Aku masih ingat betul aura dan mimik wajahnya. Shock, tegang, kaku, seperti orang yang terkena halilintar berisi ribuan volt menjalar seluruh tubuhnya. Wajah sedikit merah merona, dengan mata yang terbelalak kaget dari balik lensa minus yang terbingkai indah di balik bening indah matanya.
Yah…Aku juga masih ingat betul, kemeja yang dia pakai di senja itu. Coklat muda dengan sulaman benang bunga melati berwarna coklat tua. Semerbak parfum anggrek menyebar halus, menerobos jiwa, merasuki indra penciumanku dan mengguncang kelelakianku.
Secarik untaian kerudung merah hati dia gunakan untuk menutupi wajahnya dalam keterkejutan saat ku ucapakan.
“Maukah kamu menjadi istriku,” lirih ku pelan dan ku buat se-syahdu mungkin
Dan Aku pun masih ingat kalimat pertama yang meluncur dari sela bibirnya setelah ku ucap kata paling sakral yang belum pernah ku sampaikan pada perempuan manapun.
“Gombal” mantap dia berujar.
“Serius” ucapku mempertegas ucapan sebelumnya.
“Enggak...enggak…enggak. titik.”
“Ya sudahlah, kalau begitu selamat ulang tahun aja. Moga panjang umur, selalu berkah hidupnya, dan suatu saat kamu mau menjadi istriku”
“Yehhhhhh….mau nya, sekalienggak. enggak”.
“Suatu saat”
“Enggak”
“Iya”
“Sudah. antar Aku pulang” rengeknya lalu menghabiskan sisa-sisa es degan dengan sekali seruput sambil berdiri menenteng tasnya.
Perempuan tangguh. Dia memaksaku fight hingga ronde terakhir. Menguji limit kesabaran dan ketulusanku. Perempuan satu ini telah membuatku berjibaku dengan rasa rindu yang menggumpal. Menahan sesaknya rasa keterasingan.
Dia membuat siangku menjadi panjang dalam penantian. Malamku menjadi malam yang hitam walau langit masih bertabur bintang. Tapi entah kenapa dalam rancaknya bintang itu Aku masih dapat melihat salah satu bintang dengan amat jelas cahayanya.
Setiap helai nafasku masih mampu kucium semerbaknya. Asa ku akan nya tak luruh meski musim semi bergeser kemarau. Aku menunggu dengan sabar dia berucap “ Yes. I will”.
Dia menikmati setiap perjuanganku. Sorot matanya berubah, penuh rona keikhlasan. Irama tubuhnya seirama dengan langkah kakiku. Menikmati deburan ombak pada lembayung senja dengan telanjang kaki. Membiarkan tanganku menuntunnya menunjuk jejak-jejak awan di ufuk barat. Hatinya ternyata tidak sekeras yang kukira. Membuka perlahan setiap uluran sapaku. Dia terbuai, terperosok dalam anggur manisnya cintaku.
“Aku mau” lirih sekali ucapnya di ujung indra pendengaranku
“Aku gak dengar”
“Aku mau” ucapnya sedikit lebih keras
“Mau apa” aku pura-pura tidak mengerti.
“Menjadi kekasih halalmu”
“Sure”
“Ya” ucapnya tegas sambil menganggukkan kepala.
Pagi yang cerah. Para dayang melayaninya dengan riang sumringah. Memakaikan gaun terindah dan terbaik dalam hidupnya. Di kelilingi para kawan sejawat, handai taulan. Dia duduk dengan hidmat, dengan pandangan mata yang tertunduk. Menyimak dan mendengarkan dengan seksama kata-kata yang ku lafazhkan dengan tegas dan penuh keyakinan
“Syah” ujar penghulu sambil menolehkan pandangannya kepada parasaksi.
“Syah…syah.. syah” para saksi menjawab serempak dengan lantang.
Catatan kawanz :
Puisi pertama untuk (calon) istriku
Puisi pertama untuk (calon) istriku 2
Prosa pertama untuk (calon) suamiku
Prosa pertama untuk calon suamiku