Perempuan itu, masih mengikat beranda hati dalam rangkaian kata-kata yang mati. Tanpa nyawa, tanpa rasa. Hingga, sebuah puisi atau beberapa sajak telah melancarkan misi untuk membunuhnya dalam samarnya arti. Tanpa peduli, tanpa empati. Pada perempuan yang meski telah membuatnya utuh sebagai tubuh puisi. Namun, telah mengingkari makna keindahan dari sebuah rangkaian diksi. Juga makna kesakitan yang justru akan mendewasakan diri.