Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop Artikel Utama

Selamat Datang Kapal Perang Eks-Brunei Darussalam

11 Juli 2014   15:17 Diperbarui: 4 April 2017   16:19 4778 0

Di tengah suasana ramai Pilpres 2014 di negara kita, TNI Angkatan Laut akan memperoleh tambahan tiga kapal perang yang sudah dilengkapi dengan beberapa jenis persenjataan dan fasilitas perang lainnya. Selain menambah kekuatan armada, ketiga kapal perang tambahan itu tentu diharapkan akan membuat kebanggaan bagi para prajurit TNI Angkatan Laut seperti bangganya mereka dengan keberadaan KRI-KRI terbaru kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach) milik TNI Angkatan Laut.

Tapi persoalannya, ketiga kapal perang yang akan datang itu merupakan kapal eks Tentara Laut Diraja Brunei Darussalam yang sudah 10 tahun ini belum dioperasionalkan. Negara yang dipimpin Sultan Hasanal Bolkiah tentu punya alasan kuat, kenapa tiga kapal perang yang dipesannya dari Inggris itu batal dibelinya dan akhirnya tidak dioperasionalkan. Konon kabarnya spesifikasi kapal-kapal perang yang mampu melaju 30 knot/jam itu tidak sesuai yang diharapkan oleh Pemerintah Kerajaan Brunei Darussalam.

Ketiga kapal perang tipe multirole light frigate yang dibangun di galangan kapal BAE System Naval Ships Skotlandia tahun 2001 masing-masing diberi nama KDB Nakhoda Ragam-28, KDB Bendahara Sakam-29, dan KDB Jerambak-30. Ketiga kapal perang itu merupakan prototype yang lebih kecil dari kapal-kapal frigate Malaysia tipe KD Lekiu. Selama 10 tahun kapal-kapal perang itu teronggok di Glasgow, Skotlandia. Sebelumnya, kapal pertama telah dilakukan tes laut pada Desember 2003, kapal kedua Mei 2004, dan kapal ketiga Oktober 2004. Setelah dibeli oleh Pemerintah Indonesia, ketiga kapal itu berubah nama menjadi KRI Bung Tomo-357, KRI John Lie-358, dan KRI Usman Harun-359.

Meski awalnya menolak, Pemerintah Kerajaan Brunei Darussalam akhirnya terpaksa harus membayar kapal perang itu seharga 600 juta poundsterling yang kemudian ketiganya dibeli oleh Pemerintah Indonesia senilai 380 juta dolar AS (sekitar Rp4,18 triliun jika kurs dolar AS Rp11.000). Rencana pembelian ketiga kapal perang itu semula juga tidak disetujui oleh kalangan Komisi I DPR RI.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, ketiga kapal perang itu segera tiba di Indonesia. Lantas apa yang harus dilakukan oleh TNI Angkatan Laut, sehingga kapal-kapal perang itu mampu menjaga dan mengamankan perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Jangan sampai kapal-kapal perang itu justru membebani anggaran pemerintah. Apalagi jika saat dioperasionalkan, ketiga kapal perang itu menemui kendala dan menjadi bahan “tertawaan” negara-negara tetangga yang selama ini memang sinis terhadap kita.

Seharusnya penolakan oleh negara-negara yang pernah ditawari oleh Brunei Darussalam untuk membeli ketiga kapal perang tersebut menjadi isyarat bagi pemerintah kita dan TNI Angkatan Laut. Penolakan untuk membeli ketiga kapal perang Tentara Laut Diraja Brunei Darussalam oleh beberapa negara itu dapat dipastikan karena “ada apa-apanya”.

Karena itu wajar jika kemudian di dalam negeri kita muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai pengadaan tiga kapal perang eks Brunei Darussalam itu oleh pemerintah. Dilihat dari teknologinya saja, jelas ketiga kapal itu  tidak lebih unggul dengan kapal perang kelas SIGMA milik TNI Angkatan Laut.

Dibandingkan dengan empat kapal perang korvet kelas SIGMA yang kita beli beberapa tahun lalu senilai 680 juta dolar AS atau 170 juta dolar AS/kapal perang, benarkah harga pembelian ketiga kapal perang eks Brunei Darussalam sebesar 380 juta dolar AS itu murah? Mana yang lebih baik membeli kapal perang benar-benar baru kelas SIGMA atau membeli kapal perang yang sudah 10 tahun belum dioperasionalkan? Karena selisih harga antara kapal perang kelas SIGMA dengan kapal perang multirole light frigate eks Brunei Darussalam tidaklah besar.

Sebagaimana kisah kapal-kapal perang eks Jerman Timur yang kala itu harganya berkisar 10 hingga 12 juta dolar AS/kapal perang, namun setelah direhab total ke-39 kapal perang itu menghabiskan biaya sebesar 1,2 miliar dolar AS atau rata-rata sekitar 30 juta dolar AS/kapal perang.

Jika persoalan-persoalan seperti itu terulang dan terulang kembali, dapat dipastikan akan membebani para generasi mendatang.

Dengan anggaran sebesar 380 juta dolar AS belum termasuk untuk perbaikan-perbaikan ketiga kapal perang itu tentu anggaran akan membengkak. Untuk itu perlunya Kemhan RI menjaga penggunaan anggaran secara efisien dan bersih, karena bagaimanapun juga  biaya-biaya itu akan menyedot anggaran TNI Angkatan Laut khususnya dan APBN secara menyeluruh.

Selain itu, pengalaman masa lalu yang dilakukan Inggris terhadap kita terkait pembelian tank Scorpion dan panser TNI Angkatan Darat dan beberapa pesawat tempur TNI Angkatan Udara juga harus sudah jadi bahan pemikiran pemerintah kita. Jangan sampai kapal-kapal eks Brunei Darussalam yang dibangun di Inggris itu akan memunculkan masalah baru.

Tapi biar bagaimanapun kehadiran ketiga kapal perang yang akan memperkuat armada TNI Angkatan Laut harus jadi pemacu semangat para prajurit TNI Angkatan Laut, khususnya para prajurit yang bertugas di kapal perang tersebut, sehingga seluruh wilayah perairan laut di Indonesia akan aman.

Apalagi ketiga kapal perang eks Brunei Darussalam itu sudah dilengkapi sensor radar dan avionik buatan Thales, Perancis; satu pucuk meriam 76 Mm, dua pucuk meriam penangkis serangan udara 30 Mm, torpedo, rudal permukaan udara Sea Wolf, dan rudal Exocet MM40 Block II dengan jangkauan 180 Km, serta hanggar helikopter anti-kapal selam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun