Di sebuah desa kecil yang dikenal dengan kesederhanaan warganya, hidup seorang pemuda bernama Fikri. Ia dikenal sebagai seorang yang taat beribadah. Setiap Ramadan, Fikri tak pernah absen berpuasa, shalat tarawih, dan membaca Al-Qur'an. Meski begitu, ada sisi dari Fikri yang sering menjadi buah bibir di desanya. Ia kerap memperlihatkan sikap yang kurang ramah dan suka berkomentar tajam terhadap orang lain.
Hari itu, mentari menyengat terik. Fikri baru saja kembali dari masjid setelah shalat zuhur. Saat melewati rumah tetangganya, Bu Lela, ia melihat ibu paruh baya itu sedang menyapu halaman. Fikri menghentikan langkahnya.
"Bu Lela," panggilnya dengan nada tegas, "bukankah sebaiknya Ibu istirahat saja? Ramadan ini waktunya memperbanyak ibadah, bukan sibuk dengan pekerjaan dunia."
Bu Lela menghentikan sapunya dan tersenyum kecil. "Oh, Fikri, ini hanya membersihkan halaman. Kalau halaman bersih, kan ibadah juga jadi lebih nyaman."
Fikri menggeleng dengan pelan, seolah menghakimi. "Tapi, Bu, pekerjaan seperti ini bisa dilakukan setelah Magrib. Kalau siang begini, lebih baik fokus berdoa dan berdzikir."
Bu Lela hanya mengangguk, enggan memperpanjang percakapan. Namun, dalam hatinya, ia merasa terganggu dengan sikap Fikri yang kerap mencampuri urusan orang lain.
Dibalik Rutinitas Ibadah
Setelah sampai di rumah, Fikri beristirahat di ruang tamu. Ia membuka Al-Qur'an dan membaca beberapa ayat. Hatinya merasa damai, tetapi pikirannya terusik oleh berbagai hal yang ia anggap salah di sekitarnya. Tetangga yang masih bekerja keras di siang hari, anak-anak muda yang tertawa di gang, dan orang-orang yang kurang menjaga kesopanan berbicara.
"Sungguh, mereka itu tak memahami hakikat puasa," gumam Fikri sambil menggeleng.
Namun, sore itu, seorang tamu datang ke rumahnya. Ustaz Salim, seorang guru agama yang dihormati di desa tersebut. Fikri merasa bangga karena ustaz itu sering memperhatikan kesungguhannya dalam beribadah.
"Fikri, bagaimana puasamu hari ini?" tanya Ustaz Salim dengan senyuman ramah.
"Alhamdulillah, Ustaz. Saya selalu berusaha menjaga ibadah saya, membaca Al-Qur'an, dan tidak melewatkan shalat."
Ustaz Salim mengangguk. "Itu bagus. Tapi, bagaimana hubunganmu dengan sesama?"
Fikri tampak bingung. "Hubungan saya dengan tetangga baik, Ustaz. Saya selalu mengingatkan mereka untuk berbuat baik."
Senyum Ustaz Salim sedikit memudar. Ia menatap Fikri dalam-dalam. "Mengingatkan itu baik, tetapi caranya juga penting. Apa kamu sudah mendengar hadist ini: 'Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus.'?"
Fikri mengangguk ragu. "Ya, Ustaz. Tapi saya kira itu untuk orang yang melanggar syariat."
Ustaz Salim melanjutkan, "Bukan hanya tentang syariat, tetapi juga perilaku. Orang yang berpuasa seharusnya menjaga lisannya, menahan amarahnya, dan memperlakukan orang lain dengan kelembutan. Puasa bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari perbuatan yang menyakiti hati orang lain."
Kata-kata itu terasa seperti tamparan bagi Fikri. Ia teringat kembali bagaimana ia berbicara kepada Bu Lela dan tetangga lainnya. Apakah caranya selama ini sudah mencerminkan kebaikan?
Pelajaran dari Jalanan Desa
Keesokan harinya, Fikri memutuskan untuk berjalan-jalan di desa. Ia ingin melihat kembali bagaimana perilaku orang-orang yang selama ini ia anggap kurang menghargai Ramadan.
Di sebuah gang kecil, ia melihat anak-anak muda yang sedang tertawa sambil bermain. Kali ini, ia menahan diri untuk tidak menegur mereka. Ia hanya mengamati dari kejauhan. Tiba-tiba, seorang anak kecil terjatuh saat bermain bola. Seorang pemuda dengan sigap menolongnya.
"Tidak apa-apa, adik. Ayo kita bersihkan lukanya," ujar pemuda itu lembut.
Fikri tertegun. Ia baru sadar bahwa kebaikan tidak selalu terlihat dalam bentuk ibadah yang formal.
Di perjalanan pulang, ia melewati rumah Bu Lela. Wanita itu kembali menyapu halaman, kali ini ditemani cucunya. Mereka berbicara sambil tertawa kecil. Fikri melihat ketenangan dan kebahagiaan di wajah mereka.
Hati Fikri mulai terbuka. Ia memahami bahwa setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menjalani Ramadan. Tidak semua orang harus sesuai dengan caranya.
Mengubah Cara Pandang
Sore harinya, Fikri kembali menemui Ustaz Salim di masjid. Ia menceritakan apa yang ia lihat dan bagaimana ia merasa telah salah dalam menilai orang lain.
"Ustaz, saya merasa malu. Selama ini saya berpuasa, tetapi hati saya belum benar-benar bersih. Saya lebih sibuk menilai orang lain daripada memperbaiki diri sendiri."
Ustaz Salim tersenyum lembut. "Itulah hikmah dari belajar dan merenung, Fikri. Kita semua sedang dalam proses memperbaiki diri. Puasa adalah sarana untuk itu, bukan sekadar ritual. Ingatlah, Allah mencintai orang yang lembut dan menghormati sesama."
Sejak saat itu, Fikri bertekad untuk berubah. Ia mulai belajar berbicara dengan lebih lembut dan berhenti menilai orang lain. Ramadan tahun itu menjadi titik balik baginya. Ia menyadari bahwa makna puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang menahan diri dari perilaku yang bisa merusak amal.
Fikri kini menjadi pribadi yang lebih rendah hati. Setiap kali bertemu dengan tetangganya, ia lebih sering tersenyum dan menyapa dengan ramah. Bahkan kepada Bu Lela, ia pernah meminta maaf atas kata-katanya yang dulu.
Dan Ramadan itu menjadi lebih bermakna. Tidak hanya bagi Fikri, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya.