Nah, biasanya bila pembicaraan sudah sampai ke nama-nama dokter dan klinik kecantikan saya hanya bisa ketap-ketip di pojokan lalu berseru di depan toa embatan, "Mayday Houston, I have a problem."
Lha ya iya, sampai sekarang saya gak pernah mencicipi sebuah perawatan wajah nan mevvah di kursi-kursi dokter aesthetic atau pun klinik kecantikan, paling banter ke dokter kulit periksa dermatitis kambuhan, haha, merana sekali hidup ini.
Disamping harus merogoh kocek sedalam galian sumur sibel, saya orangnya gak sabaran sehingga gak betah berlama-lama duduk diam. Pernah sih dua kali duduk diam kayak patung Ganesha waktu rebonding rambut, itu pun bawaannya pengen mencelat, dah kayak pilot pesawat jet tempur yang kena tembakan rudal hipersonik kinzhal.
Saat remaja saya minim memakai skincare. Ya, bila anak SMP masa kini sudah mulai memakai skincare ini itu, saya mah boro-boro. Mending uangnya buat beli lumpia basah, ekekekekek. Dulu mikirnya gak pake skincare juga gapapa, wajah ini gak bakalan jadi hutan belantara.
Padahal kala itu kulit wajah saya agak bermasalah, kerap ada bercak putih yang menganggu, kalau bahasa jawanya buras atau balas bogo in sundanese. Kemungkinan itu adalah dermatitis atopik atau pitiriasis alba yang disebabkan alergi, mungkin ya karena gak ke dokter juga sih kala itu.
Waktu SMP sih masik cuek bebek, lha sudah SMA lain cerita. Bercak putih itu masih kerap muncul dan bikin gegana. Namun kegalauan saya gak pake lama karena seorang tetangga memberi tahu solusinya dan ternyata cucok meong di kulit saya. Ya, senjata pemusnah masal itu adalah pelembab wajah berwadah beling dan bertutup alumunium.
Setelah kuliah ada kemajuan lah, itu pun karena kulit wajah sempat mengalami cobaan berat seperti mengelupas dan gosong sepulang kegiatan latihan dasar kemiliteran.