Ya, menjelang Iedul Qurban, sapi, kambing, dan domba menjadi bintang utama. Mereka ini dibawa wira-wiri naik kendaraan juga jalan kaki dengan iringan suara 'mbeeek' dan 'moohhh' yang bertubi-tubi.
Suara 'mbeeek' dan 'moohhh' itu pada siang hari berganti menjadi potongan-potongan daging, tulang, serta jeroan yang siap dimasak dan lembaran kulit yang siap disamak.
Nah, menjelang sore, asap sate yang mengepul mulai menyelubungi kampung, bagai kabut asap dengan aroma yang menggugah selera. Namun tak hanya aroma sate yang menusuk-nusuk hidung, wangi bumbu gulai pun mulai menyeruak dari berbagai sudut. Gulai kepala kakap ditinggalkan sejenak, karena hari ini gulai kepala kambing menjadi primadona kuali.
Saya sendiri bukanlah penyuka daging merah namun kegiatan memasak daging merah harus tetap berjalan karena anggota keluarga lain menyukainya. Biasanya daging kurban terutama daging kambing atau domba saya jadikan sate, itu pun sate anti ribet dan anti keramas karena tidak dibakar di atas arang namun di atas kompor dengan menggunakan pemanggang batu seperti nasib Sate Maranggi ini.
Sate yang berasal dari daerah Purwakarta itu kabarnya berasal dari negeri tirai bambu yang kemudian dibawa oleh beberapa penduduk dataran China yang menetap di daerah tatar sunda. Resep sate yang termasuk kedalam delapan jajanan kaki lima terfavorit dunia versi CNN ini pun mengalami asimilasi seiring dengan perkembangan budaya. Tahun lalu saya memasak sate ini dengan menggunakan daging sapi.