Mataku terpana dan lalu mengerjap karena tak percaya. Pikiranku langsung meloncat ke tayangan televisi yang akhir-akhir ini aku lihat. Semuanya berawal dari benda itu, benda ajaib penuh gambar bergerak yang disebut televisi. Kehadirannya baru beberapa minggu di rumahku. Sejak para warga berupaya untuk mengadakan pembangkit listrik tenaga diesel selepas senja, keluargaku menjadi satu dari sekian orang yang mencoba menghadirkan sekotak televisi di rumah kami.
Tayangan berulang disebut iklan itulah yang selalu aku suka. Ada seorang wanita cantik, dengan bintik dan noda di wajahnya, yang sering ketakutan terkena sinar matahari. Meski awalnya ketika aku terpana pada pesonanya saat membandingkan dengan wajahku, aku cukup keheranan karena sebetulnya bintik dan noda menyamar miliknya itu sungguhlah tak ada artinya.
Tapi wanita itu ingin tampil lebih cantik. Dengan kulit putih nan licin yang mungkin seperti ubin putih di rumah Mak Itam, di Pulau Ngenang sana. Dan botol itu... sama seperti yang kulihat sekarang! Isinya berupa cairan agak merah namun berwarna lembut. Mirip serupa dengan warna dari botol wadahnya sendiri. Dan lagi-lagi dari iklan itu, aku ingat, bagaimana wanita cantik yang kulitnya sudah lebih putih dari kulitku itu memoleskan krim ajaib di kulit wajahnya. Hanya beberapa hari, wajahnya yang makin menawan lalu bisa memesona seorang pria tampan yang sudah lama ia puja dalam diam kekaguman.
Nyawa pikiranku merasuk kembali ke bulatan di pangkal leherku. Kuamati lagi wanita yang masih dengan santainya mengusap krim itu di wajahnya. Umurnya mungkin tidak berbeda jauh denganku yang telah beranjak jauh dari angka dua puluhan. Tapi ia masih menawan dan lebih terlihat muda! Sama dengan wanita cantik yang kulihat di televisi. Pasti... pasti karenalah krim itu penyebabnya! Namun sekilas pikiranku berjalan, ia cantik karena masih punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Dan aku yang seumurnya selalu punya persediaan banyak waktu untuk suami dan anak. Tidak untuk diriku.
Ia datang dengan teman prianya untuk menjadi tamu di rumahku malam ini. Katanya, mereka pencari berita. Berpanas-panas mereka berdua menyewa pompong dari pelabuhan Punggur di Batam menuju Pulau Air Mas tempatku tinggal. Mereka bilang, kedatangannya ke pulau tempatku tinggal untuk mencari cerita kehidupan tentang kami, para suku laut yang sudah hidup di darat. Berikut fisik sebentuk kajang, perahu beratap rangkaian daun kelapa yang dulu jadi rumah berjalan kami di lautan.
Kutaksir pasti, pekerjaannya sering berada di bawah sinar matahari. Tak berbeda jauh denganku yang kerap menemani suamiku melaut. Dan mata pencahariannya itu tak membuat wajahnya legam. Sementara aku yang kerap asyik bercanda dengan matahari dan laut, mendapati wajah yang melegam karena jejak matahari yang terus menampar.
"Mak sedang tengok perempuan itu?" bisik Anis, puteri kecilku dari balik tirai, tepat tak jauh dari tempat berdiriku.
"Hush, tak usah bising! Kita tengok saje die!" sahutku masih tak merubah posisi berdiri. Anis menjejakkan kaki di lantai kayu, berebut dengan kakiku yang telah menopang tubuhku di tempat itu lebih dulu. Tirai bergoyang tak jenak. Ada tanganku dan tangan gadis cilikku yang tak kompak berpegangan pada tirai.
"Mana Bapak?"
"Di pelantar dekat kelong, Mak. Dengan kakak laki-laki teman kakak perempuan ini," tunjuk Anis ke arah wanita yang jadi objek pandangan kami berdua.
Wanita yang kami asyik bicarakan tersadar, ia sedang diperhatikan.
"Eh, Anis, sini... Mau coba?" wanita itu mengayunkan tangannya ke arah Anis, tidak ke padaku.
"Boleh, Mak?" Anis mendongak meminta persetujuanku.
Aku mengangguk tak ikhlas. Ia tamuku. Aku yang mempersilakannya menginap di rumahku malam ini. Kenapa ia tak mengajakku juga?
Dan langkahku tetap membisu ditinggal tapak kaki mungil Anis yang mendekati wanita itu.
"Kamu mau coba? Harum lho!" wanita itu mendekatkan botol merah mudanya ke bawah lubang hidung Anis.
Anis tersenyum malu bercampur senang.
"Nih, Kakak oleskan di muka Anis ya!"
Setetes krim diletakkan di ujung telunjuk meruncing milik wanita itu. Lalu, diletakkannya setitik demi setitik di sebaran wajah Anis. Dahi, pipi, dagu, dan hidung gadis kecilku. Jari jemarinya kemudian mengusap dengan gemulai. Kadang menepuk, kadang mengusap.
Aku makin tak tahan hanya bisa mengamati dari balik tirai. Kudekati mereka berdua, berharap jari jemari itu juga melakukan hal yang sama di wajahku yang telah berharap ingin sedari tadi.
Tapi, keinginanku tertahan. Sungguh tak sopan rasanya apabila aku meminta meski dalam perhitungan itu tadi, akulah tuan rumah yang telah menyediakan tempat berteduh untuknya malam ini.
"Wangi betul, ye?" aku berbasa basi.
Wanita ayu itu mengangguk. "Saya sudah lama pakai ini. Kalau tidak, nanti kulit saya bisa merah-merah karena tidak kuat terkena cahaya matahari," demikian alasannya.
Sedikit keningku berkerut, mengapa alasannya bisa berbeda dengan wanita cantik yang ada di televisi?
"Benar itu bisa buat kulit kite jadi putih?"
Wanita yang kutanya tertawa. "Hm... mungkin! Tapi... saya memang sudah dari lahir berkulit putih, Bu! Jadi alasannya ya itu tadi, saya nggak mau kulit saya kemerahan karena kena panas matahari."
Kuamati wajah dan tubuh wanita di hadapanku. Betul, kulit tubuh dan wajahnya sama putihnya. Tapi jika di televisi wanita itu bisa putih karena krim ini, pastinya wanita ini pun juga bisa tetap putih karena krim itu.
"Nah, sudah deh!" sentuhan ringan terakhir dilakukan jarinya di kedua pipi putriku.
Anis mengambil kaca yang tergeletak di dekat kaki wanita itu. Alisnya bertemu, "Kok Anis tak nampak putih macam Kakak? Anis kan sudah pakai krim ini juga? Orang di tivi itu cakap, siapa saje yang pakai krim ini katanya bisa putih seperti wanita di tivi itu. Seperti Kakak juga!"
"Hush!" kututup mulut Anis dengan jari tanganku yang merapat. "Engkau tu ha, sudah diberi, pun! Cakap lah, terima kasih!"
Wanita itu tertawa. "Yang di iklan itu, orangnya memang sudah putih! Kakak juga aslinya memang sudah berkulit putih dari lahir."
"Tapi karena krim ini tak, kulit kamu jadi tetap putih? Macam aku, berkulit putih pun tapi tiap hari dibawa melaut. Pasti lah tak seputih kulit engkau!" aku tertawa berujar. Rasanya apapun itu, krim itu memang punya kemampuan istimewa.
Anis mengambil botol krim pemutih yang masih hanya mampu kulihat. "Mahal Kak, krim macam ini?"
"Eh, Anis, tak patut kau pegang!" ku ambil dengan cepat dan kuletakkan lagi di dekat kaki wanita itu.
"Nggak apa-apa, Bu," ditatapnya ramah mataku yang kubaca sebagai pertanda memang ia tidak mempermasalahkan ulah putriku.
"Uhm... harganya sih lumayan! Tapi... kalau kamu suka, ambil saja! Nanti biar Kakak beli lagi di Batam!" disodorkannya krim itu ke arah Anis.
Hatiku melonjak riang. Milik Anis, bukankah berarti milikku juga?
"Buat saye, Kak? Asyik... Terima kasih, Kak!" Anis menggenggam erat botol merah muda itu. Tak apa, botol itu diberikan untuk Anis. Karena pasti, nanti akan kupegang juga nanti!
**
Anis masih sekolah. Anak satu-satunya yang masih kukeluarkan dari rahimku itu sekolah SD kelas 3 di Pulau Ngenang, seberang Pulau Air Mas tempatku tinggal. Kupastikan saat matahari mampu memanaskan ubun-ubun kepala, ia baru akan pulang bersampan.
Inilah kesempatanku sekarang menggila dengan krim pemutih itu. Telah kutahan hasratku saat hanya bisa melihat Anis yang pagi ini lebih ingin merasa cantik karena telah mendapat sebuah krim pemutih. Juga telah kuredam keinginanku hingga waktu tak bisa lagi diucap pagi, usai melepas kepergian si wanita pembawa keberuntungan, begitu aku menamainya sekarang usai kejadian serah terima krim pemutih itu pada Anis. Dan penolakanku terhadap suamiku yang tadi melaut dengan alasan melepas kepergian wanita pencari berita itu dan kawannya, kuyakini, tak salah pasti.
Karena kini aku hanya ingin berdua dengan krim pemutih itu. Benar-benar menyentuh botolnya, menuangkan krimnya ke tanganku, dan mengolesinya di wajah legamku.
Kuterawang botol tak tembus pandang itu ke arah cahaya terang. Isinya terlihat masih banyak dalam samar. Berarti, bisa beberapa hari krim ini aku pakai dengan Anis. Dan rasanya, mimpiku bisa seperti wanita yang ada di televisi itu dapat menjadi sungguhan.
Detak jantungku tiba-tiba menderu. Krim pemutih yang biasanya hanya bisa kulihat pada kotak canggih berwarna warni dengan tampilan penuh gerak-gerik itu, kini sungguh nyata ada di tanganku. Oh Gayah... Oh Munah... tiba-tiba kuingat para wanita seusiaku yang dulu terbilang menjadi bunga laut di lingkungan suku laut tempat kami berkelompok kajang. Aku yakin, setelah ini kalian pasti tertakjub-takjub melihat perubahan molekku.
Pikiranku lalu melayang pada Amad, kekasih satu-satunya yang kupunya saat ini. Tentu, aku ingin ia melihat perubahanku. Paling tidak, melihatnya menatapku tajam terpesona seperti saat perkenalan aku dan dia di kajang milik keluarga kami masing-masing, yang masih kami naiki terpisah. Tatapan serupa yang ingin kulihat dari matanya, semoga seperti pria yang terpukau oleh wanita pemikat hatinya yang ada pada iklan di televisi.
Sambil pikiranku yang berjalan-jalan di reka kejadian antah berantah, kupoleskan wajahku dengan krim merah muda dari botol itu. Sejuk! Ada sensasi rasa yang agak dingin sekaligus memanas di wajahku. Pasti, inilah proses saat kulit hitamku makin menipis. Keyakinanku kucoba buktikan dalam pantulan cermin. Masih hitam memang. Tapi wajahku terlihat lebih cerah. Terpancang di pantulan wajahku sendiri, aku yakin, cermin ini mulai sekarang akan jadi saksi makin memutihnya kulit wajahku.
Selesai. Saat hendak beranjak, sebuah pikiran lain membuatku kembali melirik botol krim pemutih. Lalu ganti kutatap tanganku. Ah ya, kenapa juga tak kucoba krim itu untuk kulit tanganku yang legam? Tentu, makin sempurna kecantikanku nanti seperti wanita yang ada di televisi, juga halnya dengan wanita si pembawa keberuntungan.
Tanganku menggila, mengoles di sana sini bagian dari tangan cokelat pekatku. Ide lain bersusulan. Rasanya kakiku bisa iri jika aku hanya menyentuh kecantikan itu untuk wajah dan tanganku saja.
Aroma harum menguar dari sekujur tubuhku. Wanginya lebih merebak jika dibandingkan dengan sabun wangi yang selalu jadi andalanku. Kupandangi sinaran terang matahari yang memantulkan segala penjuru biru dari langit dan laut. Sekarang, tubuhku siap engkau sentuh, wahai matahari!
***
Anis pulang dari sekolah, usai begitu menggesa ia mengayuh sampan kecilnya menuju rumah kayu tepi lautnya. Tujuannya terpaut pada sebotol krim pemutih warisan kakak putih cantik yang jadi tamu rumahnya semalam.
Sampai di kamar, Anis kebingungan. Botol yang ingin ia sentuh isi krimnya itu jadi terasa ringan. Diterawangnya. Dan Anis terkejut ketika botol itu jadi berisi setengahnya saja. Padahal ketika sebelum berangkat sekolah, ia yakin, hampir seleher botol isi krimnya.
Suara Anis yang hendak berteriak memanggil mamaknya untuk meminta jawab, terkumpul di ruang sekat tenggorokan. Pada seberang kamar, melalui jendelanya, ia mengerutkan dahi kala melihat mamak yang dicarinya sedang duduk di tepi pelantar. Tanpa kegiatan, hanya duduk bersantai tiada peneduh.
Anis menggerakkan kakinya dengan cepat menuju mamaknya. Ada dua penasaran yang kini makin menguat untuk bertanya pada sang mamak. Rasa penasaran terhadap berat botol yang jadi ringan, dan mengapa mamaknya bersikap tak biasa di tengah siang hari yang sedang menjerik terik.
Kurang lima ayunan lagi langkah Anis mendekati mamaknya. Namun ada aroma khas yang baru dikenalnya semalam, menyapa lebih dulu. Seketika Anis langsung tahu dua jawaban dari pertanyaannya.