Vaksin telah menjadi salah satu inovasi medis paling signifikan dalam sejarah kesehatan
masyarakat, namun mitos dan informasi yang salah seringkali mengaburkan fakta ilmiah terkait efektivitas dan keamanannya. Mitos mengenai vaksin sering kali berakar dari ketidakpahaman terhadap ilmu pengetahuan dan ketidakpercayaan terhadap institusi kesehatan. Salah satu mitos terbesar yang masih beredar hingga saat ini adalah anggapan bahwa vaksin, khususnya vaksin MMR (Campak, Gondong, dan Rubella) yang dapat menyebabkan autisme. Hal ini dimulai dari sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Andrew Wakefield pada tahun 1998 yang mengklaim adanya hubungan antara vaksinasi MMR dan meningkatnya risiko autisme pada anak-anak. Penelitian ini, meskipun kemudian ditarik dan disanggah oleh berbagai studi ilmiah yang lebih besar, tetap meninggalkan dampak negatif yang besar terhadap opini publik. Wakefield juga kehilangan lisensi medisnya setelah terbukti melakukan pelanggaran etika dalam penelitiannya. Sayangnya, dampak dari penelitian tersebut terus mempengaruhi keputusan orang tua mengenai vaksinasi anak mereka, meskipun bukti ilmiah secara konsisten menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara vaksin dan autisme (Taylor et al., 2014). Penyebaran mitos ini semakin diperparah oleh algoritma media sosial yang memperkuat konten sensasional, termasuk teori-teori konspirasi yang menyesatkan mengenai vaksin. Media sosial memungkinkan informasi yang tidak terverifikasi untuk menyebar dengan cepat, dan sering kali sulit untuk membedakan antara fakta dan hoaks yang membuat masyarakat lebih rentan terhadap informasi yang salah.
KEMBALI KE ARTIKEL