Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Yth Bapak SBY, Kendalikan Amarahmu!

16 Oktober 2013   20:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:27 403 1

Beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh peristiwa ‘langka’ yang belum pernah penulis lihat pada masa presiden-presiden sebelumnya. Peristiwa ‘langka’ tersebut adalah pidato marahnya Presiden SBY sebagai respon terhadap pernyataan LHI di persidangan bahwa SBY kenal dengan Bunda Putri. Pidato kemarahan SBY ini disiarkan secara langsung oleh televisi swasta nasional dan jutaan rakyat Indonesia dipastikan menonton ‘adegan’ itu.

Pada kesempatan ini, sebagai rakyat biasa, penulis ingin menuliskan sesuatu kepada Bapak SBY dan siapa saja yang pernah dan akan mempertontonkan kemarahan di depan umum. Sebagai orang yang ‘sekeyakinan’ dengan Bapak Presiden, penulis ingin menyatakan,”Kendalikan Amarahmu Yth Presiden Kami!”.

Wahai Bapak Presiden, mari kita simak tulisan saya tentang mengendalikan marah ini, semoga Bapak atau staf Bapak membacanya serta para pembaca (beserta penulis tentunya) bersama-sama dapat merenunginya, sehingga mampu menempatkan marah sesuai dengan tempat yang semestinya

Al-Qur’an menggunakan setidaknya dua kata yang memiliki makna marah, yaitu ghaidz dan ghadab. Ghaidz artinya marah besar, yakni keadaan yang dialami oleh manusia saat mendidih darah hatinya, sedangkan ghadab adalah mendidihnya darah hati manusia untuk membalas dendam kepada obyek yang dimarahi. Dari pengertian itu, maka ghadab adalah marah biasa, sedangkan ghaidz adalah marah besar. Dalam pengertian itu diketahui bahwa marah memiliki dua dampak sekaligus, dampak psikologis dan dampak fisik. Secara biologis adalah pada saat darah mengalami proses pendidihan dalam jantung atau hati. Oleh karena itu, orang yang sedang marah, lebih-lebih yang marahnya memuncak atau marah besar, biasanya tensi darahnya meningkat, sehingga berpengaruh secara fisik, misalnya pada raut mukanya. Karena itu Nabi SAW mengumpamakan marah dengan bara api dari neraka yang dinyalakan dalam hati anak manusia. Marah juga diumpamakan seperti racun dari api jahanam yang diletakkan pada mata manusia. Maka orang yang marah biasanya matanya merah, wajahnya mengkerut dan giginya beradu. Efek lahiriah lain dari marah adalah munculnya perbuatan atau gerak dan pembicaraan yang tidak teratur, sehingga seandainya orang yang sedang marah itu melihat wajahnya dalam cermin, maka ia akan malu. Sedangkan efek atau dampak psikologisnya adalah dengki, menyembunyikan kejahatan, sedih melihat kebahagiaan orang lain dan memiliki niat untuk menyebarkan hal yang sifatnya rahasia, merusak tabir, melecehkan dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya.

Kalau orang sedang marah, maka seluruh kejelekan akan bisa ia undang ke dalam dirinya. Segala sesuatu yang negatif yang tidak mungkin dilakukan ketika tidak marah, semuanya menjadi mungkin ketika marah. Misalnya akan berbicara kasar, memaki-maki, mengucapkan kata-kata yang keji, berbicara kotor atau jorok, menyakiti perasaan orang lain, memukul, menyerang, membunuh, merobek, melukai. Jika orang yang dimarahi lari darinya maka ia akan lari mengejarnya seperti orang yang mabuk, dan terkadang segera terjatuh karena tidak sanggup melangkah dan bergerak akibat besarnya amarah dan mengalami keadaan seperti pingsan. Terkadang ia memukul benda-benda mati dan binatang, misalnya melempar piring, gelas, bambu, kayu, memukul meja hingga rusak. Pada kondisi marah, terjadi rusaknya keseimbangan struktur ucapan dan perbuatan. Orang yang marah emosinya tidak terkendalikan dan otaknya juga tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya kehilangan keseimbangan, perhitungan, dan strategi. Orang marah terkadang melakukan perbuatan-perbuatan seperti orang yang hilang ingatan, misalnya mencaci maki binatang dan benda-benda mati. Berbicara tidak karuan, seolah-olah ia berbicara kepada orang yang waras akal, bahkan terkadang terkena tendangan binatang sampai ia jatuh lalu ia pun membalasnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa marah adalah pintu masuk pembuka segala macam kejelekan, sehingga marah bisa merupakan pintu masuknya setan ke dalam diri manusia.

Sebab-sebab yang membangkitkan marah adalah: kesombongan, ‘ujub, senda gurau, kesia-siaan, pelecehan, pencibiran, perdebatan, pertengkaran, pengkhianatan, ambisi pada harta dan kedudukan. Kesemuanya itu adalah akhlak yang sangat buruk dan tercela dalam agama. Tidak akan bisa terhindar dari marah selagi sebab-sebab ini masih ada, sehingga diperlukan upaya untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut dengan kebalikannya. Kesombongan harus dihilangkan dengan tawadhu; ‘ujub dimatikan dengan mengenal diri; kebanggaan dihapuskan dengan mengingat asal muasal terciptanya diri; senda gurau dihilangkan dengan kesibukan menunaikan berbagai tugas agama yang akan menghabiskan umur yang ada. Kesia-siaan dihapuskan dengan keseriusan dalam mencari berbagai keutamaan akhlak yang baik dan ilmu-ilmu agama yang akan mengantarkannya kepada kebahagiaan akhirat; pelecehan dihapuskan dengan tidak menyakiti orang dan menjaga diri agar tidak dilecehkan orang; pencibiran dihilangkan dengan mengindari perkataan yang buruk dan menjaga diri dari jawaban yang pahit; ambisi untuk bermegah-megahan dihapuskandengan qana’ah kepada kadar yang diperlukan demi mendapatkan kemuliaan sikap merasa cukup dan demi menghindari hinanya mencari kebutuhan; ambisi meraih kedudukan dan jabatan dapat dihindari dengan kesadaran diri bahwa kedudukan dan jabatan hakikatnya merupakan amanah yang mulia dan akan diminta pertanggungjawabannya oleh manusia di dunia dan oleh Allah di akhirat kelak.

Jika seseorang marah di saat berdiri, maka hendaklah ia duduk. Ketika duduk masih marah, seyogyanya ia berusaha untuk berbaring. Dengan berbaring pun masih belum reda marahnya, maka hendaklah ia berwudhu, karena api tidak dapat dipadamkan kecuali dengan air. Rasul SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu marah maka hendaklah ia berwudhu dengan air karena marah adalah dari api.” (H.R. Abu Dawud). Dalam riwayat lain Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya marah dari syetan dan sesungguhnya syetan diciptakan dari api, sedangkan api harus dipadamkan dengan air, maka apabila salah seorang di antara kamu marah hendaklah berwudhu.” (H.R. Abu Dawud). Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kamu marah maka hendaklah diam.” (H.R. Ahmad, Turmudzi, Baihaqi, Ibnu Abu Dunya). Abu Hurairah r.a. berkata: “Apabila Rasulullah SAW marah dalam keadaan berdiri maka Beliau duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk maka Beliau berbaring lalu marahnya hilang.” (H.R. Ahmad, Ibnu Abu Dunya). Rasul SAW pernah bersabda di hadapan Abu Dzar: “Apabila kamu marah dalam keadaan berdiri maka hendaklah kamu duduk, jika kamu dalam keadaan duduk maka hendaklah kamu bersandar dan jika kamu dalam keadaan bersandar maka hendaklah kamu berbaring.” Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Nabi SAW bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya marah adalah bara di dalam hati anak Adam, tidakkah kamu tahu kedua matanya merah dan urat lehernya membengkak, maka barangsiapa mengalami hal tersebut hendaklah dia menempelkan pipinya ke tanah.” (H.R. Turmudzi). Menempelkan pipinya ke tanah mengandung arti sujud dan menempelkan anggota badan yang paling mulia ke tempat yang paling rendah yaitu tanah agar jiwa merasakan kehinaan dan terkikis pula kesombongannya.

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Umar bin Khattab pernah marah lalu ia meminta air dan berkumur-kumur kemudian berkata: “Sesungguhnya marah dari syetan sedangkan hal ini (berkumur-kumur dengan air/berwudhu) dapat menghilangkan marah.” Urwah bin Muhammad berkata: Ketika aku ditunjuk menjadi gubernur Yaman, ayahku berkata kepadaku: “Kamu diangkat menjadi gubernur?” Aku menjawab: “Ya.” Ia berkata: “Apabila marah, maka pandanglah ke langit di atasmu dan ke bumi di bawahmu kemudian agungkan Pencipta keduanya.”

Menahan atau mengendalikan marah tentu lebih mulia daripada melampiaskannya. Salah satu ciri calon penghuni surga adalah orang yang mampu menahan marah (Ali-Imran: 134). Nabi SAW bersabda: “Orang yang paling kuat diantara kalian adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya pada saat marah dan orang yang paling santun di antara kalian ialah orang yang mema’afkan pada saat mampu melakukan pembalasan.” (H.R. Baihaqi). Dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa menahan kemarahan, padahal kalau mau ia bisa melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya pada hari kiamat dengan keridhaan, keamanan, dan keimanan.” (Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abu Dunya). Riwayat dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Orang kuat itu bukanlah orang yang menang gulat tetapi orang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya pada saat marah.” (H.R. Bukhari Muslim). Apabila Aisyah marah, Rasulullah SAW memegang hidungnya seraya mengatakan: “Wahai ‘Uwaisy (panggilan manja untuk Aisyah) ucapkanlah: “Ya Allah, Rabb Nabi Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkanlah kemarahan hatiku, dan lindungilah aku dari berbagai fitnah yang menyesatkan.” (H.R. Ibnu Sunni). Semoga kita dijauhkan dari sifat marah yang tak bisa dikendalikan. Amin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun