Kesadaran politik membutuhkan pemahaman, keyakinan dan keikhlasan setiap warga negara dalam menjalankan hak dan kewajiban politiknya secara benar dan bertanggung jawab.
Menjalankan hak dan kewajiban politik secara benar dan bertanggung jawab sangat dipengaruhi oleh budaya, sosiologi, tingkat pendidikan/literasi dan ekonomi. Oleh karena itu pendidikan politik harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan bukan hanya saat menjelang pemilu.
Tujuan utama pendidikan politik adalah membantu individu menjadi warga negara untuk mendapatkan pengetahuan tentang sistem politik, hak dan kewajiban mereka dalam masyarakat dan memutuskan pilihan pemimpin terbaik melalui proses politik dalam pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil.
Konsep dasar dalam ilmu politik menurut Prof. Dr. Miriam Budiardjo yakni:
Negara: bagaimana negara yang dimaksud itu meliputi suatu tujuan, tugas, fungsi, dan implementasinya melalui lembaga kenegaraan, hubungan negara dengan rakyatnya, dan juga hubungan negara dengan negara lainnya.
Kekuasaan: tentang bagaimana kekuasaan itu dijalankan, dipertahankan, diperdebatkan, bahkan diperebutkan untuk mencapai tujuan
Pengambilan keputusan: proses mengambil keputusan yang akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan negara dan rakyat
Kebijakan: kumpulan keputusan sebagai kebijakan publik, kebijakan untuk tujuan negara yang ingin dicapai
Nilai: berkaitan erat dengan nilai-nilai (values) dalam masyarakat agar tidak menyebabkan terjadinya konflik.
Untuk menjalankan konsep dasar politik dalam bernegara membutuhkan kepemimpinan (leadership) yang dilahirkan dari proses tempaan fisik maupun mental yang matang bukan dengan jalan pintas.
Teori kepemimpinan Nitisastra/Arthasastra yang ditulis filsuf India, Canakya (350--275 SM) sejaman Aristoteles, pada seribu delapan ratusan tahun kemudian era Majapahit (1293--1527 M), diadopsi kedalam bahasa Kawi/Jawa Kuno tentu dengan konteks Nusantara saat itu.
Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan di Eropa (dunia barat) telah mengilhami Machiavelli (1469 -- 1527 M) seorang filsuf Italia di masa Renaisance menulis buku politik Il Prinsipe (studi klasik tentang kekuasaan, menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan).
Atas dasar sumber sastra tersebut maka politik bukanlah hal tabu karena Niti Sastra merupakan sebuah konsep penataan pemerintahan dalam rangka pembangunan negara (nation and character building) sebagaimana dimaksud pendiri bangsa, Bung Karno.
 "Pertemuan Filsafat Timur dan Barat", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/iketutgunaartha2116/62028a0ab4616e1cf47de983/pertemuan-filsafat-timur-dan-barat?page=all#section3
Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Jika dipersempit maknanya secara politik praktis maka berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Maka upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama membutuhkan supremasi hukum. Dan hukum pun harus bersifat progresif.
Hukum progresif lahir dari pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo sekitar tahun 2002 karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Cenderung tumpul keatas tapi tajam kebawah, tebang pilih dan dijadikan alat kekuasaan (sandera/barter).
Hukum sejatinya telah ada saat Tuhan menciptakan alam semesta, yakni sebuah hukum kausalitas, sebab akibat.
Seperti halnya temuan baru tentang hukum penciptaan alam semesta, demikian pula seharusnya perkembangan hukum dengan peradaban manusia.
Â
Higgs Boson (partikel Tuhan) yang ditemukan oleh ilmuwan tahun 2012 adalah boson (partikel sejenis yang bergerombol) yang juga berinteraksi dengan partikel-partikel lain penyusun materi dan menyebabkan partikel-partikel lain penyusun materi tersebut memiliki massa (berat).
Jika partikel tak memiliki massa maka atom takkan terbentuk. Karena partikel memiliki massa maka terjadilah gravitasi sehingga membentuk molekul, planet, galaksi, bintang dalam alam semesta.
Penemuan "Partikel Tuhan" ini secara fundamental mengubah teori tentang pengetahuan fisika modern.
Dalam teologi Hindu hukum kausalitas, sebab akibat ini dikenal dengan hukum "Karma Phala". Bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan akibat.
Kitab Dharmasastra telah ada saat Tuhan menciptakan Manu (manusia awal) pada jaman Krta Yuga (sebelum Ramayana).
Kitab Manawa Dharmasastra adalah sebuah buku hukum yang isinya tersusun dalam 12 bab atau Adyaya.
Kitab ini merupakan bagian dari Kitab Dharmasastra yang dihimpun secara sistematis oleh Bhagawan Bhrgu.
Di jaman Majapahit, Manawa Dharmasastra dikenal sebagai Manupadesa.
Sejarah hukum modern sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi. Kemudian pada era Kerajaan Bizantium, pecahan Kerajaan Romawi, mengumpulkan ahli hukum untuk menyusun kembali hukum Romawi ke dalam satu kitab yang disebut Code Justinian "Corpus Juris Civilis".
Menariknya pada masa kolonialisme Inggris, Kitab Dharmasastra dijadikan yurisprudensi oleh pemerintah kolonial Inggris di India sebagai dasar Hukum Pertanahan bagi penduduk Hindu di India.
Sebaliknya masa kolonialisme Belanda di Hindia Belanda berlaku peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan "Wet Wetboek van Strafrecht" (KUHP Belanda) pada tahun 1918 yang menggusur seluruh hukum yang ada di Hindia Belanda (Indonesia lahir 1945), baik Dharmasastra peninggalan kerajaan Hindu, hukum adat dan hukum era Kesultanan Islam.
Dalam proses melahirkan Indonesia merdeka disusunlah konstitusi tertulis sebagai UUD1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Teks UUD 1945 terbilang singkat terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Prinsip negara hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Landasan Indonesia sebagai negara hukum ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, sebagai berikut:
1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat).
2) Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) dan tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas).
Dari penjelasan tersebut Indonesia memakai sistem "rechsstaat" yang dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda (Eropa Kontinental).
Ada dua istilah prinsip negara hukum, yakni "the rule of law" dan "rechtsstaat". The rule of law lazim digunakan di negara-negara Anglo Saxon (bekas koloni Inggris) dengan "common law system".
Sistem ini didasarkan pada keputusan-keputusan pengadilan yang telah diambil sebelumnya dan prinsip-prinsip hukum yang telah berkembang dari waktu ke waktu.
Sedangkan rechtsstaat populer di negara-negara Eropa kontinental dengan "civil law system".
Dalam civil law system, hakim akan mencari rujukan peraturan yang sesuai dan bersifat aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti, sehingga diperoleh gambaran lengkap dari perkara.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut "The International Commission of Jurists" yakni:
1) Negara harus tunduk pada hukum
2) Pemerintah menghormati hak-hak individu
3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Pada hampir semua konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah lembaga-lembaga negara.
Menurut Montesquieu bahwa kekuasaan negara itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang harus dipisahkan secara ketat.
Lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan itu yakni:
1) Kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif)
2) Kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif)
3) Kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Mengingat keterbatasan dan multitafsir UUD 1945 yang diselewengkan rezim Orde Baru maka pasca Reformasi 1998 dilakukan amandemen sebanyak 4 (empat) kali. Ini sekaligus menjawab pemisahan yang tegas kekuasaan negara.
Perubahan yang sangat fundamental atas UUD 1945 adalah mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dari sinilah kemudian melahirkan UU Pemilu, pemilu langsung yang diharapkan demokratis.
Semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing.
Kekuasaan Presiden sebagai eksekutif dibatasi agar terjadinya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) dengan kekuasaan legislatif DPR dan kekuasaan yudikatif.
Hanya disayangkan bahwa perubahan prinsip kedaulatan rakyat ini menghasilkan demokrasi sistem "one man one vote" yang kebablasan, biaya politik yang mahal dalam pemilu yang tentunya perlu dikaji, disempurnakan agar tercapai demokrasi yang substantif bukan sekedar memenuhi prosedural.
Kemudian terobosan penting dalam perubahan UUD 1945 yang menegaskan Indonesia sebagai negara hukum adalah dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK).
Kelahiran MK dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
Sembilan hakim konstitusi mencerminkan perwakilan dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif dengan kewenangan:
Menguji Undang Undang (UU) terhadap Undang Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
Sengketa Pilpres 2024
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menggelar Rapat Pleno Terbuka Penetapan Hasil Pemilu 2024 Tingkat Nasional, pada Rabu (20/3/2024) di Kantor KPU.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.
Lima bulan sebelum penetapan hasil pemilu 2024 telah terjadi kegaduhan politik karena putusan kontroversial MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres-cawapres.
Ketika kami yakin pak Jokowi tak akan tutup mata melihat rekam jejak Ganjar Pranowo dan Prabowo serta tak akan ambil resiko mempertaruhkan legasi pemerintahannya, soft landing mengakhiri masa jabatannya dengan menghantarkan suksesi kepemimpinan nasional dengan baik melalui pilpres 2024 maka jangankan Gibran, bahkan Erick Thohir mestinya tak mungkin benar-benar akan menjadi cawapresnya Prabowo.
Itu yang kami prediksi sebagai babak akhir dari "drama" teka-teki pentas politik yang telah membingungkan masyarakat belakangan ini.
https://www.kompasiana.com/iketutgunaartha2116/65389096edff767f394779a2/kami-bersama-ganjar-mahfud-karena-mendukung-orang-baik-adalah-ibadah?page=all#section2
Sebagaimana kita ketahui MK telah membacakan putusan 7 dari 11 gugatan uji materiil syarat batas usia capres-cawapres Pemilu 2024, pada tanggal 16 Oktober 2023.
Menariknya tujuh gugatan tersebut terkait dengan batas usia minimal diputuskan lebih duluan dibandingkan sisa gugatan lainnya terkait batas usia maksimal. Seakan ada upaya mengabulkan salahsatunya sebelum batas akhir pendaftaran capres cawapres.
Saat itu Saya pribadi berkeyakinan seluruh uji materi yang digugat mestinya ditolak MK dengan pertimbangan: pertama: tahapan pemilu sedang berlangsung (batas pendaftaran capres cawapres di KPU tanggal 25 Oktober 2023), kedua: penambahan klausa setelah batas usia minimal 40 tahun tidak ada dalam materi syarat capres cawapres UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ketiga: ada conflict of interest kekerabatan antara Ketua MK, Anwar Usman dengan subyek uji materi, Gibran anak Presiden Jokowi.
Memang enam perkara ditolak tapi ada satu perkara diterima yaitu Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A.
Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun "atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah".
Pertimbangan hakim MK adalah "Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun,"
Di persidangan judicial review atas syarat capres cawapres terlihat suasana kebatinan delapan hakim MK yang tidak sama menilai gugatan perkara ini.
Empat hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan ini. Mereka adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat.
Dua hakim konstitusi lainnya menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, yakni Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih.
Pertimbangan MK hanya dibacakan oleh dua hakim konstitusi, yaitu Manahan Sitompul dan Guntur Hamzah.
Jika dilihat dari komposisi pendapat hakim MK 6:2 seharusnya Ketua MK Anwar Usman bisa memutuskan 1) menolak gugatan atau, 2) menolak penambahan klausa itu karena bersifat open legal policy untuk dikembalikan ke DPR sebagai pembuat UU atau, 3) mengabulkan sebagian tetapi berlaku untuk pemilu 2029.
Yang terjadi adalah Ketua MK, Anwar Usman mengetuk palu, menyatakan bahwa gugatan pemohon dikabulkan sebagian.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" Anwar Usman.
Dari sini kami menilai bahwa kekuasaan hakim MK tidak merdeka, ada indikasi kuat terjadi intervensi kekuasaan Presiden Jokowi. Patut diduga ada perencanaan sistematis "menyelundupkan" syarat untuk meloloskan Gibran dengan berlindung dibalik putusan MK yang bersifat final dan mengikat (final & binding), walaupun sejatinya putusan tersebut melalui proses yang menabrak UU.
Putusan MK telah melapangkan jalan putra sulungnya Jokowi, Gibran menjadi cawapres seakan meruntuhkan kewibawaan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ini bukan persoalan mengakomodasi generasi muda dalam jabatan politik ditengah merespons bonus demografi tapi ada indikasi putusan MK dilahirkan cacat prosedur (terjadi konflik kepentingan karena hubungan kekerabatan dalam perkara gugatan) dan cacat materiil (menambah klausa yang menjadi kewenangan legislatif).
https://www.kompasiana.com/iketutgunaartha2116/65409167edff762a56139552/180-derajat-jokowi
Putusan kontroversial ini tentu mengundang reaksi dari berbagai kalangan baik dari praktisi hukum, akademi, mahasiswa dan aktifis pro demokrasi.
Disaat perhatian publik dan media pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, Presiden Jokowi (langsung maupun tidak langsung) memanfaatkannya dengan mengkonsolidasikan sumber dayanya untuk mewujudkan pasangan Prabowo-Gibran yaitu memastikan pendaftaran pasangan capres cawapres tidak melewati batas akhir walaupun KPU belum mengubah Peraturan KPU.
Presiden Jokowi mengabaikan suara kritis dari para tokoh, budayawan, rohaniawan dan guru besar sejumlah kampus atas tuduhan melanggengkan kekuasaan dengan membangun politik dinasti lewat putusan MK yang problematik (mengambil istilah Yuzril Ihza Mahendra).
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres-cawapres kemudian digugat oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana (2/11/2023).
Menurutnya, frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim (termasuk Anwar Usman).
Kelompok lainnya yang dimotori Prof Denny Indrayana juga menggugat MK.
"Berpijak pada gentingnya akibat Putusan 90 kepada Pilpres 2024, Para Pemohon bersepakat untuk meminta pembatalan Putusan 90, dan dinyatakan tidak pernah ada, atau nantinya bukan berlaku sejak putusan MK dibacakan,. Melainkan putusan 90 dianggap tidak pernah ada. Akibatnya, Paslon Prabowo-Gibran menjadi tidak memenuhi syarat, khususnya pada sisi cawapres yang belum berumur 40 tahun," kata Denny dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin (11/12/2023).
Presiden Jokowi juga digugat karena dinilai menyalahgunakan kekuasaan dengan perbuatan "Nepotisme" yang memanfaatkan Iparnya sebagai Ketua MK untuk kepentingan meloloskan anaknya memenuhi syarat cawapres.
Penggugat adalah organisasi Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dengan nomor gugatan 11/6/FE/2024/PTUN JKT.
"Tergugat 1 Presiden Jokowi, tergugat 2 Anwar Usman, tergugat 3 Gibran Rakabuming, tergugat 4 Bobby Nasution, tergugat 5 Prabowo Subianto, tergugat 6 KPU," kata Koordinator Perekat Nusantara, Petrus Selestinus, Jumat (12/1/2024).
Gugatan sebagai bentuk perlawanan demokrasi tersebut menunjukkan bahwa mereka yang mengalami proses reformasi tidak ingin terjadi kemunduran demokrasi. Seolah Jokowi memanfaatkan survey tingkat kepuasan publik diatas 70% atas kinerja pemerintah sehingga sebagian besar rakyat tidak akan protes atas persoalan fundamental yang terjadi di MK.
Fakta tersebut menepis kenyinyiran bahwa karena kalah pilpres baru menggugat?
Penghakiman itu tentu keliru karena proses gugatan perselisihan hasil pemilu baru boleh didaftarkan tiga hari setelah penetapan rekapitulasi hasil pemilu oleh KPU.
Sementara kelompok pro demokrasi telah menggugat tahapan pemilu sejak putusan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023.
Penetapan pasangan Prabowo Gibran oleh KPU pada tanggal 13 Nopember 2023 mengabaikan Keputusan Mahkamah Kehormatan MK No 2/MKMK/11/2023 tentang Pemberhentian Ketua MK Anwar Usman  dikarenakan pelanggaran etik.
Lalu setelah Gibran ditetapkan KPU sebagai cawapres, pada tanggal 10 Nopember 2023 Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres 75 Th 2023, Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No 130 Tahun 2022 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023.
Perpres ini sebagai dasar (legitimasi) penebalan anggaran Perlinsos dan Bansos yang ditotal sebesar Rp.476T, yang ditujukan untuk percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem, pemberdayaan rumah tangga miskin, perlindungan terhadap dinamika ekonomi serta afirmasi terhadap kaum lansia dan disabilitas.
Ancaman bencana El Nino juga dijadikan alasan legal pemerintah menambah anggaran bantuan beras untuk Desember 2023, sebagaimana pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Namun, dalam implementasi distribusi Bansos dan BLT ini, tidak menggunakan data KPM (Keluarga Penerima Manfaat) dari Kemensos.
Bantuan beras ini disalurkan oleh Badan Pangan Nasional dengan menggunakan Data dari Menko PMK.
Pada tangggal 29 Desember 2023 dikeluarkan Surat Menteri Keuangan No S/1082/MK.02/ 2023 perihal pemblokiran anggaran belanja Kementerian /Lembaga (automatic adjustment).
Presiden Jokowi perintahkan Menteri Keuangan agar semua Kementerian dan Lembaga menyisihkan 5 persen dari total anggaran 2023 dialihkan untuk digunakan menambah anggaran bantuan sosial (bansos) dan subsidi pupuk, senilai Rp50,14 triliun.
Anggaran tambahan lebih dari Rp. 50 triliun ini patut diduga untuk mendukung pemenangan Anak Presiden (Gibran) dalam masa kampanye bulan Januari -- Pebruari 2024.
Inilah yang kami maksudkan sebagai politisasi anggaran bansos dan Bantuan Langsung Tunai walaupun terungkap dalam keterangan empat menteri di hadapan hakim MK bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar aturan.
Menariknya juga keterangan menteri keuangan bahwa Presiden Jokowi turut serta membagikan beras menggunakan dana operasional presiden.
Ini bukan soal dana bansos (bantuan sosial), perlinsos (perlindungan sosial) atau dana operasional presiden yang sumbernya adalah APBN.
Jangankan bersumber dari APBN, yang bersumber dari dana pribadi saja jika dibagikan kepada masyarakat saat pemilu bisa mengarah kepada "money politic".
Lalu siapa yang bisa menjamin bahwa apa yang dibagikan oleh presiden Jokowi dalam setiap kunjungan kerja menggunakan fasilitas negara di masa kampanye tidak memberi pengaruh elektoral terhadap anaknya yang ikut berkontestasi?
Disisi lain juga ada keanehan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terlambat memutus pelanggaran KPU menjelang pemungutan suara berdasarkan Putusan DKPP no 135, no 136, no 137, no 141-PKE-DKPP/XII/2023.
Tentang keadilan dan kehormatan penyelenggara pemilu yang pada intinya memutuskan telah menerima Gibran sebagai bakal cawapres pada 25 Oktober 2023 sebelum dilakukan revisi PKPU no 19/2023.
Menurut DKPP seharusnya KPU melakukan perubahan PKPU terlebih dahulu baru kemudian menerbitkan pedoman teknis dan terbukti melanggar kode etik pasal 11 huruf a dan c, pasal 15 huruf c dan pasal 19 huruf a peraturan DKPP 2/2017 mengenai prinsip kepastian hukum, prinsip profesionalitas dan kepentingan umum.
Selama masa kampanye Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menerima 1.271 laporan dan 650 temuan dugaan pelanggaran pemilu 2024.
Data tersebut terakumulasi hingga 26 Februari 2024.
Pelanggaran terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Kemudian juga tentang ketentuan Pasal 283 terkait dengan kepala daerah yang melanggar ketentuan Pasal 283 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7/2017.
Penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil seharusnya menjadi tanggung jawab Presiden sebagai Kepala Negara mengingat sangat kompleksnya persoalan pemilu serentak legislatif dan presiden dengan bentangan geografi dan faktor demografi.
Setiap pelanggaran pemilu sekecil apapun sebenarnya bisa langsung ditindaklanjuti jika unsur penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu profesional dan jujur. Â
Bawaslu tingkat Kabupaten dapat merekomendasikan pemungutan suara ulang (PSU) kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) terhadap dugaan pelanggaran administratif yang terjadi jika misalnya ditemukan selisih antara jumlah pemilih dan surat suara yang digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), ada money politic, ada pembagian bansos yang tidak tepat, ada mobilisasi pemilih oleh ASN dan seterusnya.
Lalu bagaimana mengharapkan KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu bertindak profesional jika penanggung jawab penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil yakni Presiden Jokowi anaknya ikut sebagai kontestan?
Tahapan persidangan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 di MK telah berakhir pada Jumat, 5 April 2024.
Persidangan terakhir kemarin menghadirkan saksi empat menteri yakni Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan Menteri Sosial, Tri Rismaharini, serta Ketua DKPP, Heddy Lugito.
MK akan memutus perkara tersebut pada Senin, 22 April 2024. Sebelum hakim MK memutus perkara, MK memberi kesempatan tim hukum pihak pemohon Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh tim 01 Anies-Muhaimin dan tim hukum pihak pemohon Perkara Nomor  2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh tim 03 Ganjar-Mahfud
serta pihak terkait paslon 02 Prabowo-Gibran, untuk menyerahkan kesimpulan pada 16 April 2024.
Oleh karena penyelenggaraan pemilu 2024 dinilai paling buruk sepanjang pemilu era reformasi maka kami menanti Palu Hakim MK untuk mengembalikan kewibawaan MK sebagai penjaga konstitusi.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 itu tidak ada namanya nomenklatur "kecurangan" tetapi "pelanggaran". Ada pelanggaran administrasi termasuk TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) ada pelanggaran tindak pidana.
Melihat kronologi pelanggaran etik kepada Ketua MK dan Ketua KPU serta "legalisasi" penggunaan APBN dengan Perpres dan SK Menteri Keuangan yang digelontorkan di masa kampanye serta mobilisasi ASN hingga perangkat desa yang secara masif mempengaruhi hasil pemilu agar dijadikan pertimbangan hakim MK sebagai pelanggaran pemilu 2024 ini memenuhi katagori "terstruktur dan sistematis".
Adapun proses politik (tahapan pemilu) telah berlangsung melalui penetapan rekapitulasi hasil oleh KPU namun konstitusi masih memberi ruang proses hukum perselisihan hasil pemilu di MK yang saling terkait dengan keabsahan hasil pemilu 2024 dan demi kepastian hukum.
Mengingat prinsip hukum Indonesia menganut "civil law system" maka kami berharap hakim MK tidak terpengaruh dengan kebiasaan putusan-putusan sebelumnya bahwa "MK tidak pernah putuskan pilpres ulang" atau misalnya "MK tidak pernah batalkan hasil pemilu".
Dengan menghadirkan keterangan saksi lembaga survey (partisan), dan empat menteri, kami berharap hakim MK menemukan fakta-fakta dan cermat dan bijaksana dalam menilai keterangan saksi sebagai petunjuk yang memenuhi pelanggaran yang "terstruktur dan sistematis" sebagai "cawe-cawenya" presiden Jokowi memanfaatkan sumber daya negara untuk pengaruhi hasil pemilu.
MK harus berani mengambil keputusan yang progresif diluar kebiasaan sebagai tekad mengembalikan kewibawaan MK sebagai benteng terakhir keadilan dan hukum.
Mempertimbangkan pernyataan Prof Yuzril Ihza Mahendra bahwa ada "penyelundupan hukum" dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Menurutnya, putusan tersebut tidak mengalir dari hulu ke hilir, sehingga dinilai adanya "kecacatan hukum".
Dengan status "kecacatan hukum" tersebut bagaimana legitimasi pemerintahan "pemenang pilpres" dari proses cacat hukum?
Oleh karena itu harapan kami MK mengabulkan minimal sebagian dari gugatan pemohon untuk membatalkan/mendiskualifikasi Gibran dan memutuskan pilpres ulang atau pemungutan suara ulang yang mengikutsertakan Prabowo dengan pasangan cawapres baru pengganti Gibran.
Dengan demikian pilpres ulang atau pemungutan suara ulang kembali dilangsungkan dengan 3 pasang capres cawapres yaitu 01 Anies - Muhaimin, 02 Prabowo - (pengganti Gibran), 03 Ganjar - Mahfud.
Kembali saya tegaskan bahwa legitimasi hasil pilpres 2024 penting untuk membangun optimisme menuju Indonesia emas 2045.
Demokrasi bukan soal kalah menang, karena itu pasti dalam sebuah kontestasi.
Tapi pemilu yang jujur dan adil yang kita dambakan adalah tanpa melanggar konstitusi, tanpa intervensi kekuasaan, tanpa penyalahgunaan kekuasaan.
Maka Palu Hakim MK tanggal 22 April 2024 nanti akan dicatat sebagai sejarah penting perjalanan demokrasi untuk peradaban masa depan bangsa Indonesia.