Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sepatu Secantik Kakiku

11 Desember 2011   11:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:31 94 0
Kuliah pagi ini dimulai pukul 08.30 WIB. Aku masih punya satu jam lagi untuk berbenah-benah dan merias diri. Hari ini ada kelas public speaking. Buku-buku yang akan aku gunakan nanti sudah aku siapkan. Mata kuliah ini sangat sesuai denganku. Aku pandai berbicara, setidaknya untuk bekas-bekas pacarku yang dulu. Aku bukanlah wanita yang suka bermain cinta, tapi saat mereka mempermainkan aku, akupun tidak bisa tinggal diam. Aku selalu membuktikan pada mereka bahwa aku bisa mendapatkan yang lebih baik dari mereka. Sebagian besar mantan pacarku memuji kakiku yang jenjang. Mereka berpendapat bahwa sepatu apa pun yang aku gunakan, pasti akan terlihat cantik di kakiku. Bukannya bermaksud sombong, tetapi aku memang menarik. Setiap aku pergi ke suatu tempat, aku selalu mempertimbangkan sepatu mana yang cocok untuk lokasi dan acara tersebut. Minggu lalu contohnya, saat aku diundang ke acara ulang tahun seorang teman lama. Aku menggunakan high heels berwarna ungu lembut yang dihiasi pita kecil berwarna kuning di samping luarnya. Bagi beberapa orang, sepatu itu tidak menarik. Penjualnya sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa sepatu itu kurang laku dijual karena warnanya tidak netral. Dia juga menambahkan bahwa sangat sulit menemukan pakaian yang sepadan dengan warna sepatu itu. Aku yang merasa memiliki kelebihan di kakiku ini segera membelinya. Sedikit mahal untuk sepatu yang kurang laku, tetapi egoku mengatakan aku harus melakukan ini. Tertantang untuk membuktikan pada dunia bahwa ini sepatu yang bagus, aku menggunakannya pada acara tersebut. Hasilnya, mereka semua berdecak kagum memandang kakiku dengan sepatu manis itu. Aku tidak menyalahkan mereka, aku memang menarik, begitu juga dengan sepatu ini. Hadiah ulang tahun yang aku terima pasti tidak jauh-jauh dari sepatu dan aksesorisnya. Mantan-mantan pacarku suka memberikan sepatu sebagai tanda perdamaian. Saat kami bertengkar, aku pasti diajak ke toko sepatu. Aku diijinkan memilih sepasang sepatu dan mereka akan membelikannya untukku. Memang aku penyuka sepatu dan merasa pantas diperlakukan seperti itu. Aku memiliki ruangan khusus untuk semua koleksi sepatuku. Mereka tertata dengan baik sesuai dengan warna dan tingginya. Beberapa sepatu dibeli dengan mahal dan beberapa kudapatkan saat ada big sale. Aku penyuka sepatu dan sahabat-sahabatku mengetahui itu. Kadang kala mereka dengan sengaja memberi aku sepatu dengan warna yang belum aku miliki. Ah tiga puluh menit lagi kelas dimulai, aku harus segera bergegas. Aku sudah terlihat cantik sekarang dan harus bergegas. Segera kukenakan sepatuku dan aku berlari menuju ke dekat pertigaan, tempat aku menunggu angkutan umum. Aku beruntung, sebuah angkutan umum berhenti di depanku.  Tepat waktu, pikirku. Aku tersenyum pada bapak-ibu yang ada di angkutan itu,dan mereka menyambut senyumku tanpa henti. Aneh tapi nyata. Sesampainya di kampus, aku segera berlari menuju ke kelas tanpa menghiraukan orang-orang yang memperhatikanku. Mereka pasti memandang aku aneh karena berlari-larian di lorong, tapi aku tidak peduli. Aku tidak mau terlambat. Pelajaran ini penting buatku. Aku tidak mau dibilang tukang terlambat. Aku masuk kelas dengan terengah-engah. Sambil berusaha bernafas, aku melenggang dengan tenang. Segera kusapa para siswaku. Sebagai seorang dosen public speaking, aku sangat memperhatikan penampilanku. “Selamat pagi semua,” sapaku sambil berusaha bernafas dengan normal. “Pagi, Bu,” jawab mereka sambil tersenyum-senyum. Aku tahu situasi ini tidak enak dilihat karena mereka melihat dosen mereka dalam keadaan sedikit kacau. Dosen yang selalu mengajarkan tentang pentingnya penampilan, saat ini sedang membenahi rambutnya yang berantakan karena berlarian di pintu gerbang dan lorong tadi. Aku harus menguasai diriku. Aku tidak boleh terpengaruh dengan situasi yang tidak menyenangkan ini. “Baiklah, kita mulai saja kelas ini.” “Bu . . ." Sony, salah satu siswa yang agak bandel di kelasku mengangkat tangannya, menarik perhatianku. Dia selalu melontarkan gurauan-gurauan yang bagiku tidak menarik. Dia juga selalu berusaha mencari celah untuk menggoda dan mencari kesalahanku. “Ya, Sony?” “Umm . . . Bu, bolehkah seseorang bertanya apabila dia melihat sesuatu yang menurutnya tidak benar?” Oke, jadi sekarang dia ingin mencela penampilanku yang berantakan ini. Dasar perhitungan. Aku tahu pasti dia ingin balas dendam karena minggu lalu aku menegurnya. Dia datang dengan celana jeans belel yang menurutku tidak pantas digunakan di lingkungan perkuliahan. “Tentu saja boleh, Sony. Ada apa?” “Bu, apakah sepatu yang berbeda warna sedang menjadi trend saat ini?” Seketika terdengar tawa bergemuruh di kelas pagi ini. Sontak kulihat kedua kakiku yang indah itu. Astaga! Pantas saja semua orang memperhatikanku. Pantas saja orang yang duduk di angkutan umum tadi tersenyum-senyum melihatku. Pantas saja anak-anak terlihat bingung saat melihatku memasuki ruang kelas tadi. Aku menggunakan dua sepatu yang berbeda warna. Aku merasa malu dan bodoh. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu harus berlari atau melanjutkan perkuliahan. Aku berdiri mematung sambil berharap bahwa ini hanya mimpi di siang bolong.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun