihak sekolah.

Tapi itu cerita 20 tahun lalu, saat aku dan teman-temanku masih duduk di bangku sekolah dasar. Kini semuanya sudah berubah. Listrik sudah masuk desa. Jalanan yang dulu masih tanah kini berubah menjadi aspal.

Sungaiku pun ikut berubah mengering.  Berubah menjadi sumur-sumur kecil. Bongkahan batu-batu besar tempatku berjemur, kini rata menjadi kerikil-kerikil kecil. Udang-udang pun menghilang. Kincir-kincir air pun tak berbekas di tepian sungai. Sawah-sawah mengering.

Anak-anak yang dulu bermain di sungai, kini beralih di depan televisi. Mereka diracuni tayangan-tayangan yang tidak mendidik. Hari-hari mereka dicekoki budaya konsumerisme, egoisme, dan hedonisme.

***

Kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan secara geografis mungkin tak ada kaitan dengan sungaku. Tapi secara hirarki, mungkin bagian dari mata rantai kehidupan alam. Karena sungai mengalir dari sumber-sumber mata air di hutan.

Jika hutan gundul, tentu tak ada lagi cadangan air. Sungai pun mengering. Lahan-lahan pertanian terbengkalai. Cadangan makanan untuk ribuan, bahkan jutaan orang terancam. Masyarakat desa yang biasa hidup bertani terpaksa mencari penghidupan di kota-kota besar. Urbanisasi pun meledak.

Parahnya lagi, masyarakat desa menjual sawahnya untuk beralih ke dunia usaha yang belum tentu sukses. Celakanya lagi, warga menjual sawah untuk biaya hidupnya. Kepada siapa lagi masyarakat pedesaan bergantung hidup? Bagaimana nasib pedesaan yang menjadi lumbung padi masyaryakat perkotaan?

Pembakaran lahan dan hutan jelas mengancam kehidupan manusia dan habitat alam. Akibat segelintir tangan-tangan kotor, masyarakat dunia harus menanggung dampaknya. Padahal kita sudah tahu, masalah kekeringan bagian dari dampak pemanasan global, yang tak lain akibat menipisnya kawasan hutan.

Demi bisnis dan keuntungan semata, rakyat kecil menderita. Celakanya, banyak korporasi menggerogoti lahan dan hutan lewat tangan-tangan penguasa daerah. Mereka bergumul di atas penderitaan rakyat kecil. Mereka bak predator yang siap memangsa yang lemah. Sementara stakeholder hanya melihat sebelah mata, seolah ini masalah biasa. Faktor alam dan sebagainya.

Seperti biasa adat ketimuran, meski buntung, aku masih beruntung. Karena aku masih bisa onani. Ya, onani. Sebab aku cuma bisa melihat masalah besar di depan mata. Sementara aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya membuat langkah kecil yang terkadang mudah tersapu angin.

Aku juga masih beruntung, lewat Kompasiana aku bisa berbagi kegelisahan yang selama ini mengusik ketenangan tidur siangku --malam untuk kerja, siang untuk tidur. Dan ternyata aku tersadar, Kompasiana bukan penyebab kabut asap dan kekeringan sungaiku. Justru sebaliknya.

Semoga lewat coretan di Kompasiana ini, kegelisahanku sampai di tangan-tangan kotor itu dan para stakeholder, supaya mereka sadar. Sadar akan nasib anak cucu dan generasi selanjutnya, sebelum alam ini murka!


Jakarta, 23 September 2015
Roman

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun