Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Indonesia-Malaysia: Memandang Indonesia dari Seberang, Ternyata Kita Tidaklah Begitu Berbeda

3 September 2010   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:29 1317 0
Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Memenuhi janji pada diri sendiri semalam untuk menyambung tulisan saya sebelumnya http://regional.kompasiana.com/2010/09/03/indonesia-malaysia-memandang-indonesia-dari-seberang/, saya akan coba melanjutkan membagi pengamatan sederhana saya mengenai bangsa dan Negara Malaysia dan dinamika hubungannya dengan Indonesia dari kacamata seorang Indonesia yang kebetulan sedang melancong di Malaysia.

Panasnya Indonesia, Ademnya Malaysia



Dalam beberapa kali insiden dan gesekan antara Indonesia dengan Malaysia beberapa tahun terakhir ini, satu fenomena yang saya amati adalah begitu (mudah) panasnya sebagian masyarakat Indonesia dalam bersikap dan berkomentar, bahkan tak jarang dengan menggunakan kata-kata sangat kasar yang sejatinya tidak menunjukkan penghargaan pada diri sendiri. Di lain pihak, sebenarnya masyarakat Malaysia cenderung tak tahu apa yang tengah terjadi sehingga tidak terlalu peduli dan terkesan adem ayem saja, karena mereka seringkali juga tidak mengetahui tingkat kemarahan (sebagian) rakyat Indonesia. Media Malaysia yang cukup steril dan budaya masyarakat yang cenderung memang cuek akan hal-ikhwal dunia luar tadi menjadi salah satu sebabnya. Jadi, di luar rasa sebal sebagian masyarakat Malaysia akan kualitas sebagian pekerja Indonesia dan tindak pidana yang dilakukan 'oknum' orang Indonesia, sejatinya masyarakat Malaysia tidak terusik emosinya dalam insiden-insiden tersebut dan tidak memandang Indonesia dengan rasa benci sebagaimana sebagian rakyat Indonesia yang telah tersulut emosinya memandang Malaysia.

Setiap kali ada insiden Indonesia - Malaysia, contohnya Manohara, tuduhan pencurian budaya, dan sebagainya, saya akan menelepon kakak dan abang saya di Selangor, kadang terselip juga kekhawatiran akan keselamatan mereka, tapi mereka akan meyakinkan saya bahwa mereka alhamdulillaah baik-baik saja dan masyarakat Malaysia pun adem-ayem saja seolah tak terjadi apa-apa, karena bagi mereka memang tidak ada apa-apa. Sementara sebagian kita di Indonesia sudah panas dingin saking marahnya pada Malaysia. Beberapa hari yang lalu, abang saya di Jakarta secara bercanda menanyakan, apakah saya tidak di-sweeping di Malaysia, yang tentu saja saya jawab tidak. Lagi pula, bagaimana aparat ataupun masyarakat Malaysia mau men-sweeping orang Indonesia? Selain ada terlalu banyak (jutaan!) orang Indonesia di Malaysia, mereka juga tengah gencar menjual pariwisatanya. Saya jadi mulai khawatir, apakah justru sweeping terhadap orang Malaysia di Indonesia tengah, atau akan terjadi? Dan jika itu berlaku, bisa dibayangkan bagaimana dampaknya? Jika kita berada di Malaysia, tampang-tampang yang kita lihat adalah tampang Melayu, China, India dan tampang eksotis lainnya. Jumlahnya hampir sama rata. Tampang-tampang yang juga lazim kita temui di Indonesia. Bagaimana kita mau men-sweeping mereka satu demi satu? Dan untuk apa? Untuk ditakut-takuti? Dibentak? Atau bahkan dikerasi secara fisik? Demi tujuan apa? Will it serve a greater good? Apakah ada tujuan mulia di sebalik tindakan semacam itu? (Sahabat saya seorang Malaysia yang mendengar cerita saya jadi agak takut untuk berkunjung ke Jakarta, sedangkan saya sudah berkali-kali mengundangnya. Saya pun mencoba meyakinkannya, bahwa dia tidak akan dikira orang Malaysia, dan jika sampai logat serta bahasanya keluar, saya bilang, "nanti kalau kamu dicurigai, bilang saja kamu baru datang dari kampung di Riau, hehehe. Tapi dalam hati saya jadi khawatir juga, sedangkan saya mendapat perlakuan dan sambutan luar biasa selama saya menjadi tamunya selama seminggu, bagaimana jika memang orang kita sudah segitu marahnya dengan Malaysia? Padahal kawan saya ini termasuk pengagum Indonesia).

Rakyat Malaysia dan Kecintaan Mereka akan Indonesia

Kembali ke soal ademnya rakyat Malaysia, ada hal-hal lain terkait dinamika hubungan antara rakyatnya dengan hal-hal yang berbau Indonesia. Terlepas dari kecenderungan mereka yang relatif cuek dengan sejarah bangsa dan negara mereka, rakyat Malaysia, terutama yang ras Melayu, secara umum sadar akan latar belakang mereka yang serumpun dengan Indonesia. Ini juga karena memang pemerintah Malaysia selalu mendengung-dengungkan masalah "serumpun" ini. Kemungkinan karena ras Melayu sekarang tinggal 40-50 persen, pemerintah Malaysia berkepentingan dengan isu 'serumpun' ini, karena selebihnya mereka adalah ras yang truly Asia tadi.

Mari kita mundur sejenak melihat komposisi pemerintahan Malaysia yang selama sekian puluh tahun dipegang oleh koalisi Barisan Nasional yang terdiri dari komponen besar Melayu (UMNO), Cina (MCA) dan India (MIC). Politik, sebagaimana lazimnya, selalu mengandungi banyak kepentingan. Dan tentu kita bisa membedakan antara pemerintahan (yang selalu bisa berganti) dengan rakyat (yang selalu tetap) di suatu negara. Pemerintah tidak selalu menyuarakan dan mewakili kepentingan rakyat, terutama jika banyak "oknum" dan "pejabat korup" di dalamnya. Pemerintahan Malaysia yang berada dalam status quo selama puluhan tahun ini sekilas bisa dibandingkan dengan pemerintahan Suharto, erat mencengkeram di segala lini. Jadi bisa dibayangkan, tentunya juga terjadi berbagai praktek gelap di dalamnya, tapi hal ini tidak akan saya bahas lebih lanjut di sini, karena semestinya sudah banyak ulasan lain mengenainya.

Malaysia pada dasarnya adalah negara Kerajaan dengan bentuk Federasi, terdiri dari 13 Negara Bagian (sebagian besarnya berupa Kesultanan) dan 1 Wilayah Persekutuan, semua dengan bendera negara bagiannya masing-masing. Dengan wilayah terbagi dua di Semenanjung Malaysia dan di Pulau Kalimantan (Borneo) dan jumlah penduduk yang hanya sekitar 1/10 jumlah penduduk Indonesia, barangkali memang relatif lebih mudah bagi sebuah koalisi partai dan pemerintahan yang berkuasa untuk mengontrol segala sesuatunya. Kebijakan hak khusus bagi ras Melayu setelah berjalan sekian tahun nampak mulai keropos. Segala kemudahan yang dinikmati ras Melayu, seperti tingkat bunga cicilan yang lebih rendah dalam pembelian tanah, rumah dan mobil ketimbang yang didapat ras Cina dan India, serta prioritas pemenangan tender proyek-proyek besar terhadap perusahaan Melayu, menimbulkan ketidakpuasan di kalangan non-bumiputera, dan juga praktek korupsi. Lazim terdengar perusahaan-perusahaan Melayu (yang ditengarai adalah perusahaan milik orang-orang UMNO/Barnas yang telah mendapat tender, kemudian meng-subkontrak-kannya kembali ke pada perusahaan Cina dan atau India. Ada yang kembali menunjuk mental ras Melayu yang pemalas sebagai puncanya, dan segala hak khusus tersebut telah memanjakan ras Melayu sehingga semakin kehilangan etos kerja yang tinggi. Namun, sekali lagi, sebuah pemerintahan yang telah begitu lama berkuasa memang tak terelakkan pada akhirnya memiliki kuasa tunggal untuk meredam suara-suara yang tidak puas atau pun yang mempertanyakan berbagai kebijakan dan korupsi yang dilakukan, selain karena juga suara-suara itu jumlahnya sedikit, tidak bersatu dan gampang ditekan. Akibatnya rakyat Malaysia kembali terlena, terninabobokan dalam alunan yang selalu diperdengarkan pemerintah Malaysia, bahwa "Malaysia Boleh"!, dengan segala pencapaian dan keberhasilan yang patut dibanggakan.

Kembali ke soal cintanya masyarakat Malaysia terhadap hal-hal yang berbau Indonesia, salah satunya adalah dari segi musik. Lagu-lagu Indonesia dan band-band/para penyanyi Indonesia sangat sangat populer di sana, hingga artis-artis Malaysia pun merasa terancam eksistensinya. Dan sebagaimana halnya Ipin & Upin telah mempengaruhi gaya bertutur anak-anak Indonesia, rakyat Malaysia sudah pula menggunakan kata "banget", "deh", dan kata-kata bahasa Indonesia lainnya. Jutaan rakyat Indonesia yang membanting tulang di Malaysia pun sangat mungkin menjadi salah satu sebab semakin lazimnya penggunaan bahasa Indonesia di Malaysia. Saya mencoba bertutur dalam bahasa Malaysia (meskipun saya bisa bercakap Melayu sesuai bahasa kampung orangtua saya, namun bahasa Malaysia saya sangatlah teruk!) dan jika mendapati lawan bicara saya kebingungan, saya akan mencoba menggunakan bahasa Inggris (karena saya pikir setelah penjajahan Inggris, mestilah Bahasa Inggris menjadi semacam bahasa kedua atau bahasa resmi mereka, seperti di India, namun ternyata betapa salahnya saya. Soal bahasa ini mungkin akan saya tuangkan dalam tulisan lain) namun mereka tetap tak mengerti. Kakak saya pun selalu mengatakan pada saya, "di sini pakai bahasa Indonesia saja, semua mengerti kok."

Rakyat Malaysia yang juga hobi berbelanja sangat suka berbelanja, termasuk berbelanja di Indonesia. Mereka akan berbelanja di Bukit Tinggi, Bandung dan sebagainya, dan menjualnya lagi di Malaysia, baik secara partai besar atau kecil-kecilan. Ini kemungkinan karena mereka sendiri tidak memiliki kebudayaan mencipta atau berkreasi sebagaimana bangsa Indonesia. Saya secara bercanda kadang berpikir hal tersebut karena nenek moyang mereka yang datang dari Nusantara adalah kaum perantau, penjelajah, dan mungkin tidak sempat terpikir untuk membawa para seniman atau perupa bersama mereka. Kalau kita lihat bangsa kita, Bali memiliki jiwa seni yang seolah-olah tak habis-habisnya untuk selalu mencipta berbagai kreasi dan produksi. Jepara dengan ukirannya, dan berbagai daerah lain dengan tarian, patung, tenunan dan sebagainya. Tidak bisa dihindarkan bahwa masyarakat dari wilayah yang berdekatan dalam periode ribuan atau ratusan tahun akan saling meminjam budaya masing-masing dan membawanya bersama mereka dan setelah melewati sekian generasi maka budaya itu akan mantap menjadi budaya mereka. Bagaimana pun negara Indonesia baru terbentuk 65 tahun yang lalu meskipun mungkin cikal bakal bangsa Indonesia sudah dimaklumkan sejak tahun 1928. Sehingga berbagai budaya Nusantara yang terbawa dan tersebar sebelumnya tidak mustahil telah pula menjadi budaya di suatu negara lain.

Batik Indonesia misalnya. Terlepas dari kemungkinan adanya kekhawatiran bahwa ada perancang motif untuk perusahaan tekstil di Malaysia yang dapat mencuri motif dari Indonesia (namun hal ini tentu perlu pembuktian otentik dan saya tidak tahu bagaimana cara membuktikannya kecuali barangkai pakar batik sekelas alm. Iwan Tirta yang harus turun tangan), pada dasarnya batik Malaysia yang saya perhatikan memiliki ciri khas yang sangat mudah membedakannya dengan batik Indonesia. Kelantan dan Trengganu adalah dua negara yang memproduksi batik Malaysia dan motif batik di Malaysia cenderung berupa bunga dan pola daun atau tanaman, serta motif-motif besar yang agak renggang, kurang halus dan kurang detil. Warnanya pun cenderung agak datar. Bandingkan dengan batik Indonesia yang motifnya sangat kaya, sangat rapat dan sangat detil dengan warna-warna yang luar biasa. Kain Songket pun Malaysia punya, tapi tentunya bisa dibedakan dengan kain songket Indonesia. Indonesia bolehlah berbangga hati bahwa setelah melalui proses pengajuan ke UNESCO oleh pemerintah kita, akhirnya Indonesian Batik diakui sebagai World Cultural Heritage 2009. Tapi pengakuan terhadap Indonesian Batik alias Batik Indonesia juga secara tidak langsung mengakui adanya batik-batik dari negara lain, termasuklah Batik Malaysia, dan atau dengan sebutan lain di negara lain, yang tentunya tetap saling berbeda karakteristiknya.

Terlebih di negara saling berbatasan, seringkali pertukaran budaya juga terjadi melalui pernikahan dan pergaulan. Contohnya, di Negara Bagian Kedah di Malaysia yang berbatasan darat langsung dengan Thailand, banyak masyarakat di Kedah dan di Thailand yang saling bersaudara. Saya bertemu seorang kawan baru orang Malaysia yang memiliki darah campuran dari berbagai ras, termasuklah salah satu orangtuanya berasal dari wilayah Songkh La, sebuah kota pantai di Thailand selatan, yang mana kaum kerabatnya pun masih bercakap dalam bahasa Thai dan masih selalu berkunjung ke kampung asal nenek moyangnya di Thai, dan sebaliknya. Sebuah penelitian terbaru mengenai sejarah Kedah juga menyiratkan bahwa dahulunya kemungkinan Kedah adalah bagian dari Kerajaan Siam (yang berbeda dengan kerajaan Thailand). Artinya memang bangsa Malaysia benar-benar terdiri dari beraneka bangsa dan ras. Sangat mirip dengan Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Kalau kita mau menilik sejarah kita masing-masing pun bisa jadi banyak dari kita sebenarnya adalah perpaduan berbagai ras dan bangsa. Generasi seangkatan saya di Indonesia sering kali sudah tak mampu lagi menyatakan bahwa dirinya adalah murni dari suku X atau Y karena pernikahan yang dilakukan buyut atau kakek/nenek kami pun sudah antar-suku.

Satu lagi kesukaan rakyat Malaysia adalah sinetron Indonesia. Saya salah satu yang kurang menikmati sinetron Indonesia tapi saya tahu sangat banyak penggemarnya di Indonesia. Namun ternyata saya juga baru tahu bahwa rakyat Malaysia pun ternyata sangat gemar akan sinetron Indonesia dan bintang-bintangnya. Kakak saya menceritakan kisah kawannya, seorang perempuan pedagang, yang sangat tergila-gila akan sebuah sinetron yang dibintangi Baim Wong dan sampai memohon-mohon untuk mencarikan DVD bajakannya di Indonesia (yang terpaksa tak dapat dipenuhi oleh kakak saya, karena memang belum pernah menjumpai DVD bajakan sinetron. Mungkin ada yang tertarik untuk memulai usaha ini? Bisa jadi telah ada sebuah pangsa pasar di Malaysia yang meminati DVD bajakan sinetron. Bisa dibayangkan perlu berapa puluh keping DVD untuk satu judul sinetron saja, apalagi yang sudah diputar bertahun-tahun?). Seorang tetangga asal Pulau Pinang berusia paruh baya (baca: ibu-ibu), begitu mengetahui saya orang Indonesia langsung berapi-api menceritakan kesukaannya menonton sinetron Indonesia. Dan sinetron Indonesia diputar di sini pagi siang sore hingga malam. Saya tak punya cukup penghargaan untuk sebagian besar sinetron Indonesia tapi saya bersyukur Para Pencari Tuhan juga diputar di sini. Bisa dibayangkan betapa besar pengaruh sinetron sebagai "duta bangsa dan negara"? Bukan hanya dari segi bahasa saja (seperti saya ceritakan di atas, bahasa Indonesia sudah sangat diterima di Malaysia, selain memang karena kedua bahasa ini tak berbeda jauh) tapi juga nilai-nilai dan aspek budaya lain.

Kita sebenarnya sangat mampu mempengaruhi persepsi bangsa lain, seperti Malaysia, dengan apa yang kita "ekspor" ke mereka: lagu, sinetron, artis, pekerja, produk pakaian dan jualan lainnya. Seandainya kita selalu membuat dan menyajikan yang baik, tentulah pandangan mereka juga akan baik. Seandainya kita selalu mengirim pekerja-pekerja yang terlatih, cakap dan rajin, tentulah mereka tidak akan mengganggap orang kita rendah. Seandainya kita memproduksi sinetron yang tidak sekedar menjual tangisan, airmata, sumpah serapah dan takhyul, melainkan penuh nasihat kebaikan seperti Ipin & Upin, serta rajin menyisipkan nilai-nilai budaya dan produk-produk seni budaya kita, tentulah mereka akan menganggap kita bangsa yang berbudaya tinggi. Setahu saya, para pelajar Indonesia yang mendapat beasiswa (saya kurang tahu dengan yang ke luar negeri dengan biaya sendiri) ke luar negeri selalu dipesankan bahwa mereka adalah duta bangsa yang mana semua tindakannya akan membawa nama negara, mengharumkan atau merusakkannya. Mungkin ini juga perlu dipesankan kepada para pekerja yang akan kita kirim ke luar, melalui Depnaker/Deplu bekerja sama dengan para PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia)? Atau memang sudah? Memang hal semacam ini tanpa diucapkan pun seharusnya sudah dapat diketahui sendiri oleh akal sehat. Namun tak ada salahnya bagi kita untuk saling mengingatkan. Saya juga pernah membaca tulisan seseorang di Kompasiana yang mengatakan bahwa Twitter pun bisa jadi ajang diplomasi Indonesia di tingkat internasional. Ini dikarenakan trending topic di Twitter beberapa waktu terakhir hampir tiap minggunya mengandungi kata Nonton IMB dan atau artis Indonesia lainnya. Bahkan seorang artis pornografi dan keong racun juga menjadi populer ke seantero dunia berkat pengguna Twitter di Indonesia. Bayangkan jika sumber daya sebanyak itu difokuskan pada satu atau beberapa isu penting yang mengajak pada perdamaian, persatuan dan hal-hal baik lainnya? Atau untuk mempromosikan seni budaya dan hal-hal lain Indonesia ke tingkat dunia. Tentunya hal yang dipromosikan tersebut harus terpacu juga untuk mempunyai kualitas tingkat dunia atau kualitas internasional jika ingin terus eksis.

Semalam saya menonton berita di televisi Malaysia mengenai pembakaran bendera Malaysia oleh sekelompok orang di Indonesia. Hal ini membuat saya berpikir, apa kira-kira perasaan dan pemikiran orang Malaysia yang menyaksikannya? Saya nampak sekelompok orang Indonesia berwajah beringas dengan brutal membakar bendera Malaysia sambil berteriak-teriak kalap. Saya sampai merinding melihatnya. Inikah wajah bangsa kita, yang konon berbudaya adi luhung itu? Bagaimana jika sebaliknya terjadi terhadap kita? Tidakkah kita jijik? Tidakkah kita marah? Saya sampai sempat khawatir keponakan-keponakan saya yang bersekolah di sekolah negeri Malaysia (kebetulan mereka satu-satunya anak Indonesia di sekolah tersebut) mulai dicemooh kawan-kawannya, atau justru di-sweeping. Saya menjadi cemas akan keselamatan mereka. Saya menjadi cemas juga akan nasib jutaan orang Indonesia yang tengah bekerja di Malaysia ini, kaum kerabat saya termasuk di antara mereka. Tapi, ah, mungkinkah kecemasan saya akan menjadi tak beralasan, karena seperti saya nyatakan di atas, rakyat Malaysia cenderung adem ayem dan tak mudah diprovokasi? Tapi bukankah setiap kita punya batas kesabaran?

Saya tempo hari mendengar berita juga tentang Kedutaan Malaysia yang dilempari kotoran manusia oleh orang Indonesia. Sebenarnya, siapakah yang tengah menghina dirinya sendiri? Siapakah yang tengah menghina bangsanya sendiri? Mengumpulkan kotoran manusia bukanlah pekerjaan yang menyenangkan, tapi itu dilakukan seseorang (beberapa orang?) saking marahnya, merendahkan dirinya sendiri. Dan bukankah marah (yang membabi buta pelampiasannya) adalah sifat setan? Kemudian saking marahnya pula melemparkannya ke Kedutaan Malaysia. Dan siapakah kira-kira yang akhirnya terpaksa membersihkan dari najis tersebut? Siapa? Bukankah satpam dan pesuruh serta petugas kebersihan di gedung itu adalah bangsa kita sendiri, orang Indonesia? Bukankah kita telah merendahkan sesama bangsa kita sendiri karena merekalah yang akhirnya harus tertunduk-tunduk menyiram atau menyapu najis tadi? Kepuasaan macam apa yang kita dapatkan kalau begitu? Kesan macam apa yang kita tunjukkan pada dunia saat kita tak mampu menyampaikan protes, ketidakpuasan, dan ketidaksetujuan dengan cara yang elegan?

Saya jadi teringat kisah seorang yang sangat dengki dan benci dengan Rasulullah Muhammad SAW. Saking dengkinya dia seringkali melempar najis manusia kepada Nabi, sampai suatu saat ia jatuh sakit dan pada hari itu tidak membaling (melempar) najis kepada Nabi sehingga Nabi justru mencari dan menjenguknya. Saking malu dan terharunya, akhirnya orang tersebut pun meminta maaf kepada Nabi. Saya tidak mencoba membanding satu pun dari kita dengan Nabi, namun kisah pelemparan najis manusia itu tiba-tiba membuat saya teringat kisah ini. Alhamdulillah orang dalam kisah tersebut diberi hidayah oleh Allah. Mudah-mudahan kita juga diberi hidayah oleh Allah di bulan Ramadhan yang mulia ini.

Baiklah, mungkin saya sudah terlalu jauh melenceng dari sub topik. Mari kita kembali ke soal kecintaan masyarakat Malaysia terhadap hal-hal yang berbau Indonesia. Banyak trah sultan dan raja dan orang terpandang dan orang biasa di Malaysia sebenarnya memang keturunan Nusantara. Kalau tidak salah Najib Razak keturunan Gowa dan Sultan Johor keturunan Bugis. Sultan Johor ini kononnya penggemar lagu-lagu keroncong. Meskipun pun konon musik keroncong berasal dari Portugis, tapi yang jelas lagu-lagu keroncong yang dimainkan stasiun radio di Malaysia adalah lagu-lagu keroncong Indonesia. Jadi dugaan saya, jauh di dalam hati orang Malaysia, terutama yang ras Melayu, mereka merasa dekat dengan orang dan budaya Nusantara (sekarang Indonesia). Dan ini hal mendasar yang sangat baik jika Indonesia punya agenda untuk memperbaiki hubungan dengan Malaysia. Agenda yang saya maksudnya sebenarnya sederhana, yakni bagaimana Indonesia melalui berbagai jenis diplomasi bisa mengangkat harkat dan derajat serta martabat (hm, sebenarnya ketiga hal ini ada bezanya kah? ;-) ) bangsa Indonesia di mata internasional, termasuk Malaysia dan ASEAN.

Diplomasi Indonesia: Agak Terpuruk?



Ini membawa saya ke sub topik berikutnya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan diplomasi internasional kita? Saya membaca kemarahan terhadap sikap presiden kita menyangkut insiden terbaru dengan Malaysia. Namun saya duga, kemarahan ini adalah sekedar akumulasi kemarahan akan segala sikap tindak dan kebijakan presiden dan pemerintahannya. Kekesalan terhadap Malaysia mungkin telah ada bibitnya sejak pekikan Sukarno di masa silam terhadap Malaysia, namun sependek ingatan saya, ada kekesalan dan kekecewaan yang kemudian terus mengerucut semenjak kita kehilangan Sipadan-Ligitan. Saya mencoba melihat mulai dari titik ini, namun diskusi lebih mendalam mengenai permasalahan sengketa dan batas wilayah terlalu panjang untuk saya tuliskan di sini. Mungkin kapan-kapan akan saya tuliskan dalam suatu tulisan opini tersendirii.

Lepas dari berbagai fakta kasus Sipadan-Ligitan (yang cukup panjang untuk diungkap di sini), yang jelas kasus ini hampir selalu kita bawa-bawa saat ada insiden dengan Malaysia yang cukup membakar emosi publik, seperti kasus Manohara, kasus batik, kasus reog, kasus angklung, kasus tari bali, dan kini kasus DKP. Semua ini bermuara pada kata diplomasi. Saya bukan pakar soal diplomasi, tapi dari kacamata awam, bolehlah dikatakan ada berbagai jenis diplomasi, salah satunya diplomasi budaya, seperti sekilas telah saya ungkap di atas. Diplomasi lainnya tentulah diplomasi resmi di tingkat internasional yang dilakukan pemerintahan negara kita, yang ditengarai sebagian pihak telah memble dan penuh keraguan, sehingga mempermalukan Indonesia. Dan ini telah terjadi selama beberapa belas tahun terakhir.

Dahulu kita punya Mochtar Kusumaatmadja, kita punya Ali Alatas, kita punya orang-orang lain yang betul-betul berjuang di forum-forum internasional. Sekarang, hampir tak terdengar kabar-kabar semacam itu. Bahkan di tingkat ASEAN pun seolah kita tak lagi didengarkan, sedangkan dahulu kita adalah termasuk yang memimpin. Seorang atase di salah satu kedutaan Indonesia di Eropa yang saya sempat kenal dicemooh orang di belakangnya dan belakangan saya dengar tersangkut kasus korupsi. Seorang kawan yang sedang magang di markas PBB di Wina bercerita bahwa pada saat ada kunjungan rombongan menteri yang juga membawa wakil parlemen di rapat tingkat dunia di PBB, mereka malah asik pelesir dan berbelanja dan terpaksa teman saya ini yang mengerjakan segala sesuatunya, sedangkan orang-orang yang datang ke sana dengan uang rakyat dan harusnya bekerja justru tak paham substansi. Dan masih banyak kasus-kasus serupa yang saya dengar. Saya yakin, sangat banyak diplomat kita yang mumpuni, namun ternyata banyak juga diplomat kita (dan non diplomat yang namun karena tuntutan pekerjaan harus mampu berbicara di forum internasional) yang kurang berkualitas dan, yang terparah, tidak memahami substansi permasalahan yang sedang dibahas.

Kebetulan saya sempat bertemu dengan sekelompok mahasiswa jurusan Hubungan Internasional dari sebuah universitas swasta terpandang di Jakarta. Sebagian dari mereka membuat saya kagum dan penuh harap akan masa depan diplomasi Indonesia. Tapi sebagian lainnya, bisa dikatakan, menyedihkan. Satu hal saja, soal kendala bahasa. Baiklah, memang tidak ada yang mewajibkan bahwa dalam hidup kita ini kita harus mampu berbahasa Inggris. Tapi hadapi kenyataan, bahwa jika Anda berminat menjadi diplomat, setidak-tidaknya salah satu bahasa internasional atau bahasa resmi PBB haruslah Anda kuasai. Bagaimana Anda mampu berkomunikasi di tingkat internasional tanpa menguasai sebuah bahasa internasional secara baik? Hal lainnya, soal wawasan yang sangat sempit. Satu hal tentang menjadi mahasiswa, dari jurusan apapun, adalah: buka wawasan Anda seluas-luasnya. Banyaklah membaca, berdiskusi dan (sebaiknya) juga menulis. Nah, bagaimana mereka mampu menulis dengan baik jika bahasa Indonesia dan ejaan mereka saja masih amburadul? (Saya tidak mengatakan bahasa Indonesia saya sudah paling baik, tapi paling tidak saya berusaha) Ditambah, mahasiswa jaman sekarang banyak yang sangat malas menulis karya asli. Berbahasa alay boleh saja, karena toh setiap generasi punya bahasanya sendiri, namun jangan lupakan bahasa Indonesia.

Ini membuat saya sekilas teringat masa Suharto (saya belum lahir pada masa Sukarno). Terlepas dari segala dosa dan kesalahan yang dilakukannya terutama sistem korup yang ditanamkannya (yang bisa dibaca dalam berbagai tulisan dan buku), saya pikir persatuan dan kesatuan Indonesia semakin dikukuhkan dalam masa pemerintahannya. Dari Sabang sampai Merauke kita bisa menemukan orang berbahasa Indonesia, dan itu merupakan kebahagiaan tersendiri. Tapi, baiklah, cukup mengenai Suharto. Yang saya ingin tekankan adalah bahwa kita punya satu bahasa yang memang terbukti telah mempersatukan kita, alangkah sayangnya jika generasi sekarang kurang memahami dan kurang menggunakannya dengan baik. Tapi, lagi-lagi saya melenceng dari sub topik semula.

Kembali soal diplomasi, kita memang perlu lebih tegas dalam sikap kita menyuarakan aspirasi rakyat dan bangsa ini di forum Internasional. Kalau memang ada kemarahan rakyat kepada pemerintahan negara lain, ungkapkanlah dengan penuh ketegasan, dengan bahasa yang baik, dengan cara yang elegan. Pemerintah Malaysia saja mampu mengeluarkan pernyataan "mengutuk tindakan pelemparan najis di kedutaan besar Malaysia di Jakarta", mengapa pemerintah kita tidak mampu mengeluarkan pernyataan "mengutuk (condemning)" atas berbagai penganiayaaan terhadap pekerja kita di Malaysia, atau keberatan terhadap perlakuan Malaysia terhadap staf dari DKP, misalnya? Tentunya jika memang telah jelas dan benar terdapat bukti-bukti yang melecehkan harga diri kita tanpa alasan yang sepatutnya. Atau memang kita tidak punya kemampuan untuk itu, dari segi mental dan kecakapan? Bagaimana dengan sengketa perbatasan lainnya? Setahu saya titik-titik perbatasan dengan Timor Leste sudah ada beberapa ratus yang disepakati. Sebagian lain masih dibahas. Baiklah perbatasan darat dan laut Indonesia dengan Timor Leste memang tidak sepanjang perbatasan darat dan laut Indonesia dengan Malaysia. Tapi Timor Leste baru terbentuk sekitar 10 tahun yang lalu sedangkan Malaysia sudah 53 tahun yang lalu. Mengapa pemerintahan kita selama 53 tahun terakhir tidak memfokuskan diri pada kesepakatan batas wilayah dengan Malaysia, terutama yang berpotensi konflik? Saya pernah mendengar selentingan dari kawan di Kalimantan bahwa tiap tahun patok-patok perbatasan kita mundur ke dalam, artinya wilayah kita semakin kecil dan wilayah Malaysia semakin luas. Saya yakin semestinya sudah ada bagian di Kemenlu yang khusus bekerja menangani masalah perbatasan ini, tapi saya belum sempat mendapat informasi lebih jauh.

Tapi mengapa pula selalu Malaysia?

Mengapa kita seolah selalu berseteru dengan Malaysia? Padahal kita seharusnya menjadi kawan yang sangat erat dengan Malaysia? Dengan berbagai potensi yang dimiliki kedua negara, semestinya kita dapat bersekutu dengan Malaysia untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan sama-sama bisa memimpin di tingkat Internasional. Kita menuduh Malaysia ini dan itu dan melampiaskan kemarahan dengan cara-cara yang melelahkan kita sendiri. Tidakkah lebih bermanfaat jika energi kita yang banyak itu kita salurkan dengan cara-cara yang efektif untuk mencapai aspirasi kita yang sejati? Dan apa sebenarnya aspirasi kita sebagai manusia? Hidup berbahagia dengan kaum kerabat saudara mara dan hidup damai dengan tetangga. Dapat mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga dengan tenang dan aman. Dapat mengaktualisasikan diri dalam cara-cara yang baik. Lantas, kenapa kita selalu membiarkan diri kita diobrak-abrik di dalam negeri? Dan dikucar-kacirkan dalam hubungan luar negeri?

Lantas, bagaimana dengan Singapura, misalnya? Kerap terdengar selentingan Singapura mengambil pasir dari Indonesia. Apakah memang masalah perbatasan kita dengan Singapura sudah beres? Dengan bertambahnya luas daratan Singapura, bertambah juga luas perairan wilayahnya. Seandainya saja Singapura menambah luas pulaunya, dan seandainya jarak dari titik terluar Singapura dan titik terluar Indonesia yang berbatasan dengan Singapura saat ini tidak mencapai 24 mil laut, maka luas perairan teritorial kita semakin berkurang, dan batas wilayah kita semakin mundur. Siapa yang akan memastikan hal ini? Siapa yang dapat memastikan mana titik-titik wilayah Indonesia sebenarnya? Dan jika saat ini DKP tidak bisa memastikan lokasi petugasnya saat itu, bagaimanakah di masa depan? Terlebih jika memang ternyata batas itu belum pernah disepakati? Sedangkan perbatasan laut kita bukan hanya dengan Singapura dan Malaysia, tapi juga dengan negara lain. Pencurian ikan di wilayah teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia saya yakin bukan hanya terjadi di perbatasan laut Indonesia dengan Malaysia atau dengan Singapura. Justru ZEE kita yang batasnya hingga 200 mil laut itu lebih mungkin diterobos dan dicuri hasil lautnya di wilayah selatan Pulau Jawa-Bali atau barat Pulau Sumatera, atau utara Papua. Tapi siapa yang mau menjaga laut kita di sana? Mungkin berjaga-jaga di selat Malaka lebih besar kemungkinannya untuk menangkap nelayan negara lain yang kemudian kita tuduh mencuri.

Tapi bagaimana mau memastikan dan membuktikan bahwa mereka mencuri? Kalau yang ditangkap adalah nelayan kelas kakap (seperti kita lihat di film Perfect Storm) dengan kapal dan peralatan navigasi lengkap, mungkin bisa dibuktikan bahwa mereka masuk wilayah Indonesia (asal peralatan kita pun sama canggihnya). Kalau yang ditangkap hanya nelayan tradisional yang hasil tangkapannya hanya cukup untuk sehari-hari? Bagaimana membuktikan dia telah masuk wilayah laut Indonesia dengan sengaja dan mengambil ikan Indonesia? Apakah di tengah laut luas ada titik-titik atau pagar yang bisa jadi patokan? Apakah ikan Indonesia jenisnya berbeda dengan ikan Malaysia? Salah seorang sepupu saya adalah seorang nelayan tradisional yang bertiga dengan kawannya menangkap ikan dengan satu perahu tradisional. Bagaimana mereka bisa memastikan wilayah mereka jika sudah kehabisan bahan bakar dan dibawa arus ke sana-ke mari? Mereka pernah terombang-ambing di Selat Malaka selama tiga hari sebelum akhirnya ditolong sebuah kapal yang lewat yang kebetulan punya peralatan teknologi canggih sehingga bisa mengirim pesan kepada nelayan Indonesia lainnya yang kemudian menolong mereka. Apakah kapal tersebut kapal Malaysia? Wallahualam. Seandainya nelayan seperti sepupu saya yang ditangkap pihak Malaysia karena dituduh mencuri, terus terang saya tak rela. Wong hasil melaut itu tidak pasti, kadang dapat kadang tidak. Kadang hujan atau ombak besar atau badai terpaksa pulang atau tidak berangkat. Hasil, kalaupun ada cukup untuk sekedar menyambung hidup. Namun, apakah nelayan tradisional semacam ini yang ditangkap petugas DKP atau PolAir atau TNI kita? Ataukah nelayan-nelayan yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan ikan besar dengan kapal-kapal ikan besar berpendingin? Pada kenyataannya, insiden DKP tadi berkisar pada ketidakjelasan soal perbatasan, yang artinya berkaitan dengan diplomasi dan perundingan kesepakatan batas wilayah.

Di lain pihak, yang ingin saya garisbawahi di sini adalah sebenarnya Indonesia tidaklah banyak berbeda dengan Malaysia. Kita yang geram dengan kinerja Kepolisian, ternyata di Malaysia pun rakyatnya kurang percaya dengan Polisi mereka. Sehingga ketika kita katakan pada mereka bahwa Polisi mereka menangkap dan kemudian mempermalukan petugas pemerintahan Indonesia dengan memakaikan baju tahanan pada dan memborgol mereka, orang Malaysia yang mendengarnya berseru "but they do the same to us, Malaysian!" (Yang artinya, lha mereka juga gitu kok ama kami, orang Malaysia sendiri!) Waktu saya bilang, "iya, tapi ini kan petugas resmi negara!" Bagaimana pun, perasaan saya tersinggung juga orang pemerintahan kita digituin, tapi ya, oknum ada di mana-mana kan? Termasuk di kepolisian Malaysia. Terus, yang saya heran petugas DKP (omong-omong, statusnya apa ya, saya kok belum dapat info soal ini, apakah PNS, atau CPNS, atau honorer?) kok sama sekali tidak berusaha melawan atau protes? Seorang perempuan aktifis dari Indonesia di atas kapal Mavi Marmara saja mampu memprotes keras petugas imigrasi/polisi Israel saat diminta membubuhkan sidik jarinya untuk pencatatan(meski akhirnya terpaksa menuruti karena lelah dan faktor lain).

Saat kita geram dengan kinerja pemerintahan kita, banyak orang Malaysia pun kecewa dengan bagaimana pemerintahan berjalan. Saat kita sakit hati dengan tingkah laku pejabat kita yang korup, di Malaysia sama saja. Saat kita muak dengan sistem peradilan di Indonesia (mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan) di Malaysia pun sama saja. Saat kita bicara korupsi di pemerintahan, mungkin terjadi juga di mana-mana. Tapi, ingat, sekali lagi, suatu pemerintahan cepat atau lambat akan berganti, sedangkan rakyat akan selalu tetap. Dan ternyata rakyat Indonesia dan rakyat Malaysia tidaklah banyak berbeda, bila tidak bisa dibilang persis sama. Terlebih jutaan warga negara Indonesia yang membanting tulang di Malaysia telah pula menjadi bagian dari sekitar 28 juta penduduk Malaysia (data terbaru penduduk Malaysia dapat dilihat di http://www.statistics.gov.my/portal/index.php?option=com_content&view=article&id=54%3Apopulation-updated-31072009&catid=35%3Akey-statistics&Itemid=53&lang=en). Saat kita menghadapi berbagai masalah sosial, rakyat Malaysia pun mengalami berbagai masalah sosial. (Dalam beberapa bulan terakhir yang sedang heboh adalah masalah pembuangan bayi. Begitu banyak bayi-bayi di Malaysia ini yang dibunuh dan dibuang. Sehingga Malaysia pun membuat kampanye untuk menyayangi bayi, di mana Siti Nurhaliza ikut bernyanyi untuk lagu kampanyenya yang sering diputar di televisi. Namun, semalam saya dengar berita, salah seorang pelaku yang tertangkap dan diadili karena membuang dan membunuh seorang bayi di Seremban adalah warga negara Indonesia. :-( ) Saat kita khawatir negara kita menuju kebangkrutan, mereka di Malaysia pun mulai mengkhawatirkan hal yang sama. Ternyata Indonesia dan Malaysia memang tidak banyak berbeda.

Jika pun pemerintah belum mampu melakukan semaksimal yang kita inginkan, di tingkat rakyat kita bisa melakukan sesuatu untuk Indonesia. Jika memang kita ingin mengharumkan nama bangsa dan negara dan meletakkan harkat dan derajat kira di tempat yang dihormati oleh negara dan bangsa lain, mari kita mulai dengan mendidik diri sendiri dan anak-anak kita. Mari mulai dengan menciptakan keluarga yang anti korupsi, mari jadikan keluarga sebagai benteng anti korupsi (families as bastions against corruption). Seandainya setiap keluarga kita sebagai unit terkecil dalam masyarakat mampu menanamkan nilai-nilai anti korupsi, bisa dibayangkan dalam 20-30 tahun ke depan insya Allah korupsi di Indonesia jauh berkurang. Mari didik anak-anak kita dengan kelembutan dan kasih sayang, maka wajah-wajah beringas yang sering kita lihat di layar kaca insya Allah akan berkurang. Mari buat sinetron, film dan lagu yang mendidik (sekedar intermezo, saya rekomendasikan film layar lebar Malaysia berjudul "Duyung" bergenre fantasi dengan paduan komedi dan pesan cinta lingkungannya yang kental) sehingga saat kita ekspor, karya seni kita bisa benar-benar menunjukkan budaya kita yang adi luhung. Marilah kita mulai cek dan ricek atas segala yang kita dengar dan baca, sehingga tidak mudah marah atas sesuatu yang fakta sebenarnya belum utuh kita dapatkan. Mari mulai berteman dengan segala jenis suku dan bangsa, tak kisah apa agama atau pekerjaan (asal bukan penjahat!) mereka, tak kisah apakah mereka kaya atau miskin, tak kisah apa latar belakang mereka, dan mungkin, mungkin kita bisa belajar sesuatu dari mereka, bisa saling mengenal sebenar-benar, sehingga berkurang rasa curiga dan kebencian di muka bumi ini, dan lebih mudah untuk bekerja sama menuju kemajuan dan kegemilangan.

Masih banyak yang ingin saya bagikan, namun cukuplah dulu hingga di sini. Jika ada kesalahan atau kekurangan, mohon disampaikan dan atau dikoreksi.

Selamat hari Jumat, selamat berpuasa dan berbuka, dan jika saya tak sempat menyapa Anda hingga Idul Fitri nanti, sekaligus saya ucapkan di sini, Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Zahir dan Batin, Taqabalallahu Minna wa Minkum,

Taqabbal ya Kariim.

And Allah Knows Best.

Wassalamu'alaikum wa rohmatulloh,

Ijul SZ

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun