Gejolak hangat semakin menjadi-jadi. Saat mentari merentangkan sayap-sayap dominasi. Tentang segala derajat kesibukan di luar nalar. Juga tentang segala cara mensiasati penguasa negeri. Hingga pada akhirnya cakar besi, takhta dan kursi berpindah ke tangan pribadi.
Terkemaslah sajak-sajak proklamasi. Tentang keakuan paling ambisi. Kuasa atas tanah tempat bertumbuh segala adidaya. Kuasa atas segala nurani-nurani yang mati.
Kemudian, berfoya-foya hingga lupa usia, lupa segalanya. Hingga ketiak zaman memasuki episode senja. Lalu, tanda-tanda keriputnya sedikit demi sedikit menandaskan bulu-bulu kuasa. Geraknya lambat, tapi kehendak masih memanipulasi kesadaran. Bahwa hidup masih mengakar jantan. Tanpa tahu, senja hanya sebatas kedipan mata. Sebentar lagi malam akan datang, menenggelamkan semua angan. Lalu, tinggallah penyesalan.
Aku adalah sebuah masa yang tak berjeda. Menertawai panggung sandiwara yang penuh adegan hampa. Antara percakapan nafsu dan usia dalam dialog fana. Antara keinginan untuk hidup lama dan tubuh renta yang tak sanggup membopong dunia.
Angsana, 29 April 2019