Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Antara Air, Matahari, dan Angin

9 Maret 2011   01:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:57 216 1

Pagi hari yang sejuk di pinggir sungai, matahari mulai memperlihatkan kegagahannya dengan memamerkan pancaran sinarnya, perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit mengintip bumi sampai akhirnya menampakkan wajahnya. Air yang menghuni sungai pun tak mau kalah, ia mendendangkan irama merdu dengan gemericiknya, membuai rumput, tanah, burung, ikan, dan makhluk lainnya dengan alunan syahdu, membuat suasana pagi semakin romantis. Semilir angin membelai dedaunan, membuat rumput-rumput tak kuasa untuk tidak menari dan bunga-bunga menebarkan pesonanya.

“Matahari sombong, tahukah kamu bahwa semua makhluk di bumi ini membutuhkanku, hidup mati mereka ada di tanganku. Tanpa kehadiranku, mana mungkin ikan bisa menghembuskan napasnya. Tanpa aku, mana mungkin tumbuhan bisa bertahan hidup. Tanpa aku, mana mungkin manusia bisa terbebas dari haus dan dahaga. Tanpa aku, mana mungkin pelangi bisa menghiasi langit. Aliranku pun melantunkan irama merdu. Sedangkan kamu?” Air memulai pembicaraan.

“Hai air, janganlah kamu tinggi hati dengan kelebihanmu itu. Perlu kamu tahu, pancaran sinarku menyirnakan kegelapan di bumi, kedatangan dan kepulanganku melahirkan keindahan yang selalu dinanti oleh manusia, pergerakanku menjadi petunjuk waktu. Tanpa sinarku, mana mungkin daun bisa berfotosintesis. Tanpa pancaranku, mana mungkin bunga bisa bermekaran. Tanpa aku, mana mungkin pelangi bisa menebarkan pesonanya.” jawab matahari tak mau kalah.

“Tapi, sengatan sinarmu bisa membuat sungai tempatku bernaung menjadi kering kerontang, kehadiranmu membuat manusia selalu mencariku, amarahmu sebabkan kekeringan, kelaparan, dan bencana.” Air mempertahankan diri.

“Apa bedanya dengan kamu? Apakah kamu tidak sadar dengan perbuatanmu? Karena amarahmu, manusia menjadi sengsara karena harus kehilangan tempat tinggalnya. Karena kesombonganmu, petani harus membayar mahal atas kegagalan panennya. Karena keinginanmu memamerkan kekuatan, tanah dan pohon harus bekerja keras untuk menyerapmu. Dan hanya akulah yang bisa mengatasinya, pancaran sinarku bisa mengurangi genanganmu yang menyusahkan semua makhluk. Bukalah matamu lebar-lebar!” Matahari mulai naik darah.

Angin pun berhembus menghampiri mereka, menyapa matahari dan air dengan ramah.

“Matahari yang gagah dan air yang lincah, apakah kalian tidak malu dengan langit? Dia menjadi tempat bersandar bintang, bulan, pelangi, awan, dan juga engkau matahari. Tidak malukah kalian dengan tanah? Setiap saat, dia menjadi tempat berpijak manusia, tumbuhan, dan binatang serta harus bekerja keras menyerapmu kala engkau memamerkan kekuatanmu, wahai air. Dan apakah pernah mereka membicarakannya? Lalu untuk apa kalian memamerkan kelebihan dan saling menyalahkan? Bukankah makhluk lain sudah mengetahui dan mengakui keberadaan serta kelebihan kalian itu? Tindakan kalian sudah menunjukkan semua itu, jadi tidak perlu lagi kalian bicarakan. Kalian memang hebat dan indah. Tapi kehebatan dan keindahan itu jangan membuat kalian meremehkan peran makhluk lain.” Angin menengahi keduanya dan setelah itu pergi meninggalkan matahari dan air yang menunduk malu.

Sadar atau tidak, manusia sering menyombongkan dirinya, meremehkan peran orang lain, serta memamerkan kelebihan dan apa yang telah dilakukannya. Padahal, orang yang luar biasa adalah orang yang sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. Dan ingatlah, bahwa di atas langit masih ada langit.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun