Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kkn

Teror di Lembah Mendongan

30 Juni 2024   21:30 Diperbarui: 30 Juni 2024   23:11 130 1
Namaku Asih Sulistyowati, seorang mahasiswi yang tengah menjalankan program KKN di kawasan Magelang Utara. Malam itu, malam Selasa Kliwon, aku dan teman-temanku, sesama mahasiswa KKN dari Desa Guntur, memutuskan untuk menonton pertunjukan wayang kulit besar-besaran di desa seberang, namanya Desa Kuan.

"Hitung-hitung buat hiburan lah ya, Sih. Daripada kita tidur, lagipula belum terlalu malam," ucap Yudi, anggota KKN sekaligus  teman dekatku sejak masuk kampus dulu.

"Iya deh, tapi nanti pulangnya jangan malam-malam ya."

"Siapppp." Yudi mengacungkan jempol sebelum akhirnya merapat ke kelompok KKN-nya yang berjumlah 9 orang.

Pertunjukan wayang kulit di Desa Kuan begitu memukau, kelihaian dalang, sinden dan para kru gamelan membuat waktu berlalu tanpa terasa. Saat jarum jam menunjukkan pukul 12.00 malam, aku mulai merasa mual dan tidak enak badan. Merasa perlu istirahat, aku pun memutuskan untuk kembali lebih dulu ke posko di Desa Guntur.

Mungkin karena pertunjukan masih seru, Yudi dan teman-teman lainnya memutuskan untuk tetap menonton hingga selesai. Aku tidak ingin pulang sendirian, tetapi aku terlalu lelah untuk bertahan lebih lama. Pak Surya, seorang warga Desa Kuan yang ramah namun selalu terlihat misterius, menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku merasa lega meski sedikit cemas, karena kami harus melewati Lembah Mendongan dengan jalan kaki, jalan setapak yang terkenal mistis dan menyeramkan, menghubungkan Desa Kuan dan Desa Guntur.

"Yud, aku pulang duluan ya," pamitku sambil menyikut lengan Yudi.

Yudi menoleh dan tersenyum mengerti. "Yasudah nggak pa-pa, kamu istirahat saja dulu. Nanti aku dan teman-teman segera menyusul, ini nanggung soalnya, lagi seru-serunya, Sih."

Aku pun mengangguk dan segera berlalu. Pak Surya sudah menungguku dengan memegang senter besar.

Menjauhi hiruk-pikuk pertunjukan wayang, kami berdua pun berjalan menyusuri lembah yang diselimuti kabut tipis. Suara-suara hewan malam membuat suasana semakin mencekam. Aku berusaha tetap tenang, meski hatiku dipenuhi ketakutan tak beralasan. Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada benda bulat berwarna hijau yang tergeletak di tepi jalan. Itu adalah sebuah kelapa muda yang tampak segar, seakan-akan baru saja dipetik. Aku yang haus dan lelah merasa begitu beruntung menemukan kelapa tersebut.

"Wah nemu kelapa muda nih, Pak," ucapku girang. Kubayangkan air kelapa yang segar sebagai detoks tubuhku karena entah kenapa dari tadi perutku rasanya mules dan mual.

"Yakin mau diambil, Mbak?" tanya Pak Surya.

"Yakin saja lah Pak, namanya rezeki, masih bagus juga ini, belum bolong dimakan tupai."

Pak Surya hanya tersenyum tipis tanpa berkata apa-apa lagi saat aku memungut kelapa itu dan memeluknya untuk dibawa. Belakangan, senyum Pak Surya itu terus terbayang dalam benakku. Ada yang aneh dari sikapnya malam itu, tapi aku terlalu lelah untuk merenungkannya lebih jauh.

Sesampainya di posko, aku berterima kasih kepada Pak Surya yang kemudian berpamitan dengan wajah yang sedikit pucat. Dengan penuh kegembiraan, aku membawa kelapa tersebut masuk ke dapur dan meletakkannya di atas meja. Kelapa muda yang segar sebelum tidur terasa seperti penutup yang sempurna untuk malam yang melelahkan. Aku pun siap mencari pisau atau alat untuk membuka buah kelapa tersebut.

Namun, ketika aku menyalakan lampu dapur dan memeriksa kelapa itu lebih dekat, sesuatu yang mengerikan terjadi. Kelapa yang sebelumnya tampak segar kini bertransformasi menjadi sesuatu yang sangat mengerikan. Benda hijau itu berubah menjadi kepala manusia. Kepala itu tampak pucat, dengan mata yang terbuka lebar dan senyum menyeringai yang tak wajar di bibirnya. Aku terdiam kaku, merasakan bulu kudukku berdiri serentak, tengkukku terasa menebal dan napasku ngos-ngos an. Perutku mual dan kepalaku berputar melihat pemandangan itu, sampai akhirnya aku menjerit ketakutan sebelum kepala itu menggelinding dan menghilang begitu saja, seakan tertiup oleh angin malam yang dingin.

Jeritanku menggelegar membangunkan Pak Hari sekeluarga, pemilik posko yang sedang tidur lelap. Mereka segera berlari ke dapur dan menemukan aku terbaring lemas di lantai. Wajahku terasa dingin, tanganku mati rasa, dan napasku tersengal-sengal, seolah merebut kembali nyawaku yang hampir melayang.

"Ada apa, Dek Asih? Apa yang terjadi?" tanya Pak Hari penasaran.

Dengan terengah-engah aku menjawab. "Saya tadi nemu buah kelapa Pak di Mendongan, tapi setelah sampai di sini malah berubah jadi sepenggal kepala laki-laki dengan senyuman menyeringai."

Suara istigfar lalu segera merebak pada orang-orang yang mengelilingiku.

Aku lantas digotong ke atas posko dan sayup-sayup kudengar ada yang menangisiku juga sambil mengoleskan minyak kayu putih di tangan dan leherku.

***

Yudi yang baru saja pulang dari Desa Kuan segera menghampiri dan mencoba menenangkan tubuhku yang kini menggigil kedinginan.

"Kita harus panggil Pak Surya," celetuk salah seorang temanku dengan penuh kekhawatiran.

"Sih, sadar, Sih. Istigfar."

"Asih, kamu nggak papa kan?"

Banyak sekali orang yang mengkhawatirkanku, tapi tatapanku terasa kosong dan pikiranku masih tertuju ke kepala seram yang menggelinding di meja dapur.

Pak Surya segera disusul di Kuan menggunakan motor salah satu warga dan beliau pun datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak khawatir saat mencermati cerita yang keluar dari bibir gemetarku. "Kelapa yang tadi itu ya, Dek?" tanya Pak Surya memastikan dengan suaranya yang terdengar bergetar. Aku mengangguk lemah sebagai jawaban, nyaris tak sanggup berkata-kata.

Pak Surya menghela napas panjang, seolah menyusun keberanian untuk menjelaskan. "Lembah Mendongan bukanlah tempat sembarangan, terutama di malam hari. Banyak sekali mitos dan cerita menyeramkan tentang tempat itu. Kelapa muda yang kamu temukan mungkin adalah jebakan roh penasaran yang menyimpan dendam."

Aku masih terbaring dengan ketakutan yang menyisakan bayangan kepala itu dalam pikiranku, merasakan kelelahan yang menyiksa tubuhku. Pak Surya meminta izin kepada teman-temanku untuk melakukan ritual doa sederhana dengan cepat.

Udara malam terasa semakin berat, Pak Surya mengucapkan beberapa mantra sambil menyalakan dupa yang berasap tipis. Perlahan, aku mulai merasakan beban yang meringan, meski tetap diliputi rasa syok yang mendalam atas pengalaman mengerikan itu.

"Besok kita akan berbicara dengan para tetua desa untuk mencari tahu lebih lanjut," ujar Pak Surya setelah selesai. "Untuk malam ini, pastikan tidak ada yang keluar rumah setelah tengah malam. Lembah Mendongan menyimpan banyak misteri yang tak mampu kita pahami."

Malam itu, aku tidur dengan wajah yang penuh kengerian, dihantui oleh bayangan kepala yang tersenyum dengan menyeringai jahat. Pagi harinya, aku dan teman-temanku berkumpul dengan para tetua desa untuk mendengarkan cerita-cerita seram yang mengelilingi Lembah Mendongan. Ternyata, kisah horor yang mengiringi tempat itu tidak pernah habis, begitu pula ketakutan yang akan selalu menghantui malam-malamku. Beberapa kejadian seram pernah dialami orang-orang yang sebelumnya melewati lembah itu, mulai dari ada selendang merah cantik yang jika diambil akan mengikat leher, sekresek daging segar yang berubah jadi potongan tangan berbulu lebat, ular berkepala sebesar barongan, dan lain sebagainya.

Lembah Mendongan tetap menjadi misteri kelam, dan kisahku menjadi salah satu dari sekian banyak cerita menyeramkan yang semakin menambah keangkeran tempat itu.

Aku lantas janji kepada diriku sendiri untuk tidak sembarangan mengambil sesuatu di jalan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun