Disebuah stasiun kereta api ..
Seorang gadis kecil berlari menghirup udara tanah basah yang terbawa oleh angin. Menari mengelilingi deretan kursi yang tersusun rapi disebuah ruang tunggu yang terselimuti rinai tipis diluar sana. Tubuh kecilnya terbalut mantel tebal berwarna merah muda dengan motif khas balita dan syal putih yang melingkar dilehernya. Sesekali ia tersenyum pada orang yang memanggilnya dan kemudian kembali tenggelam dalam permainan kecilnya. Angin menggoda rambutnya yang terurai bagai sutra. Wajah polosnya memancarkan sinar seorang malaikat yang sengaja di utus oleh Tuhan untuk membawa kebahagiaan bagi kedua orang tuanya.
“Tiar, mainnya jangan jauh-jauh nak, sebentar lagi Ayah sampai” Seorang wanita berjilbab memanggilnya, memberi peringatan.
Ikhtiarina Habibul Mahbub, nama lengkap gadis kecil itu. Usianya baru menginjak usia 3 tahun. Sorot matanya tajam tapi menyimpan banyak keteduhan. Senyumnya sangat lembut dan tulus, seperti cahaya bintang yang mendamaikan malam. Parasnya yang manis, seolah mempertegas bahwa didalam dirinya mengalir perpaduan dua budaya yang berbeda, yang saling melengkapi satu sama lain. Tiar berjalan mendekati Ibunya dan tersenyum.
“Tiar kangen Ayah” Tiar merajuk
“Iya nak, sebentar lagi ayah datang!”
“Lama!”
“Biar gak lama Tiar tunggunya disini”
Mereka duduk disalah satu bangku kosong di pojok timur stasiun. Disanamereka leluasa melihat penumpang yang turun dari gerbong di semua jalur kereta.Menunggu suami dan ayah tercinta.
“Ayah nakal!” Ucap Tiar tiba-tiba.
“Eh, Tiar kok ngomongnya gitu sih? Nanti Ayahnya sedih lohh”
“Abis Ayahnya pergi-pergi terus”
“Tiar sayang .. itu bukan kemauan Ayah. Itu tuntutan pekerjaan. Kalau tempat kerja Ayah udah nyuruh Ayah buat pergi, mau gak mau Ayah harus pergi. Tiar tau kan apa pekerjaan Ayah?” Wanita itu mencoba memberi penjelasan kepada anak gadisnya. Ia bisa merasakan betapa rindunya Tiar kepada Ayahnya. Sejak setahun terakhir ini suaminya memang ditugaskan keluar pulau, kegiatan yang padat dan kurangnya sinyal di pedalaman membuat mereka hanya bisa berkomunikasi satu atau dua minggu sekali itupun jika suaminya mendapat giliran untuk turun ke kota.
“Tiar gak boleh bilang kayak gitu lagi yaa”
“Iya”
“Janji?”
“Janji!”keduanya saling berpandangan dan tersenyum. Kelingking mereka mengait satu sama lain. Tiar memeluk Ibunya.
Tidak lama kemudian, sebuah kereta berhenti. Menurunkan sebagian penumpangnya. Suasanapun berubah menjadi ramai. Hingar bingarnya beradu dengan rintik yang mulai menjelma menjadi hujan yang sesungguhnya. Dan udara disekitar stasiunpun bertambah menjadi semakin dingin saja.
Kembali Tiar berlari, meninggalkan Ibunya, menerobos kerumunan orang-orang yang berlalu lalang. Ibunya menghela nafas panjang dan mengejarnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti, saat ia melihat seorang pria berpakaian TNI baru saja turun dari salah satu gerbong. Pria itu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Seperti sedang mencari sesuatu. Matanya berhenti pada sesosok wanita berjilbab yang yang tengah terpaku menatapnya. Iapun membalasnya dengan tatapan mata yang tajam dan tidak hangat, meski bukan berarti dingin.
“Hai” Dengan sedikit ragu wanita itu menyapanya. Pria itu terdiam, mengerutkan kening, mengingat-ingat sebentuk wajah yang ada dihadapannya. Senyuman yang sangat familiar menarik mundur semua ingatannya pada sebuah tahun yang pernah mereka lalui bersama. Sebuah namapun terlintas.
“Hai” jawabnya dengan senyum yang masih menggantung.
“Apa kabar?” kalimat pembuka yang tak pernah sanggup diucapkan sang wanita sejak bertahun-tahun lalu, akhirnya dapat ia sampaikan hari ini, disenja yang berhujan.
“Baik, kamu sendiri?”
“Alhamdulillah, aku tidak pernah merasa sebaik hari ini” wanita itu tersenyum.
“Hhaha ya .. ya .. ” Ada sebuah kerinduan yang teramat dirasakan sang wanita saat mendengar tawa renyah pria itu.
“Kamu sedang apa disini?”
“Aku .. Aku sedang menunggu suamiku?”
“Suami? Kamu sudah menikah?”
“Iya, bagaimana dengan mu?”
Ada sedikit jeda diantara mereka.
“yaa .. akupun sudah” Jantung wanita itu berdetak 3 kali lebih cepat dari biasanya, sesuatu yang panas mulai menjalar naik dari tubuhnya. Tapi ia berusaha bersikap tenang dan wajar.
“Oya. Wanita mana yang beruntung bisa menjadi istrimu?” tanyanya penasaran.
“Justru akulah yang beruntung bisa mendapatkan dia”
“Yaa .. tentunya kalian berdua sama-sama beruntung, bukan?”
“Heumm begitulah .. bagaimana dengan suamimu?”
Wanita itu terdiam sejenak, menghela nafas.
“Dia hanya pria bisa yang mendapatkan wanita biasa sepertiku!”
“Tapi dapat aku pastikan, dia akan merasa sangat beruntung mendapatkan wanita sebaik dirimu!”
Mereka tersenyum sejenak, kemudian terdiam, larut dalam lamunan masing-masing.
“Oya .. Dines dimana sekarang?” Wanita itu memecahkan sunyi yang hanya ada diantara mereka.
“Bogor!” jawabnya singkat.
“Oya? Apa sekarang kau sudah berdamai dengan hujan?”
“Ya, istriku yang mendamaikanku dengan hujan. Dia sangat menyukai hujan, sama seperti kamu”
“Benarkah? Apa dia bisa dikategorikan sebagai kodok betina seperti diriku?”
“Hhaha .. mungkin bisa, tapi suaranya tidak terlalu bagus untuk diperdengarkan di depan orang banyak! Terlebih di depan Komandanku!”
“Hhaha .. kamu terlalu memuji istrimu sendiri, rupanya! Apa dia orang Bogor?”
“Bukan?”
“Terus?”
“Dia orang Bandung?”
“Wow .. Sungguh bertemu denganmu membuatku banyak terkejut”
“Hhaha ..” Pria itu tertawa, tawa yang tak pernah hilang dari ingatan sang wanita.
“Aku masih ingat saat kamu bercerita tentang perempuan Bandung yang selalu ‘turun gunung’, yahh tentu saja itu hanya istilahmu untuk mereka yang selalu datang beramai-ramai di hari rabu dan sabtu untuk mencari mangsa seperti kamu dan teman-temanmu itu, bukan?”
“Hhaha .. ingatanmu terlalu kuat, nona!”
“Yahh .. tentu saja, karena aku lahir dan besar di Bandung. Dan aku sempat patah hati oleh kalimatmu yang sedikit itu”
“Patah hati?”
“Yaa .. Aku pikir itu akan menjadi peganganmu untuk tidak menikah dengan gadis Bandung”
“Sudah menjadi takdirku menikah dengannya”
“Dan takdir untuk menjadi Kodok jantan tentunya!!. Hhhahaha” keduanya tertawa
“Apa pekerjaannya?”
“Guru!”
“Guru? Seperti orang tuamu, kakakmu dan kakak iparmu?? Apa dia guru SD, SMP, SMA?”
“Tidak, dia hanya guru buat anakku saja!”
“heumm ..” wanita itu mengerutkan keningnya.
“Seperti biasa kamu banyak bicara! Apa kamu masih suka menulis?”
“Sekarang ini aku hanya menulis untuk dua orang saja”
“Dua orang? Menulis apa?”
“Menulis surat untuk suamiku dan menulis cerita untuk anakku”
“Anakmu?”
“Yaa .. Namanya Tiar”
“Ayahhhh ...” Sebuah teriakan kecil hadir diantara orang-orang yang berlalu lalang, memecah kekakuan dua insan manusia yang dipertemukan oleh alam. Tiar berlari, mendekati keduanya dan memeluk pria itu, memeluk Ayahnya tercinta, yang sudah setahun tidak ia temui.
“Selamat datang sayang .. aku merindukanmu” Ucap wanita itu setengah berbisik.
“Aku juga” Semburat senyum hadir diwajah ketiganya, ada dingin yang menghangatkan disenja yang berhujan kali ini.
Erika Amme
Bandung , 15 Februari 2013