Ketika matahari telah terpancang di singgasananya. Aku membicarakan matamu yang selalu terpancar indah di terik renjana. Bukan seperti mata-mata sayu yang kehilangan kesegaran, kosong menatap kehampaan, atau mata munafik yang selalu dipenuhi kotoran.
Lalu, tepat setelah senja meninggalkan lahan dan tetabuhan hari nyenyak ditimang kesunyian. Aku melukiskan wajahmu di antara bintang-bintang, menceritakan senyummu di kenangan yang tak pernah hilang, atau sekadar mengedipkan mata genit padamu yang selalu membayang dalam ingatan.
Kau tahu? Di sepanjang waktu, bahkan di setiap detiknya. Hanya ada dirimu yang masih menjadi satu-satunya rindu.
Angsana, 17 September 2019